Beragama Secara Sadar Bersama Tuhan Tanpa Embel-embel

 Oleh: W.A.N


Sejenak mari kita undur diri dari kesibukan dan jejalan aktivitas, lalu membiarkan kesadaran muncul sendiri dari keheningan untuk kembali memberi ruang terhadap dimensi batin kita. Memberikan jarak dengan keseharian kita yang terpecah, rutin dan dangkal, menghadirkan sisi kemanusiaan kita yang terpinggirkan oleh hal yang tampak dan berjangka pendek, menyingkap makna yang terabaikan.

Karena tanpa itu semua sebenarnya kita-manusia- telah mati secara eksistensial sebelum kematian klinisnya. Tanpa kita sadari, kesibukan dunia mulai mengikis kita dari nilai-nilai manusia yang sesungguhnya—seutuhnya hingga kehilangan kesadaran akan makna keberagamaan kita.

Secara rasional, hidup-menjadi manusia- ini memerlukan sakralisasi. Tanpa itu, hidup itu hanyalah cabikan kapas yang dihempaskan angin ke angkasa. Tanpa itu manusia takkan memiliki orientasi hidup, dan hidup yang tak memiliki orientasi adalah sekeping hidup yang amat tidak layak untuk ditempuhi. Sebagaimana Socrates pernah berkata; hidup yang tak dihayati, dipikirkan dan direnungkan adalah hidup yang tak layak dijalani.

Kini, ditengah kesibukan dan jejalan aktivitas kehidupan, terkadang kita kehilangan nurani, matinya ruhani, spiritual, yang sakral, dibantai oleh hal-hal keduniawian, kefanaan dan kenisbian. Ada sebagian kita yang terus terbunuh oleh ambisi dan terinjak-injak tanpa sisa oleh kaki-kaki bengis rutinitas dan kehilangan kesadaran tentang bagaimana makna keberagamaan kita selama ini.

Kita sebagai Manusia, tentu harus sadar bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan dengan mukarram, dimuliakan. Dengan segala kelebihan dan kesempurnaannya sebagai manusia, Allah telah memuliakan kita dengan segala Fasilitas yang membuat manusia menjadi berharga; seperti akal, hati, panca indra, intuisi, imajinasi sehingga membuat kita mulia dan indah dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain.

Akan tetapi dari beberapa kemuliaan itu ada implikasinya. Kita jadi mukallaf, punya tugas. Kita punya kewajiban-kewajiban, punya tanggung jawab, secara vertikal dan horizontal. Tanggung jawab vertikal kita adalah sebagai ‘abdullah, hamba Allah. Sedangkan tanggung jawab horizontal kita sebagai khalifatullah, kita punya tanggung jawab untuk mengelola alam semesta dan beribadah. Selain manusia mukallaf, punya tugas yang harus dijalankan. Manusia juga mukhayyar, punya potensi, Punya daya untuk memilih. Maka, Menjadi manusia itu takdir; tapi menjaga kemanusiaan kita adalah pilihan.

Semua pemaparan tentang kehadiran manusia di muka bumi akan mengarah pada suatu kesimpulan bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini, dengan segala fasilitas yang diberikan Allah, membawa dua tanggung jawab sekaligus, yaitu; menjadi manusia dan menjadi hamba; menjadi khalifah-Nya dan menjadi ‘abd-Nya.

Sejatinya, di dalam hal beragama, manusia memang sudah fitrahnya butuh akan agama. Orang tidak bisa tidak beragama. Beragama itu artinya menyandarkan hidup, meyandarkan diri pada sesuatu yang dianggap lebih besar dari dirinya. Manusia itu hakikatnya lemah. Ketika orang sadar bahwa dirinya lemah, biasanya dia butuh sandaran. Jika melihat konstruksi manusia-menurut beberapa filsuf; yang memiliki jasad, mental, dan ruh-ruh ini membutuhkan sandaran spiritual. Jadi, disadari atau tidak, manusia pasti butuh beragama. Manusia butuh tuhan.

Namun realitas yang terjadi pada manusia modern saat ini, yang entah mereka sadar atau tidak, bahwa ada yang telah ber-agama dan beriman, namun di dalam situasi beragama tersebut, sebagian manusia sekarang masih tampak pasif dan berjalan di tempat. Ia terlahir memang dari keluarga beragama kemudian ketika tumbuh besar ia tak ada minat dan keiginan dan mencoba mencari, merenung dan berpikir; apa tujuan dan makna dari keberagamaannya itu sendiri.

Sehingga, banyak beranggapan yang penting cukup tidak maksiat dan tetap melaksanakan ibadah ritual. Walaupun, hal itu memang bernilai baik baginya sebagai hamba dari pada berbuat kemungkaran. Akan tetapi, akankah lebih mulia lagi jika kita sebagai manusia yang beragama, agar lebih sadar akan makna keberagamaan itu sendiri, agar agama tidak hanya dipahami sebagai sistem dan aturan-aturan yang seringkali malah terlepas dari situasi ke-Ilahian.

Situasi seperti ini akan melahirkan orang yang ketat beragama-saleh ritual- tapi tidak berTuhan. Maksudnya, mereka lebih taat menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan oleh otoritas-otoritas keagamaan, namun ketaatan tersebut tidak disertai kesadaran ilahiah, sehingga tidak memberikan efek pada perilaku sehari-hari.

Lagi-lagi yang kurang dari manusia modern ini ialah manusia tidak kunjung berhasil menemukan perjodohan dahsyat antara iman dengan ilmu. dan pelaku iman tidak mempertimbangkan ilmu. Sehingga, ada yang berilmu namun dalam perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman, cinta kasih dan keteladanan. Semestinya, orang yang bertuhan pasti menjadi representasi kebaikan.

Tuhan adalah cinta, maka orang bertuhan pasti menjadi representasi cinta sesama. Tapi, banyak orang beragama malah tidak menyebarkan kebaikan, tidak menyebarkan cinta kasih, karena agama hanya dipahami sebagai aturan dan sistem belaka, bukan sebagai situasi keilahian yang menuntun kepada kesalehan atau kebaikan.

Jika direnungkan lebih seksama, tampak bahwa seluruh ajaran islam bermuara pada cinta ilahi-yang mana cinta itu menjadikan setiap aktivitas dikerjakan secara sukarela dan senang hati tanpa embel-embel, dan tidak menjadikannya agama sekedar aturan-aturan dan simbol-simbol.

Untuk menempuh hal demikian, tentu jalan yang paling efektif ialah melalui tasawuf. karna Tasawuf bukan cabang ilmu, melainkan suatu sistem software untuk mengaktualisasikan kemuliaan sikap hidup kepada alam, masyarakat, sesama manusia, makhluk-makhluk Allah yang lain, serta terutama Allah itu sendiri. Amru ibn utsman al maliki mengungkapkan; tasawuf adalah bahwa sang hamba selalu pada level terbaik dari seharusnya, setiap saat.

Akan tetapi saat ini masih terjadi dilema “di perempatan jalan” pertama dan utama perjumpaan manusia dengan ilmu modern adalah karena tasawuf dipahami, diidentifikasi, dan diletakkan sebagai suatu cabang ilmu. Bahkan mungkin hanya ranting kecil. Bukan hanya fakultas, mungkin hanya jurusan. Bukan sekadar sub, tapi sub-sub. Bukan hanya terletak di salah satu kotak kecil, tetapi mungkin dianggap sebagai suatu “objek” yang agak terpinggirkan, ketlingsut dan kurang diminati. Tasawuf diidentifikasi sebagai cabang pengetahuan, bukan sebagai jalan hidup yang manusia—ilmuan sendiri memerlukannya.

Maka, bagaimana caranya bisa mengerti kebersamaan dengan Allah tanpa embel embel? Itulah peran tasawuf, yang walaupun sering dianggap asing bagi orang Islam sendiri dan hanya menjadikannya-tasawuf sebagai pelengkap, padahal tasawuf sebagai intisari islam itu sendiri.

Oleh karena itu, mari kita bareng-bareng mereparasi akal, agar kembali pada fitrahnya, sehingga dengannya kita bisa membangun kesadaran akan makna keberagamaan, juga kesadaran tentang Sang Kekasih yang tak pernah berhenti mencintai umatnya. Bersama akal sehat itu kita akan membangun cinta pada Tuhan dan menjalin perjumpaan dengan-Nya sebagai khalifah dan ‘abd-Nya.

Guluk-guluk, 12 Januari 2023 M

_____

W.A.N dengan nama lengkap Kurniawan A.Y, Penulis Kelahiran Banjar-Barat, Gapura, Sumenep. & Santri Aktif PPA. Lubangsa, Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep.

POSTING PILIHAN

Related

Utama 680056956952544679

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item