Lêbur Festival: Ruang Belajar yang Bertanggungjawab.

Oleh: Hidayat Raharja*

Rulis, Sampang: Sembilan Orang penari dari dua arah berlawanan saling bertemu di atas panggung, kemudian dengan iringan musik rancak mereka menari tari “Ratoh Jaroe” dari Aceh. Tarian yang mengawali pembukaan “Lêbur Festival” sebuah pameran karya fotografi, drawing, kaligrafi dan aneka media pembelajaran. Pameran ini berlangsung pada Senin, 31 Oktober 2022 di SMA Negeri 4 Sampang pukul 08.00 -12.00 WIB, dibuka oleh Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Sampang, Bapak Ali Afandi, S.Pd.,M.T.. Dalam sambutannya Bapak Ali Afandi menyampaikan bahwa Lêbur Festival merupakan salah satu bentuk Proyek Pengembangan Profil Pelajar Pancasila dalam kurikulum merdeka, yaitu salah satu bentuk pengenalan budaya nusantara.

Pada Lêbur Festival, ada beberapa drawing dan sketsa yang ditampilkan antara lain karya Ganesha Arya Mahendra, Kurratul Ainiyeh, Yulia Ningsih, Fahudun Faki, Lailatul Badriyah, Syarif Mustofa Amin, St. Khoirul Amini, dan kaligrafi karya guru Tri Ariyandi Wijaya. Karya-karya ini meliputi karya yang dihasilkan siswa dalam pelajaran kesenian yang dibina Ibu Febrian Radin P dan beberapa karya dalam kegiatan pengembangan bakat.

Beberapa karya foto antara lain Siti Khoirul Amini, Laili Nafilah, Hoirul Soleh, Siti Annisa Saiful, Yulia Nungsih, Moh. David, Fahidun Faki, Syarif Mustofa Amin, Sulvia Damayanti, Siti Fitria Ningsih, Emilinda Saraswati, dan Lailatul Badriyah, dan karya guru dari Pak AW. Kegiatan ini dibina oleh Pak Abdul Wahed dikenal dengan panggilan Pak AW. Sebuah ruang kreatif dalam bidang fotografi yang memanfaatkan berbagai aplikasi di playstore.

Sementara di teras ruang pameran berjajar karya media pembelajar dan maket yang digunakan dalam pembelajaran di dalam kelas. Di antaranya ada hasil karya Pendidikan Kewirausahaan, matematika yang menampilkan sebuah permainan balok, geografi menyajikan maket persebaran fauna di nusantara. Sementara mata pelajaran kimia menyajikan pembuatan sabun cair dan fisika memperagakan kincir air.

Acara yang dihadiri oleh perwakilan dari berbagai SMP yang ada di kota Sampang, untuk memperkenalkan pembelajaran yang berlangsung di SMAN 4 Sampang. Lêbur Festival berlangsung meriah di panggung hiburan beberapa siswa binaan ibu Riski Amalia dan bapak Asiske Abu Hasan Jaenuri menyanyikan lagu-lagu pop ditemani kelompok musik “Toman Official” yang mendendangkan lagu-lagu yang lagi hits saat ini.

“Lêbur Festival” ini merupakan kegiatan yang memamerkan hasil kegiatan siswa dalam pengembangan diri dan bakat mereka dalam bidang fotografi, menggambar / drawing, olah vokal, tari dan olah raga. Sebagai pamer karya sekaligus evaluasi terhadap program yang sudah berjalan 3 bulan. 


Di antara karya drawing ada yang cukup menarik milik Ganesha Arya Mahendra, ia menggambar tikus berdasi dan sebuah tulisan di dekatnya “There is no justice if there is no money”. Sebuah kritik terhadap kasus korupsi di Indonesia. Gambar ini sangat menarik dan bisa dijadikan media pendidikan anti korupsi. Salah satu lukisan yang lain berjudul “Chainshaw Man” yang mengkritisi pembalakan hutan.

Gambar yang dihasilkan dari proses dialog antara kreator dengan persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungannya. Karya seni (juga seni rupa) dapat berperan sebagai media pengembangan gagasan dan pemikiran. Karya yang lahir dialog antara kreator dengan persoalan-persoalan lingkungan, baik lingkungan terdekat maupun lingkungan terjauh yang didekatkan teknologi. Proses dialog sebagai salah satu tuntutan dalam dunia pendidikan untuk mengembangkan sikap berpikir kritis.

Kegiatan pengembangan diri dengan berbagai aktivitas yang dilakukan setelah pembelajaran adalah upaya untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri peserta didik. Bagi kami ini sangat penting karena kesadaran akan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan membuat peserta didik paham apa yang harus dilakukannya. Sehingga dalam proses belajar lebih sering dilakukan pendekatan-pendekatan yang membuat anak merasa nyaman dalam belajar.

Karya para siswa tidak ada apa-apanya kalau dilihat hasilnya. Namun dari proses sebuah karya dihasilkan menjadi sangat berarti. Dunia pendidikan (persekolahan) merupakan sebuah ruang untuk berproses dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham. Ruang yang memungkinkan segala bisa terjadi. Maka sebagai proses, karya-karya ini masih belum selesai karena mereka masih terus belajar. Belajar untuk mengenal diri dan lingkungan mereka.

Lêbur Festival menjadi ruang bagi siswa dan guru untuk saling berdialog dengan karya, sehingga: pertama, menjadi ruang representasi yang menyilakan masyarakat untuk menyimak dan menanggapi. Sebuah hasil kerja guru dan murid dalam menyikapi belajar yang memerdekakan. Ini penting dilakukan karena kebutuhan setiap anak berbeda, sehingga minimal mereka terfasilitasi kebutuhan belajarnya.

Kedua, Karya-karya yang disajikan merupakan pertanggungjawaban siswa terhadap kegiatan yang dipilihnya. Karena di tempat ini siswa diberi kesempatan untuk memilih kegiatan yang dilakukan dan mempertanggungjawabkan (memamerkan) hasil karyanya. Proses belajar bertanggungjawab dan mengkomunikasikan karyanya dengan orang lain. Proses yang sangat berharga dalam belajarnya.

Ketiga, proses dalam berkarya merupakan salah satu bentuk pemberian pengalaman (belajar) yang mengajak siswa untuk mempertanyakan terhadap karya yang dipilihnya. Sehingga bisa memberikan alasan terhadap karya yang dilahirkan.

Pengembangan nalar, kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan sebuah aktivitas yang diperlukan dalam proses pendidikan dengan berbagai cara melalui aktivitas yang dilakukan siswa. Juga dalam kegiatan menggambar, menari, dan fotografi. Menari bagi mereka bukan hanya menggerakkan tubuh tetapi juga merupakan sebuah filosofi untuk menghargai setiap bagian tubuh, merawat dan mendaya gunakannya sehingga bermakna bagi orang lain.

Fotografi bukan hanya menghentikan peristiwa untuk mengabadikan momen yang berlangsung. Lebih jauh dari itu fotogafi telah mengambil peran untuk mengingat dan menyampaikan pesan yang membawa kesan artistik mau humanistik dan ia akan menjadi penanda di setiap jamannya.

Di era kurikulum merdeka, sudah watunya dunia pendidikan menjadi pelayan bagi siswa untuk memfasilitasi mereka sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Sekolah benar-benar bisa menjadi ruang bagi mereka untuk belajar mengembangkan diri, menumbuhkan kesadaran akan kebutuhannya.

Ini yang disampaikan Gadner, setiap keberhasilan belajar pantas untuk dirayakan, sehingga dalam diri mereka tumbuh penghargaan dan rasa percaya diri. Pengalaman baik yang akan mempengaruhi mereka dalam berpikir dan bersikap. Tut Wuri Handayani, tutur Ki Hajar Dewantara yang memosisikan guru sebagai pendorong anak (siswa) untuk maju. Tidak ada siswa yang bodoh, hanya kita belum mampu mencari cara mereka untuk menunjukkan kemampuannya. Lêbur Festival menjadi salah satu ruang bagi siswa untuk berekspresi sekaligus bertanggungjawab terhadap pilihan belajarnya.

*Penulis tinggal di Sampang, pengelola SMAN 4 Sampang.

Sumber: akun FB HIdayat Raharja




POSTING PILIHAN

Related

Utama 3741273082983872028

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item