Upil-Upil Wayang



Cerpen Joko Setyo Hutomo


"Bang, kok tumben tidak ikut komen tentang wayang di medsos?" tanya Bang Bistok di suatu Minggu siang yang suram. Wajahnya terlihat serius. Petikan gitar kesayangannya dihentikan begitu melihat aku mendekatinya

Bang Bistok adalah pekerja seni, yaa, aku lebih setuju demikian sebutannya daripada pengamen. Dia tidak pernah memutus lagu jika sudah menerima uang, tetapi akan melanjutkan hingga bait terakhir. Berbeda dengan yang lainnya, langsung balik badan begitu tuan rumah memberikan uang.

Dia perantau yang telah melanglang buana di negeri ini. Konon, dia semarga dengan Opung yang kesohor itu, cuma beda nasib sehingga terdampar di kotaku ini.

Menjadi pekerja seni bukanlah tujuan utamanya merantau. PHK telah memupuskan harapannya untuk bisa hidup layak sebagai seorang buruh pabrik. Menurutnya, bisa saja dia pulang ke kampung halamannya, menggarap lahan warisan leluhur. Namun, itu tak ditempuhnya. "Malu, Bang, jika seorang lelaki jauh-jauh merantau pulang hanya mengharap warisan," begitu alasan yang pernah disampaikannya.

"Ya enggak lah, Bang. Pengetahuanku tentang wayang cuma seupil kecil, nantinya malah membuat gaduh suasana," jawabku menjawab pertanyaannya tadi.

"Tetapi Bang, bukankah sebagai orang Jawa Abang punya kewajiban moral membela budayanya?" Lanjutnya semakin serius. "Beda lah dengan aku yang di kampungku tak mengenal wayang."

"Lho, bukankah wayang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia yang bahkan sudah ada penetapan hari Wayang Nasional?" selaku, ketika Bang Bistok hendak menghidupkan rokok keduanya.

"Apalah arti hari Wayang Nasional bagi kami yang sama sekali tidak mengenalnya?" Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya. "Sama persis dengan hari-hari peringatan yang lain Bang, hari Musik Nasional misalnya, sekadar ada dan seolah-olah peduli."

Dipeluknya gitar tua miliknya. Matanya sayu menatap jauh, entah kemana.

Masih dengan posisi yang sama, dia melanjutkan pembicaraan. "Aku baca di berbagai media sosial yang kuikuti, akhir-akhir ini banyak yang pada ribut membela wayang. Tentu seperti yang Abang bilang tadi, ada yang pengetahuannya seupil, tapi tidak sedikit yang lumayan banyak, Bang."

Aku tersenyum mendengar penuturannya.

"Ya kalau pengetahuannya sedikit seperti aku uni, upil kecil, Bang. Tapi kalau yang agak banyak, yaa upil besar," selorohku.

Kami tertawa agak keras sampai abang pengayuh becak yang menunggu penumpang di bawah pohon mahoni menoleh.

"Jujur, Bang. Menurut Abang yang orang Jawa, bagaimana masa depan wayang di negeri kita khususnya di sebagian masyarakat Jawa, Sunda dan Bali tempat wayang yang masih bisa dijumpai?" Tiba-tiba kalimat ini terlontar dari mulutnya.

Agak sulit aku memberikan jawaban. Maklumlah aku bukan ahli perwayangan, bukan pengamat budaya, apalagi dalang. Beruntunglah kemarin pagi aku sempat membaca berita tentang cuitan Sudjiwo Tedjo di media online.

"Terus terang, Bang, sulit bagi saya memprediksikan kelestarian wayang. Selain saya hanya upil kecil, juga tidak punya kemampuan untuk upaya melestarikannya. Butuh dana yang tidak sedikit untuk bisa menanggap wayang. Dalang, para sinden dan penabuh gamelan perlu uang untuk menyambung hidupnya. Sekarang orang mengadakan hajatan lebih suka mengundang grup dangdut dengan para penyanyi yang, yaa Abang tahu sendiri lah," jawabku dengan nada sedih.

"Sekaliber Mbah Sudjiwo Tedjo saja, yang kecintaannya terhadap wayang tidak diragukan lagi mengatakan bahwa 'Tanpa dimusnahkan, wayang akan musnah sendiri kalau tidak ada yang nonton,'" lanjutku dengan mengutip pernyataan Mbah Djiwo.

"Jadi bagaimana menurut Abang orang-orang yang mengaku cinta budaya wayang, sementara hanya koar-koar di medsos?" lanjutnya membuatku harus berpikir sejenak.

"Cinta kan bukan hanya di bibir to, Bang?" Aku menjawab agak lebay seperti remaja sedang bercengkerama dengan kekasihnya.

"Betul Bang, cinta harus dibuktikan dengan tindakan nyata, bukan gaduh di sosmed. Menurut saya, konkretnya sesekali yang mengaku pecinta wayang secara bergiliran menanggap wayang. Hajatan pecinta wayang menanggap wayang, bukan dangdutan. Dijamin deh, wayang akan lestari." Diembuskan asap rokoknya seolah melepas beban di dadanya.

Pikiranku menerawang, kupikir ada benarnya juga pendapat Bang Bistok.

"Tetapi bagaimana cara mengingatkan mereka, Bang?" tanyaku ingin solusi lebih lanjut darinya.

"Abang tulis di sosmed, siapa tahu dibaca oleh yang mengaku pecinta wayang sehingga tergerak hatinya untuk mengadakan pertunjukan wayang dalam rangka melestarikan budaya sekaligus menyelamatkan para pekerja seni wayang," jawabnya mencerocos.

Obrolan kami berakhir ketika istriku memanggil untuk mengganti tabung elpiji.

Tak lama kemudian terdengar nyanyian Bang Bistok, "Musafir" lagu kesayangan yang sering dinyanyikannya dari grup jadul Panjaitan Bersaudara.

#
Pembaringan, 19022022.


Diangkat dari akun FB Joko Setyo Hutomo

 

POSTING PILIHAN

Related

Utama 4796818264916478764

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item