Neo-Zenoisme Sebagai Metode Kritik Seni


Oleh Narudin

 I.
Dari sepuluh metode filsafat, yang paling menarik ialah metode filsafat Zeno, yakni “reductio ad absurdum”. Metode Zeno ini untuk meraih kebenaran, dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan. Caranya ialah mereduksinya menjadi suatu kontradiksi sehingga konklusinya pun menjadi mustahil.

Zeno seorang murid Parmenides, yang termasyhur sebagai filsuf Metafisika Barat pertama. Zeno lahir di Elea tahun 490 SM. Karena cerdas, ia memiliki pengaruh yang besar di Elea. Plato dan Aristoteles mengakui kemasyhuran Zeno dan Aristoteles berkata bahwa argumentasi dialogis (dialektika) diprakarsai oleh Zeno.

II.

Apabila dikaitkan dengan kritik sastra, hal ini tak lepas dari definisi kritik sastra menurut KBBI V: “pertimbangan baik buruk terhadap hasil karya sastra” (puisi, prosa, dan drama). Dengan demikian, dari segi pertimbangan baik, semua penulis karya sastra mengantisipasinya secara pribadi, tetapi ihwal pertimbangan buruk, kadang tak semua penulis karya sastra memiliki kesadaran tentang hal ini.

Karena kesadaran akan pertimbangan buruk terhadap karya sastra lebih utama daripada pertimbangan baik terhadap karya sastra sebab jika diketahui kesalahan atau keburukan karya sastra, karya sastra itu akan diperbaiki lagi di masa depan agar lebih tinggi lagi kualitasnya dan penulis karya sastra akan lebih waspada terhadap pelbagai kekeliruan dasar tatkala ia menggubah karya sastra apa pun (puisi, prosa, dan drama).

Alhasil, karya sastra itu akan bagus, baik dari segi bentuk maupun dari segi isi. Alton C. Morris (1964) dalam buku College English berkata bahwa bentuk dan isi puisi tak dapat dipisahkan karena bersifat organis, bukan bersifat mekanis. Dengan demikian, puisi yang baik tentu akan baik, ditinjau dari kedua sisi: bentuk dan isi (seluruhnya harus baik, padu).


III.

Problem terjadi tentu saja jika metode filsafat Zeno atau “Zenoisme” diterapkan terhadap kritik sastra (kritik puisi, misalnya)—sebab puisi merupakan karya sastra paling kompleks dan karena kompleks dan sukar, maka puisi butuh dianalisis (Preminger, 1974).


Problem metode filsafat Zeno hanyalah sampai kepada “reduksi keabsurdan”, yaitu mencari-cari kesalahan premis lawan bicara dengan cara mereduksinya ke dalam suatu kontradiksi sehingga konklusinya pun mustahil. Konklusi atau kesimpulan yang mustahil dalam kritik sastra bukan suatu sumbangan yang konstruktif atau membangun.

Melihat problem metode filsafat Zeno yang bersifat deskriptif, bukan preskriptif, maka saya mengambil sisi preskriptif dari metode filsafat Zeno, yakni konklusinya dibuat tak mustahil. Maka, metode filsafatnya menjadi “Neo-Zenoisme” atau berlawanan pada taraf akhir, yakni konklusi yang mungkin, bukan mustahil dengan cara membimbing para penyair lewat puisi-puisinya yang dikritik dengan metode Neo-Zenoisme tersebut.

Perhatikan pada bagian IV di bawah dari esai ini. Ini merupakan praktik kritik sastra dengan metode Neo-Zenoisme, yakni mencari kebenaran dengan membuktikan kesalahan premis-premis puisi Goenawan Mohamad, berjudul “Dingin Tak Tercatat”, kemudian memberi solusi atau perbaikan sebagai preskripsi agar puisi ini bisa lebih baik lagi apabila direvisi atau disunting meskipun hal demikian tergantung kepada kesadaran pribadi Goenawan. Contoh kritik puisi dengan metode Ne-Zenoisme oleh saya (baca bagian IV, secara utuh).


IV.
“Dingin Tak Tercatat” Goenawan Mohamad

Dingin Tak Tercatat

Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja

di sana. Seakan-akan

gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?

1971

Telaah terhadap puisi ini takkan panjang lebar sebab telaah puisi itu bergantung pada kualitas puisinya. Puisi di atas berjudul “Dingin Tak Tercatat” karya Goenawan Mohamad. Puisi ini cukup terkenal dan banyak diminati. Akan tetapi, logika bahasa puisi butuh dijustifikasikan (diuji benar atau salah, baik atau buruk).

Judul puisi di atas sesungguhnya diambil dari baris pertama puisi: Dingin tak tercatat/. Baris selanjutnya merupakan baris de-otomatisasi (ketaklaziman [di luar kebiasaan]). Dalam kajian teori sastra kontemporer, misalnya, sebut saja, Stilistika (Peter Barry, 1995) atau Formalisme Rusia (Chye Retty Isnendes, Narudin, dan Toyidin [2018]), deotomatisasi dikerjakan dalam karya sastra untuk memantik atau sebagai daya gugah pembaca agar efek puitis tertentu digapai.

Sekarang kita uji teknik deotomatisasi Goenawan dalam dua baris pertama puisi di atas: Dingin tak tercatat/ pada termometer/. Alangkah mengejutkan pembukaan puisi ini! Sangat provokatif, memiliki evokasi (daya sentak) terhadap pihak pembaca—apalagi pembaca awam. Namun, satu hal perlu diuji, apakah benar logika dua baris pertama ini dapat dibenarkan atau logis (masuk akal). Perhatikan baris-baris berikutnya. Kata-kata “basah”, “angin”, “gerimis”, dan “cahaya” sejujurnya menyiratkan dapat tercatat dengan termometer (alat ukur panas atau dingin). Seberapa basah (dingin), seberapa embus angin (dingin atau hangat), seberapa reda gerimis (sehabis hujan umumnya, dingin atau sejuk), seberapa terang itu cahaya (umumnya hangat atau panas). Seluruh kata-kata “indeks” (petunjuk semiotik, seperti kerap kali diuraikan oleh Aart van Zoest dan Panuti Sudjiman [1996]) itu menandakan ada “suhu” ada “temperatur” tertentu sehalus apa pun itu. Oleh sebab itu, secara akal sehat atau logis, semua kata itu dapat diukur panas atau dinginnya sesuai derajatnya masing-masing. Jadi, kata-kata dibaris pertama yang terkesan gagah-gagahan dengan teknik stilistik de-otomatisasi dalam level semantik (makna) itu gugur sudah. Goenawan sebelumnya bermaksud hendak mengusik akal pembaca ke nilai 0 (nol) dengan baris-baris “Dingin tak tercatat/ pada termometer/” agar pembaca awam terhanyut. Padahal, bagi pembaca ideal (pembaca cerdas), hal ini sungguh gagal.

Selanjutnya, maka suasana di atas tak indah dan tak sendu lagi. De-otomatisasi terjadi juga di bait akhir, yaitu:

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?

Fuad Hassan dulu pernah menulis sebuah buku berjudul, Kita dan Kami: An Analysis of Two Basic Modes of Togetherness (analisis dua mode dasar kebersamaan). Dalam kajian Tata Bahasa Fungsional Sistemik pun dapat dibahas. Intinya, yakni kata “kami” bersifat eksklusif (terlepas), sedangkan kata “kita” bersifat inklusif (terlibat). Alhasil, jika kepada Tuhan disebut secara pragmatik “Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?”, maka “kita” di sana tentu bermakna gegabah ditujukan kepada Tuhan, bukan? Jikapun kata itu ditujukan kepada kita manusia, seharusnya, Goenawan menggunakan kata “kami” yang lebih tepat sasaran, dan kesan kata “kita” yang dipakai Goenawan dalam baris puisi itu tak menampilkan sesuatu hal yang intelektual sama sekali. Bandingkan saja dengan baris-baris berikut ini secara “scriptible” atau “writable” (bacalah buku Roland Barthes, berjudul The Pleasure of the Text [1973]):

Tuhan, kenapa kami bisa
Bahagia?

Nah, sebagai kesimpulan, maka sudah jelas teknik de-otomatisasi Goenawan Mohamad dalam puisi di atas gagal secara logis (akal sehat) berdasarkan uraian baris-baris puisi sesudahnya hingga batas bait akhir dengan kecerobohan mode kebersamaan kata “kita” untuk “kami” kepada Tuhan. Dan makna sentral dari perkataan semi-filosofis: “Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?” pun sebenarnya pertanyaan retoris yang tak mendalam sekaligus melenceng akibat inklusivitas penggunaan kata “kita” itu, yakni:

“Kenapa Tuhan bisa bahagia?” dan “Kenapa kita bisa bahagia?”

Demikianlah.

***

Dawpilar, 2017

V.
Umumnya setiap penyair ingin dipuji dan mengantisipasi segala kebagusan atau kualitas karya sastranya, puisinya. Namun, sisi keburukan atau kesalahan atau ketidakberkualitasan karya sastranya, puisinya, tak dicermati dengan teliti (sering luput atau lupa).

Selamat mempraktikkan “metode kritik seni Neo-Zenoisme” yang saya kembangkan. Moga-moga bemanfaat demi memajukan karya sastra agar lebih baik lagi, khususnya, puisi di tanah air dan di negara-negara lain.


***

Dawpilar, 24 Oktober 2020

_________
*) Narudin, sastrawan, penerjemah, kritikus sastra, dan pemenang Anugerah Puisi CSH 2018. FB: Narudin Pituin. WA: 081-320-157-589.

Sumber: akun FB Narudin Pituin

POSTING PILIHAN

Related

Utama 9007053819743938916

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item