Menulis dan Menggerakkan Feature


Catatan Aprinus Salam

1. Memahami Situasi

Pertanyaan yang penting, keharusan apa yang membuat kita perlu menulis feature. Pertama, berbagi informasi. Kedua, berbagi pengalaman, baik pengalaman terhadap realitas/kehidupan, maupun pengalaman berbudaya. Ketiga, berbagi ilmu pengetahuan (semacam pencerdasan). Keempat, berbagi kearifan. Tentu saja berbagai sharing tersebut diorientasikan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, menuju ke sebuah "kesempurnaan" kehidupan, lahir batin.

Dengan demikian, ketika menulis, ada komitmen bersama yang diperjuangkan. Itulah sebabnya, terdapat sejumlah konsep dan wacana seperti jurnalisme berbasis gender, jurnalisme berbasis multikulturalisme, jurnalisme sastrawi, jurnalisme pembangunan, jurnalisme damai, jurnalisme harmoni, jurnalisme berbasis riset, dan sebagainya. Konsep dan wacana itu dimobilisasi untuk kepentingan dan tujuan yang berbeda, bergantung situasi-situasi yang menuntut untuk diperjuangkan.

Dalam posisi itu kita perlu merumuskan jurnalisme seperti apa yang layak diorientasikan sebagai jalan perjuangan. Rumusan itu selayaknya dikembalikan kepada persoalan-persoalan yang mendesak untuk diatasi secara bersama-sama. Artinya, sebuah rumusan kewacanaan jurnalisme bukan harga mati, tapi bisa berubah-ubah. Kalau Anda bergerak dalam jurnalisme kampus, maka sejumlah posisi perlu dipahami berkaitan dengan hal-hal yang menjadi landasan keberadaan sebuah perguruan tinggi (fakultas). Demikian pun jika Anda bergerak dalam jusnalisme ormas, maka landasan keberadaan ormas tersebut perlu dipraksiskan secara dinamis.

Dalam beberapa hal selayaknya kampus dan sekolah-sekolah perlu mengupayakan agar jurnalisme yang ditawarkannya menjadi sebuah model, bukan saja sebagai ajang menggerakkan kewacanaan tertentu, tetapi sebagai model jurnalisme itu sendiri. Hal itu menjadi tugas Anda untuk memikirkan dan mempraktikkannya.

2. Mengenal Konvensi

Hal penting yang mendasar dan perlu diketahui oleh seseorang ketika akan menulis tulisan jurnalistik adalah; tulisan tersebut akan dibuat dalam bentuk apa. Pemahaman tersebut penting untuk menghindari perancuan yang bisa jadi akan ditemui di tengah jalan penulisan. Misalnya, ketika ia seharusnya menulis berita, tapi karena tidak mampu membendung opini subjektivitasnya, maka berkemungkinan menjadi esai. Atau ketika hendak menulis feature, karena kuatnya dorongan berimajinasi maka tulisan justru menjadi fiksi.

Dengan mengenal wilayah tulisan kita menjadi tahu bahwa bentuk tulisan yang kita pilih termasuk dalam wilayah mana sehingga dengan mudah kita kemudian akan menentukan langkah-langkah beserta rambu-rambu yang memagarinya. Misalnya, ketika kita menulis berita tidak boleh memasukkan opini pribadi kita sendiri, juga tidak boleh memasukkan realitas yang direka-reka. Karena begitu sebuah berita dimasuki opini atau khayalan, maka nilai berita itu akan menjadi rusak.

Dalam konteks inilah perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya menulis sesuatu itu seperti mengikuti sebuah "konvensi", semacam prosedur yang harus disepakati dan "ditaati", semacam aturan main. Kalau kita mau main bulu tangkis, maka aturannya berbeda dengan bermain catur. Kalau kita mau menulis feature, maka dalam beberapa hal tentu berbeda dengan menulis cerpen. Demikianlah, pada dasarnya kita ini seperti terpaksa mengikuti konvensi saja, termasuk konvensi berprikehidupan.

Namun, seperti telah disinggung di atas, tidak tertutup kemungkinan kita perlu menggerakkan dan mensosialisasikan gaya atau model penulisan tertentu. Dalam posisi itulah, kampus sebagai “kawah candradimuka” para pemikir, peneliti, dan penulis, perlu melakukan berbagai eksperimentasi dalam mengembangkan berbagai gaya dan model penulisan. Termasuk di dalam hal ini jika nanti Anda membantu keberadaan WARTA FIB, Anda perlu mengembangkan WARTA FIB menjadi sebuah ajang kreativitas model.

3. Pengertian Feature

Feature adalah berita yang ditulis dengan gaya bercerita dan ditekankan pada sisi-sisi human interest-nya, yakni sisi-sisi yang secara manusiawi bisa membangkitkan perasaan tertentu dari pembaca. Misalnya, perasaan haru, kagum, belas kasihan, rasa keadilan, simpati, sayang, cinta, senang, terhibur, dan sebagainya. Oleh karena itu, gaya penulisan feature ditekankan pada kemampuannya menyentuh dan membangkitkan perasaan pembaca. Itulah sebabnya, gaya penulisan feature dituntut untuk khas, menarik, basah, mengalir, kaya visi dan dimensi, tidak "kering dan kaku" seperti berita langsung.

Gaya penulisan yang khas, basah, dan mengalir (bebas dan luwes) itu membuat feature tidak terikat secara ketat oleh aturan struktur piramida terbalik. Bahkan tidak begitu terikat oleh aktualitas dan momentum. Walaupun aktualitas dan momentum sering menjadi salah satu pertimbangan menarik atau tidaknya sebuah
feature, namun usia kelayakannya lebih lama dibanding straight news. Jika straight news, atau juga biasa disebut hard news atau spot news yang usia kelayakannya tidak lebih dari 24 jam, maka feature bisa lebih lama lagi. Bahkan bisa bertahan sampai seminggu/atau lebih asalkan masih memiliki cantelan berita (pig news) berupa perkembangan peristiwa itu atau muncul kasus lain yang ada kaitannya dengan peristiwa tersebut.

Bahkan feature yang baik bisa bernilai dan bertahan lebih lama dari yang bisa diramalkan. Hal itu bergantung kelengkapan-kelengkapan dan “daya gerak dan daya juang” yang ditawarkan sebuah feature.

Begitu pula jika muncul momentum atau peristiwa yang ada kaitannya dengan objek feature, maka feature tersebut masih layak muat meskipun pokok peristiwanya sudah terjadi puluhan tahun sebelumnya (feature sejarah). Inilah kelebihan feature dibanding bentuk berita lain. Karena itulah, majalah berita mingguan seperti Tempo, atau Gatra, dan sebagainya, memilih bentuk gaya penulisan feature dalam menyajikan berita-beritanya untuk menutup ketertinggalan aktualitas dibanding surat kabar harian.

Meskipun begitu, feature akan memiliki nilai lebih jika dapat ditulis dan disajikan (dimuat) pada kesempatan pertama, ketika orang sedang hangat-hangatnya membicarakan peristiwa yang bersangkutan. Misalnya peristiwa tersebut terjadi sekarang, maka besok orang sudah dapat menikmati featurenya di surat kabar dengan gaya penyajian yang khas dan lengkap. Ini terutama untuk feature- feature peristiwa.

4. Jenis-Jenis Feature

Selama ini kita mengenal bermacam-macam jenis feature. M. Wonohito dalam buku Berita menyebut ada enam jenis, yaitu feature human interest (human interest feature), feature sejarah (historical feature), kisah mengenai riwayat hidup atau kepribadian seseorang (biographical and personality feature), kisah perjalanan (travel feature), kisah yang memberi pentunjuk dan menguraikan sesuatu (explanatory and how-to-do-it feature), dan feature ilmu pengetahuan (scientific feature). Di samping itu, kita mengenal juga apa yang disebut feature murni dan feature kedai kopi (sidebar). Berikut beberapa sisi feature.
 
  1. Feature human interest atau feature murni adalah jenis berita kisah yang mengangkat kisah manusia biasa dalam peristiwa luar biasa. Atau sebaliknya, kisah manusia besar dalam peristiwa biasa, dalam lingkungan biasa (di tengah masyarakat awam), dan sebagainya.
  2. Feature sejarah, yakni feature yang mengangkat peristiwa masa lalu, tetapi memiliki makna sosial, politik, dan budaya yang selalu relevan dengan masa-masa sekarang.
  3. Feature riwayat hidup atau kepribadian seseorang, tulisan yang mengangkat riwayat hidup atau kepribadian tokoh-tokoh masyarakat yang penting, baik karena kedudukannya, kreativitasnya, popularitasnya, kepribadiannya, jasa-jasanya, dan sebagainya. Akan tetapi, bisa pula sebaliknya, riwayat hidup orang biasa yang menarik dan penting untuk dijadikan pelajaran.
  4. Feature perjalanan, mengangkat kisah perjalanan seseorang karena ada sesuatu yang menarik dan luar biasa, atau penuh petualangan yang mendebarkan. Sebuah perjalanan yang bernilai informasi, ilmu, dan pengetahuan.
  5. Feature pemberi petunjuk atau uraian tentang sesuatu. Berisi tentang petunjuk untuk mencapai sesuatu atau proses terjadinya sesuatu. Dalam feature ini bisa pula feature tentang masakan, tip-tip memelihara kesehatan, dan lain-lain.
  6. Feature ilmu pengetahuan, biasanya berisi tentang sesuatu penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kisah suatu penelitian, dan sebagainya.
  7. Feature kedai kopi, mengangkat kisah-kisah atau sisi-sisi yang menarik dari lingkungan kehidupan sehari-hari. Misalnya mengisahkan suka- duka penjual bakso keliling, para pedagang atau buruh gendong Bringharjo, pencari pasir di Kali Progo, dan sebagainya. Objek feature ini paling gampang dicari, dan setiap saat bisa dibuat.
  8. Feature peristiwa, yakni feature yang mengangkat peristiwa aktual apa saja dengan menitikberatkan pada sisi human interest-nya, atau sisi-sisi di balik peristiwa. Feature ini sering hanya merupakan gaya penulisan saja karena sering bahan-bahannya hanya peristiwa biasa yang di koran harian diangkat sebagai straight news. Banyak ditemukan di majalah- majalah berita mingguan.

Yang Perlu Dipertimbangkan

Tentu ada hal-hal “objektif" yang perlu dipertimbangkan agar feature kita menarik perhatian orang untuk dibaca. Karena feature secara keseluruhan adalah bagian dari tulisan jurnalistik, maka kriteria "objektif" yang perlu dipertimbangkan  relatif sama dengan tulisan jusnalitistik (berita) yang lain. Misalnya saja; apakah tulisan tersebut melibatkan (kepentingan orang banyak), apakah ada unsur konfliknya, kompetisi, progres, dramatik, seks, kengerian, keanehan, kedekatan waktu/jarak, simpati, tingkat ketenaran objek/subjek, konsekuensi, dan sebagainya. Semakin banyak tulisan kita mengandung unsur yang dipertimbangkan tersebut, dapat dibayangkan jika tulisan tersebut akan semakin menarik perhatian orang banyak.

6. Langkah-Langkah Penulisan Feature

Langkah pertama yang ditempuh penulis feature adalah mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan. Ada banyak cara untuk ini. Misalnya observasi (datang langsung ke objek penulisan), interview (melakukan serangkaian wawancara dengan sumber-sumber primer maupun sekunder), dan mencari di buku atau media massa lain sebagai pelengkap.

Apa yang perlu dilakukan dalam mengumpulkan bahan sering sangat tergantung pada jenis feature yang akan ditulis dan macam bahan yang diperlukan. Untuk menulis feature sejarah, misalnya, sering cukup hanya mencari dari sumber pustaka. Akan tetapi, jika ada pelaku atau saksi sejarah yang masih hidup, feature ini akan lebih menarik dan berharga jika dilengkapi dengan wawancara dengan tokoh yang masih hidup itu. Kita bisa mengungkap sisi lain yang tidak atau belum tertulis dalam buku pustaka.

Setelah seluruh bahan yang dianggap diperlukan terkumpul, kemudian tinggal memilih dan mengorganisasikan sesuai dengan stressing yang kita tentukan. Pemilihan stressing ini tentu yang diperkirakan menarik bagi pembaca. Misalnya, kita akan menulis tentang pasar Bringharjo, tentu kita tidak akan mengangkat seluruh aspeknya, karena akan terlalu panjang dan sulit dilakukan. Namun, kita bisa memilih, misalnya aspek sejarah berdirinya saja. Bisa jadi hanya keunikan bangunannya, suasana pada bulan puasa, kehidupan buruh gendongnya, atau peranannya bagi gerak hidup masyarakat Yogya, dan sebagainya.

Pemilihan stressing tersebut bisa juga kita lakukan sebelum kita mengumpulkan bahan. Dengan menentukan stressing sebelum mengumpulkan bahan, kita akan mendapat pedoman bahan apa saja yang kita butuhkan sehingga kita tidak perlu mengumpulkan seluruh informasi atau data tentang pasar tersebut. Hal ini akan menghemat waktu dan tenaga sehingga tidak akan ada kerja kita yang sia- sia. Pemilihan stressing dilakukan setelah pengumpulan bahan hanya kita kerjakan jika kita "masih buta" atau belum tahu persis tentang sisi atau aspek mana yang paling menarik pada objek yang akan kita garap.
 
Sayangnya, justru ini yang paling sering terjadi. Dalam kondisi semacam ini kita memang sebaiknya mengumpulkan bahan sebanyak-banyaknya dari berbagai aspek. Setelah semuanya terkumpul, barulah kita menilai semua aspek yang ada, mana yang paling menarik untuk diangkat menjadi feature. Dengan cara ini kita bisa menulis lebih dari satu feature tentang suatu objek.

Langkah selanjutnya adalah menggarap bahan-bahan itu menjadi feature. Untuk ini kita bisa memulai dari mana saja, dengan teknik atau gaya apa saja sesuai dengan selera dan cita rasa kita terhadap objek. Tentu yang paling baik adalah dengan teknik dan gaya khas kita. Yang perlu diyakini dalam hal ini adalah bahwa penulisan feature bebas memilih struktur. Tidak terikat dengan struktur piramida terbalik, sebagaimana kalau kita menulis straight news.

Yang terpenting dalam menulis feature adalah bagaimana dengan teknik tertentu penulis bisa membangun ketegangan, daya cekam, keharuan, atau daya sentuh yang mampu menghanyutkan perasaan pembaca untuk melahap feature tersebut sampai habis. Daya cekam tersebut bisa dibangun melalui narasi, deskripsi, dan dialog. Karena itu bentuk feature sering mirip dengan cerpen, dimulai dengan pelukisan suasana yang mencekam, kemudian bergerak ke pengisahan yang menegangkan dan dramatis, menuju klimaks dan diakhiri anti klimaks. Jadi, seperti ada plotnya. Bisa kronologis, bisa kilas balik, atau perkawinan keduanya.

Akan tetapi, tentu tetap berbeda dengan cerpen yang dibangun dengan elemen-elemen imajinatif (khayal) karena feature tetap dibangun dengan elemen-elemen fakta. Tapi keduanya memang sama-sama membutuhkan kemampuan berimajinasi penulisnya. Dalam menulis cerpen kemampuan imajinasi itu dibutuhkan untuk melukiskan dunia khayal (rekaan) secara hidup, sedangkan dalam menulis feature kemampuan imajinasi dibutuhkan untuk melukiskan fakta-fakta, peristiwa, suasana, dan gerak dramatik objek menjadi suatu sajian baru (feature) yang benar-benar hidup dan mencekam perasaan.

Karena itu, orang yang tidak mampu berimajinasi tidak akan mampu menulis feature yang baik, sebagaimana pula ia tidak akan mampu menulis cerpen yang baik. Karena itu pula seseorang yang mampu menulis cerpen yang baik bisa diperkirakan ia akan sangat berpotensi menulis feature yang baik pula.

Tampaknya kemampuan berimajinasi yang baik inilah yang sekarang jarang dimiliki oleh para wartawan sehingga feature-feature yang mereka hasilkan dan dimuat di berbagai media massa, rata-rata adalah feature yang buruk, miskin suasana, miskin ketegangan, miskin imajinasi, dan tak punya daya sentuh. Bahkan banyak yang  masih berupa straight news atau investigative news, tetapi sengaja dipasang pada kolom atau rubrik feature, atau mungkin "dipaksakan" oleh redakturnya.

Biasanya satu feature terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah pembukaan, yang berupa lukisan suasana, potongan dialog, atau bagian peristiwa yang sangat dramatis. Bagian kedua adalah tubuh feature yang berisi detail peristiwa atau detail objek. Pada bagian ini detail peristiwa atau objek diceritakan secara lengkap sesuai dengan stressing yang dipilih.

Sementara itu, pada bagian ketiganya adalah penutup yang biasanya berupa klimaks peristiwa, atau bagian yang paling mengesankan. Kisah paling dramatis diletakkan pada bagian akhir feature dengan maksud agar perasaan pembaca bisa terpengaruh dan tidak mudah melupakan feature yang dibacanya. Feature yang berhasil akan selalu meninggalkan kesan yang dalam di hati pembacanya.

7. Membandingkan dengan Cerpen

Sekali lagi kita membandingkan dengan cerpen. Sedikit banyak hal tersebut sudah disinggung pada pembicaraan sebelumnya. Memang, dalam banyak hal menulis cerpen memiliki kesamaan dengan menulis feature. Sama-sama bercerita. Bedanya, jika feature berdasarkan fakta (dengan prinsip 5W+1H), cerpen tidak. Dalam menulis cerpen, kita bebas memaksimalkan imajinasi kita untuk bercerita apa saja. Namun, jika kita "bingung" menulis cerpen apa, maka mungkin perspektif feature bisa dijadikan cara untuk mendapatkan "inspirasi". Dalam hal ini, kita tidak perlu dengan apa yang kita sebut dengan imajinasi (khayal).

Dunia banyak berhutang dengan dunia imajinasi, dunia khayal. Bahkan imajinasi termasuk sumber inspirasi paling penting untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk merubah dunia agar menjadi lebih "sempurna". * * *

POSTING PILIHAN

Related

Utama 1807963361035354420

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item