Perlambangan Tasawuf dalam Sastra



Djoko Saryono

Gagasan-gagasan tasawuf dalam sastra – yang merupakan transformasi dan manifestasi ajaran-ajaran tasawuf – biasanya tidak dituangkan secara lugas dan langsung, melainkan sering dituangkan dengan memanfaatkan lambang-lambang (simbol-simbol). Pengalaman-pengalaman mistis atau tasawuf yang sangat subjektif dan acap personal dapat lebih mudah dicerna dan dipahami apabila diejawantahkan ke dalam lambang-lambang. Itu sebabnya, sastra bernafaskan tasawuf atau sastra sufistis demikian kaya dan pekat akan perlambangan (simbolisme) dan metafora. Seperti halnya sastra pada umumnya, perlambangan dalam sastra bernafaskan tasawuf dimanfaatkan untuk mengungkapkan perasaan, gagasan dan ajaran tasawuf yang sifatnya abstrak – yang bisa jadi sulit dipahami atau dicerna oleh pembaca (bandingkan Sudjiman, 1990:73). Dengan demikian, perlambangan difungsikan untuk manifestasi, materialisasi, dan konkretisasi gagasan-gagasan tasawuf yang mutatis mutandis ajaran-ajaran tasawuf. Lambang sendiri merupakan wujud materialisasi dan konkretisasi itu.

Lambang merupakan sesuatu yang adanya mewakili sesuatu yang lain (Oetomo, 1981:65). Misalnya, lambang pohon beringin dalam konteks politik Indonesia mewakili keberadaan suatu partai politik bernama Golkar; lambang ka'bah mewakili keberadaan PPP; lambang matahari biru me-wakili keberadaan partai PAN; dan lambang kepala banteng bermulut putih mewakili keberadaan par-tai PDI Perjuangan. Hidup dan kehidupan sehari-hari – juga lirik lagu-lagu Indonesia – sering menggunakan warna hitam sebagai lambang duka lara, putih sebagai lambang (ke)suci(an), dan me-rah sebagai lambang cinta.

Dalam konteks sastra, misalnya, burung sering dianggap melambangkan kebebasan dan kelepasan (simak puisi Rendra berjudul Rajawali), laut dianggap melambangkan kebebasan dan keluasan, dan angin sering diartikan melambangkan kehidupan yang terus bergerak-mengalir tiada henti (simak puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang sering menggunakan lambang sebagai wujud konkretisasi dari suatu perasaan dan/atau gagasan yang abstrak).

Lambang dapat diklasifikasikan menjadi bermacam-macam. Banyak pihak sudah mengajukan klasifikasi. Hartoko dan Rahmanto, misalnya, (1986:133) mengatakan bahwa lambang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (i) lambang universal, (ii) lambang kultural, dan (iii) lambang individual. Lam-bang universal bersangkutan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian. Lambang kultural dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, misalnya lambang keris dalam kebudayaan Jawa; lambang celurit dalam kebudayaan Madura; badik dalam kebudayaan Bugis, dan rencong dalam kebudayaan Aceh.

Selanjutnya, lambang individual merupakan lambang yang diciptakan oleh pribadi-pribadi yang maknanya bergantung pada pribadi yang bersangkutan dan atau konteks yang membingkai lambang. Lazimnya ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya pengarang. Ketiga jenis lambang ini terdapat dalam sastra walaupun frekuensinya dan kualitas pemakaiannya tidak sama. Misalnya, dalam novel Burung-burung Manyar (karya Y.B. Mangunwijaya) ditemukan lambang-lambang berkenaan dengan burung manyar, yaitu sarang manyar, burung manyar, dan manyar-manyar baru yang individual sifatnya. Lambang-lambang manyar tergolong lambang pribadi sekalipun bertautan erat dengan lambang kultural.

Dalam sastra bernafaskan tasawuf dapat ditemukan bermacam-macam atau beraneka ragam lam-bang – baik lambang universal, lambang kultural maupun lambang pribadi. Schimmel (1986:423) mengemukakan bahwa lambang huruf demikian penting dalam sastra tasawuf atau sastra bercorak sufistis, bahkan bisa dikatakan huruf merupakan lambang universal dalam dunia tasawuf. Tak heran, lambang-lambang huruf banyak digunakan untuk mewadahi gagasan-gagasan tasawuf. Dicontohkannya puisi Rumi berikut.

Kusaksikan Yunus duduk di pantai samudra cinta Kukatakan padanya,”Apa kabar?”
Ia menjawab dengan caranya sendiri.
katanya,”Di samudra aku menjadi mangsa ikan”
Kemudian aku menjadi lengkung huruf nun, sehingga
aku menjelma Dhu’n Nun sejati.

Menurut penafsiran Schimmel (1986:430), kata atau huruf nun dalam puisi di atas melambangkan pengalaman berada di dalam ikan yang disebutkan dalam larik sebelumnya. Huruf nun dalam puisi tersebut sekadar contoh. Huruf lain banyak dimanfaatkan para penyair mistik untuk lambang-lambang.

Dalam tradisi sastra khususnya persajakan atau perpuisian Parsi yang sufistis atau bernafaskan ta-sawuf, perlambangan anggur dan perlambangan erotis demikian penting (Hadi, 1990:106). Lambang-lambang anggur, bibir molek, kekasih, dan kecantikan sangat dominan, bukan lambang individual lagi, melainkan sudah kultural. Lebih jauh, Abdul Hadi W.M. (1990:105-106) menjelaskan sebagai berikut.

Seperti umumnya ghazal yang ditulis oleh penyair tasawuf itu, sajak mistis Khoemeini yang di-tujukan kepada Tuhan yang disebut olehnya kekasih (mahbub) dengan memakai pencitraan profan membuat pembaca non-Parsi yang tidak paham seluk-beluk persajakan Parsi kerap salah mengerti. Sajak Khoemeni yang diberi judul Keterjagaan itu sarat sekali dengan pencitraan seperti bibir molek, anggur, pelayan kedai anggur yang cantik dan lain-lain. Pencitraan-pencitraan ini digunakan untuk mengungkapkan rasa persatuan mistisnya dengan Tuhan serta kecintaan kepada Yang Maha Indah yang mengatasi segalanya. Jadi, pencitraan-pencitraan yang berhubungan dengan erotisme dan kemolekan kekasih digunakan oleh para penyair tasawuf untuk menyatakan keterpesonaan mereka kepada keindahan yang memancar dari sifat-sifat Tuhan. Sifat rahman dan rahim adalah sifat yang ber-talian dengan kelembutan dan kasih sayang, dan sifat ini merupakan kelompok sifat-sifat indah yang menerbitkan perasaan rindu dan cinta.

Dalam bagian lain tulisannya, Hadi menegaskan bahwa untuk memahami sajak-sajak para penyair sufi, kita dituntut untuk memahami sajak-sajak tasawuf sebelumnya atau yang sudah ada sebelumnya yang banyak menggunakan pencitraan anggur serta pencitraan dari dunia erotis dan sensual, misalnya sajak-sajak Rumi, Hafiz, Nikmatullah, Omar Khayam, dan Sa’adi. Hal tersebut-menunjukkan bahwa perlambangan anggur dan erotis telah menjadi lambang-lambang kultural di dalam sastra bernafaskan tasawuf dan di kalangan penyair sufi. Perlu ditambahkan di sini, perlambangan erotis tak perlu ditafsirkan sebagai birahi dan nafsu rendah.

Burung juga sudah menjadi lambang kultural dalam sastra tasawuf dan atau bernafaskan tasawuf. Fariduddin Attar dalam karya masyhurnya Musyarawarah Burung-burung menggunakan lambang bu-rung di seluruh karya sastranya. Sesuai dengan namanya, seluruh tokoh menggunakan lambang bu-rung, bermacam-macam burung yang tiap burung melambangkan karater dan makna berbeda-beda. Cerpenis penting kita, yaitu Fudholi Zaini juga sangat gemar menggunakan lambang burung. Kumpulan cerpennya Batu-batu Setan banyak memanfaatkan perlambangan burung.

Dalam antologi karya lengkapnya berjudul Ziarah Batu-Batu Setan kita akan mendapati perlambangan burung nyaris pada setiap cerpen. Selanjutnya, Kuntowijoyo juga gemar menggunakan perlambangan burung. Novel dan cerpen-cerpen sering memanfaatkan perlambangan burung. Dalam novel Pasar, dia menggunakan burung sebagai bagian lambang novel, bahkan dia menjuduli salah satu cerpennya dengan burung, yaitu Burung Kecil Bersarang di Pohon. Novel modern Indonesia yang dikarang oleh generasi sastrawan mutakhir terbukti juga memanfaatkan lambang burung. Novel Nukila Amal (catatan: Nukila juga nama burung!) berjudul Cala Ibi (Gramedia, 2012) justru menggunakan tokoh utama burung cala ibi yang mungil dan elok sekali. Semua itu menunjukkan betapa kuatnya keberadaan perlambangan burung dalam sastra tasawuf atau bernafaskan tasawuf.

Bukan hanya lambang angka, anggur, cawan, dan burung yang melimpah ruah dalam sastra bernafaskan taswuf. Lambang laut dan perahu serta hal-hal yang berkenaan dengan itu (misalnya pelayaran) juga sangat sering digunakan dalam sastra bernafaskan tasawuf. Dalam sastra Melayu (bernafaskan tasawuf) dapat kita jumpai lambang laut, perahu, pelayaran, dan hal-hal terkait yang sangat menonjol dan melimpah ruah. Braginsky (1998) dan Hadi (2014) malah menyebut lambang-lambang tentang laut di dalam sastra Melayu Islam itu sangat dominan dan kompleks yang memberi karakter khas syair-syair Melayu.

Dalam hal ini harus dimajukan contoh Hamzah Fanzuri beserta para murid dan pengikut tarekatnya. Hamzah Fanzuri merupakan tokoh sentral yang dengan sangat fokus dan konsisten mengeksplorasi dan mengelaborasi laut sebagai inti perlambangan sastra tasawufnya. Bukan hanya isi syair-syairnya saja yang “basah kuyup” dengan lambang laut dan hal-hal yang berkenaan dengannya, bahkan judul-judul syair Hamzah Fanzuri secara lugas menggunakan kata sekaligus lambang laut, misalnya Syair Perahu, Syair Lautan Yang Mahatinggi (Syair Bahr al-‘Ulya), Syair Lautan Batin (Sya’ir Bahr al-Butun), Syair Lautan Kebenaran (Sya’ir Bahr al-Haqq), Syair Ikan Tongkol, dan Syair Ikan Gajahmina. Bahkan syair-syair yang tak menggunakan judul laut pun di dalamnya sangat dominan pendayagunaan tamsil dan lambang laut dan hal-hal yang berkenaan dengan itu.

Sebagai ilustrasi, dalam salah satu versi Syair Perahu karya Hamzah Fanzuri, yang terdiri atas 42 stanza dan setiap stanza terdiri atas empat baris, secara melimpah ruah kita dapat menemukan tamsil dan lambang laut dan perahu serta yang berkenaan dengannya. Perjalanan keruhanian dan bekal perjalanan itu ditamsilkan dan dilambangkan dengan khazanah diksi laut. Dalam tiga stanza pertama berikut ini kita menemukan tamsil dan lambang laut yang pekat.

1. Inilah karangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah iktikad diperbetuli sudah

2. Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu

3. Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Inilah jalan membetuli insan.


Diksi perahu dan kemudi dalam tiga stanza di atas makin lengkap dan kaya dalam stanza-stanza selanjutnya. Sebagai contoh, dalam stanza 19, 21, 22, dan 26 dikemukakan sebagai berikut.


19. Ingati sungguh siang dan malam
Lautnya deras bertambah dalam
Angin pun keras ombaknya rencam
Ingati perahu jangan tenggelam

21. Sampailah Ahad dengan masanya
Datanglah angin dengan paksanya
Berlayar perahu sidang budimannya
Berlayar itu dengan kelengkapannya

22. Wujud Allah nama perahunya
Ilmu Allah akan kurungnya
Iman Allah nama kemudinya
Yakin akan Allah nama pawangnya

26. Wallahu a’lam nama rantaunya
Iradat Allah nama bandarnya
Kudrat Allah nama labuhannya

Surga jannat al-na’im nama negerinya

Tradisi perlambangan laut beserta segala yang berkenaan dengannya yang sudah diletakkan dan dikembangkan oleh Hamzah Fanzuri dilanjutkan oleh para murid dan pengikut tarikatnya. Abdul Jamal dan Hasan Fansuri, dua Sumatra Abad 17 yang merupakan Hamzah Fanzuri, merupakan contoh ahli waris penggunaan lambang laut dan perahu untuk menggambarkan perjalanan keruhanian atau perjalan mistis, dalam hal ini kekuasaan Tuhan dan pokok ajaran-ajaran tasawuf. Pada masa modern, dengan berbagai perbedaan diksi, ahli waris tradisi Hamzah Fanzuri dalam kesusastraan Indonesia modern adalah Amir Hamzah.

Puisi-puisi Amir Hamzah dapat dikatakan melanjutkan atau mentransformasikan metafisika tasawuf Hamzah Fanzuri. Puisi-puisi dalam antologi Buah Rindu, sebagai contoh, merupakan ekspresi metafisika tasawuf yang sudah dibangun oleh Hamzah Fanzuri. Di luar tradisi sastra Melayu, lambang laut dan perahu sebagai lambang-lambang pengalaman mistis dan ajaran tasawuf dapat kita temukan pada (sebagai contoh) D. Zawawi Imron dan Husni Djamaluddin.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa perlambangan merupakan bagian hakiki sastra sufistis dan sastra bernafaskan bernafaskan tasawuf. Dalam sastra modern atau kontemporer lam-bang-lambang itu tetap ada dan penting karena perlambangan merupakan salah satu penanda pokok keberadaan sastra. Dalam sastra bernafaskan tasawuf kontemporer seperti yang ditulis oleh Khomeini lambang-lambang kultural mungkin masih dominan. 

Kecenderungan spiritualisme dalam sastra kontemporer Indonesia juga mendayagunakan perlambangan secara menonjol dan kuat. Namun, dalam sastra kontemporer sufistis atau bernafaskan tasawuf lambang-lambang kultural mungkin tidak sedominan lambang-lambang individual. Meskipun demikian, terlepas dari jenis lambangnya, perlambangan tetap berperanan penting dalam sastra bernafaskan tasawuf. Dikatakan demikian karena perlambangan merupakan wahana efektif dan efisien untuk menyampaikan gagasan-gagasan abstrak ke dalam wujud konkret.


POSTING PILIHAN

Related

Utama 5969883823128496928

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item