Jangan Pernah Satukan Perbedaan!




Dewi Nur Mawaddah Umar

“Bhinneka Tunggal Ika”, katanya. Hal inilah yang seringkali menjadi slogan orang-orang Indonesia untuk membanggakan negeri yang katanya kaya ini. Pantaskah kita setuju dengan slogan ini? Slogan yang “menyuruh” seluruh rakyat Indonesia bersatu menghadapi krisis keuangan yang disebabkan oleh para tikus berdasi yang sedang duduk santai menertawakan kita; bersatu menerima doktrin bahwa Indonesia adalah kacung bagi negara barat, bersatu untuk terus diam dan seperti orang bodoh yang tidak menyadari tenggelamnya peradaban jati diri bangsa kita.
Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. “Mereka”, orang-orang yang menutup mata akan sisi gelap keadaan bangsa kita saat ini, membutakan mata mereka dengan anggapan egois bahwa si kaya dan si miskin dapat bersatu, si kuat dan si lemah dapat saling membantu, si pintar dan si bodoh dapat saling menguntungkan. “Mereka” dengan sengaja mendoktrin bahwa kita adalah bangsa yang besar.

Pada kenyataannya, si kaya semakin membuat si miskin tersisihkan dan duduk santai di atas singgasana emasnya, menikmati rupiah yang terus tercetak tiap detiknya. Si kuat semakin tertawa di atas ketidakberdayaan si lemah menghadapi dunia ini. Si pintar tenggelam dalam ilmu pengetahuan yang memabukkannya. Sementara si bodoh terus terpuruk dalam kebodohannya. Tak perlu menyangkal bahwa saat ini yang menikmati kekayaan bangsa ini hanyalah si kaya yang kuat dan pintar. Sementara yang lain, merekalah orang-orang yang kita sebut “pengemis kebahagiaan”.

Perbedaan Tidak Bisa Disatukan

Banyak ungkapan bahwa “perbedaanlah yang menyatukan kita” atau “hidup akan terasa flat tanpa adanya perbedaan”. Jika ungkapan di atas benar adanya, berikan komentar Anda tentang bangsa ini. Apakah perbedaan membuat bangsa kita bersatu? Bukankah pada kenyataannya kita bisa melihat bahwa perbedaanlah yang tengah mengadu domba bangsa ini, bangsa yang dipaksa untuk menyatukan semua “perbedaan” dalam satu gugusan. Marilah kita lihat Jepang, negara yang homogen itu dapat bersatu dan bisa kita lihat bahwa bukan perbedaanlah yang membuat mereka menjadi negara yang mendominasi perekonomian Asia.

Pernah dikatakan oleh salah seorang petugas KPU yang mendatangi sekolah saya, “Pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya”. Pernyataan tersebut benar adanya. Namun, saat ini kita justru menemui orang-orang tak bertanggung jawab yang menjadikan pernyataan tersebut sebagai alasan untuk berlindung dengan mengkambinghitamkan rakyat yang telah mempercayainya. Dan, pada kenyataannya saat ini kita justru menemui kebalikannya, “Rakyat adalah cerminan dari pemimpinnya”. Coba bukalah mata hati dan pikiran kita. Dalam sketsa kehidupan ini rakyatlah yang memberikan reaksi atas aksi yang dilakukan oleh para pemimpinnya.

Jika kebijakan pemerintah benar adanya untuk kepentingan rakyat semata, kita tidak akan melihat demo dan pengrusakan fasilitas publik yang saat ini sudah menjadi tontonan yang wajar setiap kebijakan-kebijakan baru dikeluarkan oleh pemerintah. Coba pikirkan, semua kekacauan dan ketidakharmonisan di negeri ini adalah sebab ambisi kita untuk menyatukan semua perbedaan. Kita terlalu keras kepala dengan pemikiran bahwa perbedaan dapat disatupadukan. Padahal justru ambisi semu inilah yang menghancurkan bangsa kita. Selamanya, keselarasan dan keharmonisan tak akan tercipta dari opini “menyatukan semua perbedaan”.

Jika dianalogikan, petani yang cerdas tidak akan menyatukan tanaman jagung dan kangkung dalam satu lahan. Pastilah jagung akan ditanam di tanah yang tidak selembab tempat tanaman kangkung tumbuh. Apakah si kangkung akan memprotes karena dipisahkan dan dibedakan perlakuannya dengan si jagung? Justru jika tanaman bisa berbicara, mereka akan melakukan demo besar-besaran kepada petani yang menyatukan berbagai macam tanaman berbeda jenis dalam satu lahan dan memberi perlakuan yang sama kepada mereka.

Contoh lainnya adalah para hewan penghuni kebun binatang. Jelas kita bisa melihat bahwa tidak ada hewan dengan jenis berbeda yang disatukan dalam satu kandang. Tidak ada gajah yang berada dalam kandang yang sama dengan ular. Apalagi hewan seperti kelinci tidak akan disatukan dengan harimau dan singa. Bahkan, harimau dan singa saja tidak disatukan dalam satu kandang. Tak bisa terbayangkan apa yang akan terjadi jika hewan-hewan yang sangat berbeda seperti ini disatukan. Justru kebun binatang masih dapat dikunjungi sampai saat ini karena para hewan hidup nyaman di dalam kandang masing-masing tanpa perlu terusik karena ada petugas yang akan menyatukan mereka dengan hewan lain yang berbeda dengan mereka dalam satu kandang.

Jika makhluk yang lebih rendah dari kita saja tak pernah dipaksa untuk saling menyatukan perbedaan di antara mereka, seharusnya manusia tidak perlu repot-repot menghabiskan energi dan tenaga untuk melakukan upaya menyatukan segala perbedaan yang ada. Justru lebih baik jika kita tetap hidup dalam perbedaan itu tanpa harus menyatu padukan semuanya.

Impian untuk menciptakan kehidupan yang harmonis tidak perlu diupayakan dengan berbagai macam cara yang justru malah membuat semakin besarnya perpecahan yang timbul di negeri ini. Cukup dengan melakukan hal sederhana yang seringkali luput dari pemikiran kita, yaitu tidak menyatukan perbedaan. Mengutip tulisan dari http://www. thecrowdvoice.com, perbedaan itu tidak bisa disatukan, diubah, dan dihilangkan; perbedaan itulah yang akan memisahkan kita. Pernyataan ini dengan jelas menekankan bahwa kita harusnya menerima perbedaan yang ada dan tidak mengusiknya. Karena bisa saja dengan menerima perbedaan itu jalan menuju keharmonisan hidup yang selama ini diinginkan dapat tercapai tanpa perlu adanya pertumpahan darah antar sesama saudara.

Dangkalnya Pemahaman Kata “Harmonis”

Harmoni tercipta dari sesuatu yang berbeda, bukan dari sesuatu yang sama. Menyatukan perbedaan, berarti membuat semua hal yang ada menjadi sama. Jika semua hal menjadi sama, maka harmoni tidak akan tercipta karena tidak ada hal yang berbeda di dunia ini. Bumi ini hanya akan menjadi replika film pantomim berlatar hitam putih di mana keharmonisan akan menjadi sesuatu yang di luar batas kesanggupan kita.

Selama ini pemikiran kita tentang kata “harmonis” masih terlalu sempit. Sebagian besar dari kita berpikir bahwa keharmonisan ditunjukkan dengan tidak adanya konflik, ditunjukkan dengan lingkungan masyarakat yang aman, tentram, dan kondusif. Padahal keadaan seperti ini belum tepat jika dikatakan “harmonis”. Pikirkan sekali lagi, jika keadaan aman, tentram, dan harmonis tanpa konflik tersebut, justru disebabkan oleh minimnya rasa kepedulian antarmasyarakatnya. Mereka hidup dalam satu lingkungan namun hanya sibuk dengan diri mereka. Sungguh dangkal jika kita berpikir bahwa harmonis adalah perwujudan dari hal di atas.

Jangan berpikir bahwa ketidakpedulianlah yang menyebabkan adanya konflik. Karena, adanya konflik justru menunjukkan betapa orang-orang saling mempedulikan satu sama lain. Hal yang belum tepat dari kepedulian itu adalah cara dalam mengekspresikannya. Jangan selalu berpikiran buruk tentang konflik. Justru konflik itulah yang membuat kita semakin dewasa, belajar dari kesalahan, dan membuat kita menjadi bangsa yang besar jika kita dapat melalui konflik tersebut dengan bijaksana.

Konflik timbul karena adanya ketidaksepahaman. Dan untuk menyadari ketidaksepahaman itu dibutuhkan rasa kepedulian yang tinggi. Jika tidak ada rasa peduli, maka konflik tidak akan terjadi karena semua orang akan membiarkan ketidaksepahaman itu berlanjut. Keharmonisan yang hakiki akan tercipta ketika kita dapat mengatasi perbedaan itu, bukan dengan cara menyatukannya tetapi dengan menumbuhkan rasa saling menghargai dan memahami bahwa perbedaan adalah hal yang mutlak ada di bumi ini dan sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai luhur kita hanya perlu “mencintai perbedaan” itu.

Sekali lagi saya ingin mengajak kita semua untuk mengubah mindset kita tentang kata harmonis. Harmonis bukan berarti “sama” dan sampai kapan pun tak akan pernah berarti “sama”. Harmonis merupakan suatu perpaduan, bukan penyatuan. Harmonis merupakan hal yang saling menguatkan, bukan hal yang disatukan. Pelangi justru terlihat indah karena warna-warnanya tetap terpisah dan tidak bercampur. Justru dengan tidak saling meleburnya warna-warna pelangi membuatnya semakin berwarna dan menguatkan warna yang dipancarkan olehnya.

Seperti itulah harusnya perwujudan kata “harmonis” di negeri kita. Menghilangkan tindakan sia-sia untuk menyerukan penyatuan perbedaan tetapi mengajak bangsa ini untuk tetap hidup dengan karakter masing-masing tanpa perlu memaksa yang lain untuk mengikuti karakter kita. Bukankah yang mewarnai Nusantara adalah berbagai macam perbedaan yang dibiarkan memancarkan warnanya dengan bebas?

Jangan Memaksa untuk Menyatukan Perbedaan

Seperti layaknya hukum kekekalan energi yang memaksa kita untuk menerima opini bahwa energi itu kekal, saya ingin memaksa kita semua untuk tidak lagi menyatukan perbedaan di bumi pertiwi ini. Perbedaan sudah merupakan hal yang mutlak ada di planet yang bernama bumi ini. Untuk apa kita menghabiskan tenaga dan pikiran kita untuk terus berkutat dalam usaha menyatukan perbedaan.

Teori evolusi Darwin saja dapat terbantahkan dengan adanya bukti dan fakta yang susah payah ditemukan oleh orang-orang yang menentang teorinya. Sementara kita, untuk menggeserkan pemikiran menyatukan perbedaan tak perlu repot-repot melakukan riset dengan biaya puluhan miliar. Di sekitar kita sudah bertaburan fakta-fakta yang menunjukkan betapa malangnya negeri ini karena hal tersebut.

Marilah kita biarkan warna Nusantara terus memancar. Mari kita biarkan berbagai karakter berbeda yang ada di bangsa kita tetap hidup dengan ideologi mereka masing-masing. Biarkan perbedaan itu terus hidup dan mewarnai perjalanan hidup bumi pertiwi ini hingga di akhir nanti. Marilah kita ciptakan keharmonisan dari segala perbedaan yang ada di negeri ini. Biarkan perbedaan saling menguatkan dan menciptakan keharmonisan yang indah di negeri ini.

Mulai saat ini marilah belajar untuk saling menghargai perbedaan yang ada. Untuk saling mempedulikan satu sama lain sekalipun kita sangat jauh berbeda. Jangan biarkan ambisi kita untuk melihat adanya keselarasan dengan cara menggeserkan segala perbedaan yang ada dan menyatukan semuanya. Terimalah kenyataan bahwa negeri ini membutuhkan pemimpin yang dapat menerima perbedaan itu dan menjaganya tetap hidup di tanah yang sama, di bawah langit yang sama pula. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang dapat membawa dan mewarnai rakyatnya dengan karakter yang memang telah mereka miliki.

Jangan pernah satukan perbedaan! Bagaimana jika perbedaan justru menimbulkan konflik? Ketika mendapat pernyataan seperti itu, yang terlintas di pikiran saya adalah bagaiman jika kita tidak berpikiran pendek. Jika kita menyatukan perbedaan, mungkin yang akan tampak adalah keteraturan, ketentraman, dan keamanan. Tetapi hal seperti ini adalah keadaan yang semu. Keadaan seperti ini justru membuat orang-orang mengubur dalam-dalam karakter yang dimilikinya. Dan keadaan ini hanya akan bertahan selama ada perintah yang mengekang. Ketika perintah tersebut diabaikan yang terjadi adalah semakin hilangnya rasa kepedulian bahkan kekacauan akibat ledakan ekspresi yang selama ini dikekang tak akan dapat kita bayangkan. Berpikirlah ke depan. Konflik yang ditimbulkan dari usaha menyatukan perbedaan akan jauh lebih besar daripada membiarkan perbedaan seperti apa adanya.

Jangan salahkan perbedaan. Kita harus mengingat baik-baik hal ini. Karena perbedaan tidak pantas untuk dikambinghitamkan. Yang salah adalah reaksi yang kurang bijak dalam menanggapi perbedaan yang ada dan sikap menghargai yang masih belum tumbuh dalam jiwa bangsa ini. Bisa kita lihat dari kasus-kasus kerusuhan yang terjadi di Indonesia. Misalnya, kerusuhan Sampit. Apakah penyebab konflik di antara mereka adalah perbedaan suku dan kebudayaan ataukah orang Madura dan Kalimantan (Dayak) tidak bisa hidup berdampingan? Dari kasus kerusuhan ini jelas terlihat bahwa “perbedaan” bukanlah alasan dibalik timbulnya konflik di antara mereka. Tapi malangnya “perbedaan” justru dijadikan alasan atas tindakan mereka yang tidak bertanggung jawab.

Bisa kita lihat bahwa sebagian besar konflik yang terjadi di negeri ini bukan disebabkan oleh “perbedaan”, tetapi demi melindungi diri dan kepentingan pribadi atau kelompok. “Perbedaan” selalu dijadikan alasan untuk membenarkan diri dan tindakan mereka. Jika ada yang bertanya kepada saya, “Bagaimana jika perbedaan menimbulkan konflik?”. Jawaban saya adalah perbedaan tidak akan menimbulkan konflik sekalipun selalu disalahkan ketika konflik itu terjadi. Karenanya, ketika muncul opini “hidup harmonis di tengah perbedaan”, saya merasa bahwa kita tidak perlu repot memikirkan bagaimana menciptakan keharmonisan di tengah perbedaan itu. Karena, perbedaanlah yang membuat hidup menjadi harmonis. Hal yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana cara kita untuk tidak menyalahkan “perbedaan” yang merupakan hakikat sebenarnya dari kehidupan yang harmonis.

 Siswa MAN Insan Cendekia, Gorontalo

Sumber: buku “Harmoni di Mata Kaum Muda: Kumpulan Esai Sosial Budaya” (Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan 2013)


POSTING PILIHAN

Related

Utama 1247721300609067899

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item