Puisi, Teks, dan Religiusitas “Surat Jibril” karya Maftuhah Jakfar

Pengantar: M Faizi Sedikit kagok ketika saya harus tiba pada pilihan menulis kata pengantar untuk buku ini, buku puisi karya Maftuhah Jakfar...


Pengantar: M Faizi

Sedikit kagok ketika saya harus tiba pada pilihan menulis kata pengantar untuk buku ini, buku puisi karya Maftuhah Jakfar. Lama sekali saya tidak melakukannya, bahkan menulis secara umum dan konstan, sudah beberapa tahun saya tinggalkan, apalagi menulis kata pengantar.

Betul, sekitar tiga tahunan belakangan saya bed rest untuk ber- bagai jenis pekerjaan (dan turunannya) yang menguras energi semacam ini. Mengapa pada akhirnya saya melakukannya adalah karena adanya perasaan bersalah jika tidak dilakukan, semacam lari dari pertanggungjawaban moral dan berpaling dari syukur karena telah diberikan anugerah untuk bisa menulis dan membaca oleh Allah Swt.

Jawaban kedua untuk "mengapa pada akhirnya saya melakukannya" adalah karena nyambhâdhání (menyimak dan melaksanakan permohonan) si penulis kepada saya.

Sejujurnya, yang paling berat dari aktivisme menulis itu adalah adanya kesadaran bahwa menulis sesuatu tema tanpa pengetahuan adalah tindakan naif bahkan sebentuk kejahatan terselubung Seakan-akan, saya dipaksa kompeten oleh keada- an Untunglah, paragraf pertama di atas telah menjadi tembok perlindungan. Terus terang, dari balik tembok itulah saya bisa lempar kata sembunyi tangan. Lakukan, bismillah, mengetik.....

***

Puisi-puisi Maftuhah dibagi dalam lima kelompok. Saya tidak begitu urus dengan judul besarnya Surat Jibril. Yang pasti, napas religius, bahkan spiritualisme, memayungi hampir-atau-semua puisi yang ada di sana, termasuk puisi asmara sekalipun. Inilah benang merah yang dapat saya cekit pertama kali begitu selesai membaca semua puisi.

Saat membacanya, saya melakukannya dalam sekali duduk: sebuah pekerjaan yang (sejujurnya) berbahaya bagi kesehatan dan penge- tahuan.

Pengelompokan kelima bagian ini ditandai oleh judul bertajuk "Surat" lalu diikuti penomoran. Pengelompokannya tidak secara spesifik berdasar- kan tema, namun begitu tampak bahwa yang pertama-tama dipajang adalah ratapan-ratapan spiritual, mencakup munajat yang diselingi Asma- asma Agung dalam berbagai redaksi penyebutan. Pada bagian awal ini juga diselipkan banyak madah. juga ode, untuk guru/kiainya, almamater (pondok). serta beragam lirik lainnya.

Sementara itu di bagian kedua, tema puisi cenderung meromantisasi ruang-ruang spasial, seperti nama- nama pantai di Pulau Madura (tempat penyair dilahirkan). patobin (rumah asal), serta nostalgia penyair yang dipadukan dengan kenangan yang lain. Masih pada bagian ini, Maftuhah juga menggambar- kan rasa terima kasihnya atas karunia cinta yang telah menumbuhkannya menjadi manusia seutuh- nya. Wujudnya dalam bentuk pujian yang bercampur baur, bergerak di antara yang profan (oleh bumbu- bumbu asmara) dan yang sakral (seperti pujian untuk Sang Junjungan).

Jika harus menemukan benang lain yang digunakan untuk mengikat tema pada bagian kedua ini, saya angkat tangan. Pasalnya, tema serupa masih diulang lagi pada bagian berikutnya, tapi dikelompokkan di dalam bab yang berbeda. Perbedaannya sedikit. Di sini, di bab "Surat Ketiga", secara khusus. penyair lebih mendalami tema, mengerucutkannya dan bermuara pada asmara dan romansa.

Hal yang sama masih juga saya temukan pada nomor keempat dan kelima. Tidak tertangkap ke- merucutan tema yang melebihi itu pada kedua bagian ini, kecuali beberapa model gaya peng- ungkapan yang cenderung lebih 'subtil' pada bagian keempat, mengejawantah lewat "metafora-metafora jauh (yang gambaran perumpamaannya lebih dijalinkan jembatannya). Hal lain yang menjadi bukti bahwa kategorisasinya tidak benar-benar spesifik adalah pencantuman datum penciptaan puisi yang dipasang secara acak, tidak kronologis.

Hampir pada semua puisinya, penyair menggunakan ekspresi gaya lama, rada mendayu-dayu, seolah- olah si penyair tidak bisa move on dari aura lokalitas romantisme dan kemaduraan, seba- gaimana semua itu tergambar dalam pemotretan suasana: hujan, rindu, perahu, dan mayang siwalan. Bahkan, yang demikian ini, masih tetap pula terikutkan pada bagian terakhir, bagian kelima. Penyair tetap setia dalam bergelut dengan roman- tisme spasial, seperti kota Jakarta, terminal, laut. dan sekitar-sekitar itu.

Adanya penyebutan nama Jibril dan munculnya ekspresi batiniah dan metafisik pada bagian- bagian tertentu di dalam buku ini, terutama di bagian awal, membuat ruang penafsiran terbuka

lebih lebar bagi pembaca. Mereka akan melakukan pembacaan dan merasa sedang berziarah ruhani. sehingga diharapkan kesan-kesannya muncul secara impulsif Munculnya diksi wahyu (atau kata-kata hiponim darinya) di satu tempat dan Jibril di tempat lain hendaknya tidak serta-merta membuat kita harus membuat referensi tunggal kepada malaikat karib Nabi Muhammad tersebut.

Masih ada ruang sangat luas bagi pembaca untuk memainkan tafsirannya. Sekurang-kurangnya. mereka harus sadar bahwa yang ada di hadapan mereka adalah buku puisi, bukan kitab suci.

Namun begitu, saya melihat, ungkapan-ungkapan metafisis di dalam puisi ini tidak sekadar ungkapan- ungkapan melambung yang tugasnya hanya menimbulkan kata-kata dari makna asalinya, me- lampaui makna kamusnya, melainkan lebih dari itu. Saya meyakini, ia adalah ekspresi rohaniah sang pengarang dalam menjalani laku spiritual yang pada momen-momen tertentu muncul secara mengejutkan, tak terduga. la adalah sesuatu yang lahir dalam keadaan yang khusus, sangat personal, juga eksklusif.

Kita tahu, momentum istimewa di dalam hidup tidak serta-merta dapat diraih oleh semua orang yang modalnya sekadar berlaku dawam atas

suatu amalan Acapkali ia merupakan karunia (kadang disebut wijhah) dari Sang Pemberi yang kehendaknya tak dapat ditolak. Pengalaman seperti ini juga dialami oleh orang lain meskipun dengan cara berbeda Sayangnya, pengalaman seperti ini memiliki potensi tinggi untuk menjadi "rusak" (atau tidak utuh) manakala disampaikan karena tidak terwakilkan secara sempurna oleh kata- kata Begitulah keterbatasan-keterbatasan itu berlaku

Oleh sebab itu, saya tidak yakin kalau ungkapan- ungkapan di dalam puisi ini dapat mewakili penga- laman personal si penyair seutuhnya, lebih-lebih karena tema berat yang dipilihnya. Ungkapan semacam itu harus lebih dulu lolos dari seleksi pilihan ekspresi. jebakan pilihan kata (diksi). maupun aturan-aturan gramatika yang mengikat la harus terlepas sepenuhnya untuk mencapai puncak.

Akan tetapi, apa daya, inilah puisi. Sebebas apa pun ia ditulis tetaplah akan selalu terikat. Ada tata bahasa dan puitika yang mengangkanginya, lebih-lebih jika ia harus disampaikan dengan kekangan puitika dan aturan-aturan dasar yang berlaku umum, bahkan andaipun si penyair melaku- kan pelanggaran-pelanggaran "seperlunya" sebagaimana dilakukan penyair dalam menjaga rima, menekankan unsur auditif pada hampir seluruh puisi dengan pengarusutamaan buny senga/nasal di dalamnya, dan sebagainya

Di alas semua itu saya akul Maftuhah Jaklar memiliki energi yang kuat la berusaha memper tahankan romantisme dan spiritualisme agar tetap berjalan beriringan, di sepanjang jalan pencitraan dan di dalam pola atau ungkapan. Saya kira ini adalah pekerjaan tidak mudah yang tidak akan rampung anda tidak sembari ditopang oleh cinta dan sikap nan tabah (Rulis)

POSTING PILIHAN

Related

Utama 4586284278542678477

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item