Jangan Beriman Kepada Isu




D. Zawawi Imron

Ketika ada seseorang menyelewengkan uang kantor untuk mengisi kantongnya sendiri, lalu ia diberitakan sebagai koruptor, betapa sakit hatinya, betapa dag dig dug jantungnya untuk memerima keputusan vonis hakim. Belum lagi hukum moral yang akan ia terima dari masyarakat.

Bagaimana lagi dengan orang yang tidak berbuat, lalu diberitakan sebagai pengembat uang kantor. Dirinya tidak berbuat, tapi kebusukannya dibikin orang, dan disebar ke mana-mana seperti bau terasi satu truk diangkut ke pelabuhan. Betapa menyakitkan.Tapi itulah jahatnya isu, dan kejamnya fitnah. Mendingan kalau seseorang mencuri, uangnya sudah jadi sedan, jadi rumah mewah, jadi saham berkeping-keping, dan kemudian namanya tercemar, itu memang barangkali sudah sepantasnya.

Itulah barangkali pentingnya asas praduga tak bersalah, yang sering didengung-dengungkan. Itu artinya, kita sangat menghormati manusia, yang secara kebetulan jadi tertuduh. Kalau asas itu kita setujui, dan kita pahami sampai ketulang sumsum, tentu tak mungkin ada isu, gosip, fitnah dan semacamnya.

Asas praduga tak bersalah tentu tidak saja dipandang dengan kacamata hitam, tapi juga dengan kacamata akhlak dan agama. Soalnya, Allah sangat malarang suudzdzan, buruk sangka. Buruk sangka memang sikap tidak ilmiah, bukti-bukti kesalahannya belum akurat, cap bersalah sudah diumumkan, dan disebarkan seluas tanah air.

Ada pertanyaan, mungkinkah era komunikasi canggih seperti sekarang ini orang bisa menghindari isu? Bisa saja, tergantung persepsi yang telah dibentuk di tengah-tengah masyarakat. Jika masyarakat tak bisa membedakan antara isu dan berita yang akurat, bisa jadi semua isu dianggap berita  benar, sebagaimana sikap orang yang sehat terhadap berita nyata yang akurat. Dalam atmosfer seperti itu, berita yang akurat pun bisa dibantah dan dihapus oleh isu. Betapa membingungkan!

Secara psikologis dan sosiologis, umumnya manusia memang selalu haus akan informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di mana-mana. Di zaman modern, kebutuhan akan informasi itu dipenuhi dengan aneka media: koran, telpon, televisi, radio, dan internet. Itu tentu sangat bagus selagi informasi itu benar-benar bisa dipercaya. Cuma, jika seseorang tak tahu manfaat informasi yang ia terima, bisa-bisa ia hanya jadi gudang informasi, tetapi tak bisa mengambil hikmah dari materi informasi yang telah dimilikinya.

Apalagi yang diterimanya bukan informasi yang netral, tetapi “isu” yang banyak dibumbui rasa sentimen, yang bisa menyemarakkan intrik dan fitnah, akan runyam dan susahlah keadaan. Akal sehat akan terpinggirkan.

Akan lebih menakutkan lagi kalau kesenangan mengembangkan isu itu sudah menjadi budaya. Isu pun tak cuma satu macamnya. Ada isu politik, isu ekonomi, isu kesenjangan sosial, isu tukang santet, isu SARA, sampai isu kecil tentang anak sapi berkepala macan serta kambing berkaki tujuh. Anehnya, semua itu ada yang menganggap konsumsi batin yang menyegarkan dan diyakini sebagai peristiwa yang benar-benar akurat. Ini terjadi karena tak ada sikap dan kurangnya seleksi terhadap informasi yang diterima.

Penggemar isu barangkali mamang tidak banyak. Tapi kalau diantara seribu orang ada 5% yang senang isu, bisa dibayangkan betapa kotornya udara oleh polusi non-migas itu. Tuhan, agama, moral, persaudaraan, aturan, dan nilai-nilai akan dikucilkan. Sebagian orang lalu beriman kepada isu.

Menghadapi maraknya isu-isu, ada orang yang pesimistis. Katanya, isu tak akan bisa dihapus, soalnya distop di sini muncul di sana, dan sebaliknya. Sebagai manusia yang percaya pada akal sehat, seyogyanya kita percaya pada usaha kebudayaan. Dunia ini memang tempat pergumulan antara yang baik dan buruk, antara kebenaran dan kebatilan. Namun, Tuhan dan hati nurani kita menyuruh kita untuk berpihak kepada yang baik dan benar, yang menguntungkan sebagian terbesar umat manusia. Upaya membudayakan “akal sehat” yang memberikan tempat mulia bagi kemanusiaan perlu didukung lewat pendidikan, dakwah, media massa, kesenian, dan sebagainya.

Setiap orang yang luhur pikirannya, punya tanggung jawab untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa “isu” itu penyakit sosial yang perlu dihindari. Para tokoh, agamawan, pemimpin organisasi, dan para pemangku kebudayaan  lainnya punya tugas mulia untuk menerangkan kepada masyarakat luas bahwa mengembangkan isu, bergunjing, menggosip, dan menfitnah itu merugikan orang lain. Kalau dibiasakan dan tidak ditepis, bisa menjadi virus yang merusak jaringan kerukunan berbangsa.

Lebih-lebih saat mendekati masa pilkada, saat tokoh-tokoh dan partai-partai akan berpacu untuk meraih suara sebanyak-banyaknya, sangat dimungkinkan di antara aktivis partai ada yang membawa “isu” ke mana-mana untuk melecehkan kelompok dan orang lain. Berupaya untuk menang adalah sesuatu yang sangat wajar. Namun, upayakan tidak sampai menyakiti dan menghina kelompok lain dan orang lain, agar kemenangan yang diraih diperoleh secara indah dan terhormat. Bukan karena mengekspos isu yang hakikatnya bisa menunjukkan kerendahan akhlak.

Untuk itu, akhlak dan moral yang baik, serta pendekatan religius kepada Allah, bisa dijadikan tumpuan dalam berbuat dan berbicara, sehingga tingkah laku dan kalimat yang diucapkan menjadi ajakan simpatik, indah dan menyejukkan.

Lisan dan lidah adalah karunia Allah. Setiap manusia wajib menjaga lisannya untuk tidak menjadi penyambung isu. Isu adalah berita palsu yang tidak jelas. Budaya isu menjadikan masa depan tidak jelas. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berakhlak dan suka kerja keras, bukan bangsa yang beriman kepada isu.


POSTING PILIHAN

Related

Utama 5925793641180715531

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item