Menilai Puisi

 

Chye Retty Isnendes

Apakah betul pernyataan di atas? Bukankah puisi untuk dinikmati? Apakah dari penilaian yang benar, akan memotivasi pembaca untuk membaca? Ataukah dari penilaian yang salah puisi akan berhenti dibaca? Apakah membaca puisi hanya karena kita wanoh pada penyairnya? Hanya karena kita wanoh pada kebesaran namanya? Seperti pada penyair Wahyu Wibisana? Sayudi? Ajip Rosidi? Chairil Anwar? Sitor Situmorang? Amir Hamzah? Federico Garcia Lorca? Khalil Gibran? Atau Nizamii dengan kata-kata puitisnya dalam Laila Majnun yang terkenal itu?

Ah, apakah benar puisi dapat dinilai? Dievaluasi? Dan diberi poin? Kalau begitu kita membaca puisi hanya karena pendapat bahwa puisi ini baik, puisi spontanik, puisi ini heroik, dll. Bukan karena menikmati karya puisi itu apa adanya. Puisi yang berbicara dengan segenap kepuitikannya?

Penilaian sebuah puisi berawal dari interpretasi. Interpretasi tentang keindahan dari satu puisi. Karena indah itu sangat subjektif sifatnya, maka para ahli merasa perlu menentukan yang disebut puisi indah itu apa. Walaupun pada kenyataannya ketentuan itu kembali menjadi bermacam-macam bergantung pada paradigma keilmuan dan perspektif para ilmuan yang menentukannya.

Puisi bisa dinilai bergantung pada kepentingan apa kita ‘membaca’ puisi tersebut. Apakah penilaian bagian dari kritikan atau apresiasi? Dua-duanya bisa dipakai bergantung dari perspektif mana kita melihat. Penilaian pada sebuah puisi dianggap bagian dari kritikan adalah ya. Kritikan tertinggi. Sehingga pembaca mampu menentukan puisi yang ‘baik’, ‘bermutu’ itu seperti apa. Penilaian sebuah puisi dianggap dari apresiasi adalah juga ya. Menghargai puisi (karya seni) dengan tingkat tinggi adalah dengan menilai.

Karena dari perspektif kritik dan apresiasi bermuara pada evaluasi, maka kemudian berkembanglah perangkat penilaiannya. Bermacam-macam aliran dan alat ukur ditawarkan para ahli (baik praktisi maupun akademisi). Terutama di Barat, kriteria penilaian karya sastra begitu beragam. Kalau para penyair konvesional menyebut keberhasilan puisi cukup dengan membuat kita tertegun dan terkagum-kagum, itu tidak salah, tetapi tidak bisa diuraikan bentuk ketertegunan dan keterkaguman itu. Nah, para ahli dari barat mensistematikakan penilaian tersebut dengan kritreria-kriteria karya seni (walaupun sebenarnya sangat-sangat terpengaruh filsafat positivistik; ideologi materi yang secara umum diterapkan pada ilmu matematika dan pengetahuan alam; sain).

Dari sekian banyak ahli, Wellek dan Warren adalah ahli sastra yang menempatkan puisi tetap berpijak sebagai karya seni. Menurutnya karena puisi (karya seni) bersifat ‘indah’ dan mengandung nilai ‘bermutu’, maka puisi (karya seni) harus dinilai dengan dua hal: kriteria estetik dan kriteria ekstra estetik.

Penilaian estetik adalah menilai karya puisi dari struktur estetik, yaitu semua usaha yang terlihat susunannya dalam puisi: rima, irama, diksi, gaya bahasa, alur, konflik, humor, termasuk juga kebaruan dan kemampuan yang membuat orang terpesona. (Nah, penilaian para penyair atau pembaca konvensional masih sebatas ini ternyata).

Penilaian ekstra estetik adalah penilaian dari bahan-bahan karya puisi, yaitu: pemilihan kata-kata; bahasa, tingkah laku manusia, gagasan, sikap (di antaranya spontanitas), intension (niat) dan apapun yang sebelumnya berada di luar karya puisi itu sendiri. Dalam puisi yang berhasil, bahan-bahan tersebut terjalin dalam hubungan-hubungan yang bermacam-macam oleh dinamika-dinamika tujuan estetik.

Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi, selain berdasarkan pada susunan yang terlihat (estetik) juga berbahankan pada bahan-bahan yang besar. Kebesarannya (agung) adalah bila puisi tersebut mengekspresikan nilai yang besar. Nilai-nilai kehidupan yang besar itu diantaranya meliputi pikiran-pikiran yang tinggi atau cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan menawarkan renungan (kontemplasi).

Dengan demikian, sebuah puisi yang bernilai sastra (tinggi) adalah sebuah karya yang indah dan mengandung kreativitas (estetik), juga memuat pikiran-pikiran tinggi dan gambaran-gambaran kehidupan yang mempesonakan (ekstra estetik).

Dengan demikian pula, kita tidak bisa menafikan puisi tersebut dengan menyebut ‘tidak bermutu’, ‘tidak bernilai’, ‘tidak bernilai sastra’ dan semacamnya bila kehilangan salah satu unsur kecil dari bagian unsur besar (estetik & ekstra estetik) –karena tidak ada zat yang sempurna kecuali pembuat manusia! Jika tidak ada salah satu dari keduanya (estetik atau ekstra estetik tidak ada), penilai boleh menyebut bahwa puisi tersebut ‘kurang bernilai atau kurang bernilai sastra’ bahkan ‘tidak bagus’.

Uraian di atas adalah melihat penilaian puisi dari keobjektivan karya. Dalam kenyataannya menilai puisi juga bisa bergantung pada penilai. Mampu tidaknya penilai menghadirkan jarak dirinya dari karya dan penyairnya, atau menekan seminimal mungkin praduga negatif yang memenuhi pikirannya dalam menilai puisi menjadi sesuatu yang penting dikritisi.

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa soal keindahan adalah soal subjektif yang sesuai dengan selera, penghayatan, dan pengalaman pembaca kritis (penilai). Apalagi bila dibebani dengan kepentingan-kepentingan lain, definisi keindahan yang seharusnya diterapkan seobjektif mungkin menjadi bias. Apalagi dengan ditambah kesan yang salah akan membentuk opini pembaca lain terhadap puisi tersebut.

Lalu, jika penilai menyebut ada puisi yang kehilangan ‘spontanitas’. Apakah itu?

Spontanitas dalam KBBI adalah: 1) kesertamertaan dan 2) perbuatan yang wajar, bebas dari pengaruh orang lain dan tanpa pamrih. Nah, spontanitas yang disebut penilai ini harus dijelaskan. Spontanitas yang pertama merujuk pada unsur estetik (hal-hal yang bisa dilihat dari puisi), sedangkan spontanitas yang kedua merujuk pada unsur ekstra estetik (khususnya: sikap penyair).

Jika penilai merujuk spontanitas yang pertama, harus dijelaskan apa dan bagaimana sehingga puisi tersebut disebut kehilangan kesertamertaannya? Bukannya puisi adalah spontanitas kata-kata yang meluncur seketika ketika rasa sudah memuncak (intens). Mana mungkin rasa yang keluar dengan dilandasi kejujuran terhadap apa yang dirasakannya dapat berbohong?

Jikapun penilai merujuk spontanitas yang kedua, tidak wajar? Tidak pamrih? dan sebagainya, harus dijelaskan ketidakwajarannya. Kalau ketidakwajarannya dalam gaya bahasa misalnya, bukankah hiperbola adalah sarana ungkap yang dibutuhkan secara wajar oleh penyair untuk mewadahi tujuan puisinya? Dan bagaimana bisa menyebut tidak wajar pada sikap penyair bila ada kedekatan jarak yang tidak diminimalisir atau tepatnya subjektivitas yang besar yang menempatkan posisi penyair menjadi inferior? Padahal penyair dalam mengekspresikan gagasannya tanpamrih atau tulus dan jujur dan integritasnya bisa dipertanggungjawabkan.

Apakah ini tidak berlebihan bahkan bisa dianggap praduga penilai yang menyesatkan dan menjatuhkan?

Dari uraian panjang di atas, ditarik kesimpulan bahwa:

1) puisi adalah karya sastra yang merupakan karya seni yang bisa dinilai dengan kriteria objektif –walaupun tidak ada norma keindahan yang objektif. Objektif di sini maksudnya berpegang pada teori atau kriteria tertentu dengan definisi yang jelas,

2) menilai puisi adalah menilai karya seni yang melandaskan penilaiannya pada unsur estetik dan ekstra estetik (hal-hal yang tersusun; terlihat; terbaca oleh pembaca dan bahan-bahan puisi; yang tidak terlihat dan kemudian diwujudkan melalui interpretasi pembaca/penilai),

3) sikap penilai yang harus bersikap objektif –meminimalisir subjektivitasnya selaku penilai dan menjelaskan maksudnya dengan tidak taksa (ambigu) kepada pembaca lainnya sebagai bentuk tanggung jawab keahliannya menilai.

Selain itu, disarankan:

1) Penilai atau pembaca ahli berpegang pada definisi-definisi yang bisa dipertanggungjawabkan karena menilai berarti memberikan pengetahuan baru yang wajar dan jujur pada pembaca, karena boleh jadi penilai dianggap ahli yang dirujuk pernyataannya oleh pemaca awam.

2) Penilai atau pembaca ahli sepatutnya memperlihatkan hal-hal yang memperlihatkan keseimbangan integritas dalam menilai (menguraikan kelebihan-kelebihan selain menjelaskan kelemahan-kelemahan puisi atau karya).

Mari, kita nikmati puisi rayakan kata-kata sajak dalam kejujuran, kebenaran, dan ketulusan jiwa, wahai penyair, pembaca, dan penilai!*

Bandung, 2 Feb 2011

Diangkat dari sumber tulisan: Chye Retty Isnendes


POSTING PILIHAN

Related

Utama 1441569135610085718

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item