Sebuah Desa yang Gelisah


Cerpen: Khairus Syamsi

Aku hanya berdiam diri di rumah setelah subuh tadi pamit undur diri, seraya memandangi dinding bercat putih kusam lantaran sudah berusia tua.  Dan di beberapa bagiannya berongga karena keropos serta bekas lubang paku tempat pakaianku bergantungan dahulu. Aku belum sempat membenahinya bahkan sampai purnama muncul dengan rupa sabit yang baru.

Di lain sisi, aku kembali dari tanah rantau sudah beberapa pekan sebelumnya. Hanya saja kesibukanku tiap hari selama sepekan terakhir tak begitu jelas, itupun mengambil seluruh waktuku. Aku sekadar menyaksikan lebah menyentuh mekar bunga di halaman. Daun-daun berserakan setelah hujan dan angin yang datang bersamaan malam tadi. Pun langit biru yang berbagi tempat dengan awan juga asap rokok dari altar rumah tetangga.

Sampai kapan aku begini terus? tiba-tiba saja pertanyaan itu melintas dalam pikiranku. Tapi aku menyadari bahwa ini tidak datang untuk pertama kalinya, aku selalu berharap berguna tapi tak melakukan apapun. Acapkali begitu, aku hanya berteman sepi pagi dan segelas kopi. Namun kali ini aku harus mampu menghajar malas dan mulai menyapa dunia, bagian diriku yang lain mulai bersuara.

Berselang beberapa jam kemudian, aku menghubungi seluruh teman lama yang masih tersimpan di kontak ponselku. Satu per satu meresponku, mereka mengaminkan permintaanku untuk berkeliling desa. Kebetulan hari ini tepat pada akhir pekan, yang bekerja di sebuah lembaga sedang libur sementara yang masih menyandang status mahasiswa juga sama. Akhirnya, waktu dan tempat berkumpul kami tetapkan secara bersama. Pukul 07.00 WIB di kedai milik tetangga yang berada di pinggir jalan utama penghubung desa.

Kesepakatan sebelumnya benar-benar terealisasi secara tertib, tidak ada satupun di antara kami yang melanggarnya. Setelah berbincang sebentar, kami berangkat dengan mengayunkan sepeda tua dan perbekalan seadanya. Darso seorang pedagang muda berbakat bertanya maksud utama dari perjalanan ini padaku.

Sebelum menjawabnya, aku memikirkan terlebih dahulu dan sementara merubah alur pembicaraan. Bermaksud menjawab pertanyaannya, aku bedalih dan memberikan alasan dengan mengutip perkataan orang. Seorang tokoh arkeologi dan peneliti yaitu Tolstoy, ia berkata bahwa ketahuilah desamu dan saat yang sama kamu akan memahami dunia. Melalui jawabanku tersebut, teman-temanku semakin antusias.

Sepanjang perjalanan, aku melihat detail rupa desa yang sudah berubah. Sekitar tiga puluh menit, seseorang meminta berhenti sejenak. Mengamini permintaannya, kami singgah di salah satu warung pos jaga desa yang kira-kira baru di bangun 1-2 tahun sebelumnya.

Gubuk kayu yang cukup bersih mengisyaratkan bahwa sangatlah terawat, dan seduhan kopi menambah nikmat. Kami duduk tak beraturan, serta beberapa melakukan peregangan mungkin saja lelah. Dan di sekitar kami pohon kelapa berbaris menari mengikuti gerak angin dan suara seruling semesta. Suasana semakin nyaman setelah nyanyian burung-burung juga ikut membersamai kami.

Tak berselang lama salah satu temanku menyela dan bertanya pada kami.

Serangan pertama berupa pertanyaan dilancarkan.  

“Dari apa yang telah kalian saksikan sejak awal, kalian mendapatkan apa?” tanyanya dengan wajah dan suara yang serius. Kami tersentak.
“Maksudmu?” tanyaku karena benar-benar tak mengerti.
“Jadi, setelah berputar di jalanan desa sejak tadi, apa yang kalian dapatkan?” Wahyu mengulang pertanyaan yang sama dan hanya berbeda narasi.
“Aku juga harus menjawab?” timpal Hafidz yang sempat sibuk dengan ponselnya.
“Iya tentu, pertanyaan untuk semua. Jangan-jangan kalian tidak mendapatkan apa-apa.” Si penanya memberikan penekanan kembali.

Suasana sunyi sejenak, dan si penanya masih menatap kami bergantian yang duduk melingkar dengan kaos terbuka lantaran gerah. Aku masih memikirkan jawabannya diam-diam, sementara teman lainnya juga masih tampak sibuk mengingat kembali yang terjadi selama perjalanan tadi.

Sejenak kemudian Wahyu berbicara lagi dan memecah hening, “baiklah kalau tidak ada yang bersedia menjawab tidak masalah”. Kami heran lalu menatapnya dengan serius.

“Sebentar, bagaimana kalau kita atur dulu biar tidak saling memotong pembicaraan nantinya,” aku menyela sekaligus menawarkan saran.
“Baiklah, itu benar si,” Bambang yang sejak tadi diam akhirnya bersuara.
“Silahkan, nanti aku yang akan menunjuk dan selama bukan bagiannya dilarang menimpal ya,” si penanya memutuskan.
“Siap,” serentak kami menjawab.

Tanpa menunggu lama, ia meminta Hafidz untuk mengutarakan jawaban dari pertanyaan tadi. Hafidz adalah seorang mahasiswa aktif salah satu kampus di Sumenep sama halnya dengan si penanya. Mungkin saja seorang kutu buku, insan akademis, dan ahli retorika, pikirku.

“Langsung saja ya, aku menemukan banyak manusia sedang tertawa tapi bukan karena bahagia,” ujar Hafidz percaya diri.
“Jawaban luar biasa, tapi boleh dijelaskan lagi agar kami semua mengerti,” si penanya merasa tak puas.
“Penduduk disini adalah orang-orang yang terlatih bermain peran atau menyembunyikan resah jiwanya. Aku mengatakan itu bukan tanpa dasar, lihat saja tanahnya yang dahulu tumbuh padi sekarang sudah tidak. Kebun dan ladang tempat bercocok tanam yang merupakan mata pencaharian utama telah habis terganti gedung bertingkat.”

Ia meneruskan dengan wajah sangat serius, sementara aku dan lainnya termasuk penanya hanya mendengarkan lalu mengangguk membenarkannya.

“Baiklah fidz, terima kasih. Sekarang giliranmu bang,” Wahyu menunjuk Bambang untuk menyampaikan jawabannya.

Bambang adalah pemuda desa yang utuh, sejak kecil ia menghabiskan waktu di negeri ini dan tak pernah sekalipun ia beranjak merantau ke luar kota, pendidikannya sampai lulus sebagai santri. Sekarang ia sibuk membantu pekerjaan orang tuanya. Dari sorot matanya, ia sedikit ragu dan malu. Tapi aku tahu, bahwa ia juga akan ikut menjawab pertanyaan Wahyu.

Sesuai prediksiku, ia langsung menjawab tanpa basa-basi.

“Aku tak mendapati apa-apa selain keikhlasan dan rasa syukur,” Bambang menjawab dengan singkat dan lugas.
“Bagaimana bisa begitu?” kali ini aku yang menyela lantaran penasaran.
“Coba lihat kembali lagi, penduduk tetap bekerja dengan penuh upaya dan tak terlihat dalam diri mereka keluh kesah. Sedikit banyak penghasilan yang didapatkan bukanlah masalah, dibuktikan dengan tidak adanya protes secara serius. Serta dari matanya, tak sedikitpun mereka menyimpan gundah. Jelas saja itu sebuah hasil akhir dari syukur luar biasa.” Bambang menjelaskan meski terbata-bata.

Aku dan lainnya hanya dapat terdiam serta tak mampu berkomentar suatu apapun. Wahyu si penanya sudah bersiap menunjuk salah satu di antara kami. Namun aku sendiri berharap untuk kebagian paling akhir. Kemudian, Darso yang duduk tepat disampingku mengacungkan tangan dengan sendirinya. Sepertinya ia telah terbawa pada perbincangan dan tak tahan ingin segera mengungkapkan.

“Oh boleh so, silahkan,” gumam si penanya.

Darso adalah seorang pedagang muda yang cukup terkenal di kalangan masyarakat desa, bisa jadi karena ia salah seorang yang ramah dan humoris. Seperti biasa, sebagai orang yang blak-blakan dan pembawaan yang santai ia langsung bergumam.

“Aku menyaksikan pertunjukan kehidupan yang sangat kompetitif dan penuh cinta,” ia menyampaikan sembari tersenyum.
“Asyik, teruskan. Aku suka kalau kakak satu ini yang berbicara, selalu ada cinta dan gaya yang syarat akan prinsip dunia perdagangan,” Bambang menyela kegirangan.
“Coba ingat kembali, setiap warga bekerja sama dengan baik. Satu sama lain bahu membahu mengerjakan tugasnya dengan sepenuh hati tanpa ada persaingan yang timpang. Hal itu ditunjukkan dengan selesainya pekerjaan yang di emban secara bersamaan.” Darso menggenapkan jawaban dan masih dengan gaya khasnya.

Selesai Darso menjawab, maka tinggallah aku yang sama sekali tak berpendapat sejak awal. Dan dengan tegas dan kompak, mereka menuntutku untuk menjawab pertanyaan yang sama.

Aku sendiri adalah seorang biasa yang sempat menimba ilmu di tanah Jawa. Dengan kata lain, aku adalah orang lama yang baru di negeriku sendiri. Dan mendapat giliran terakhir tentunya sedikit membuatku takut, apalagi argumen teman-temanku luar biasa dan hampir sempurna. Aku tak mungkin menghindar. Terpaksa atau tidak aku wajib menjawab sesuai asumsiku sendiri.

“Aku tak melihat apapun selain perubahan,” jawabku sedikit canggung, sekaligus memecah kebuntuanku sendiri.
“Maksudmu si?” penanya tampak begitu kebingungan.
“Lihat saja, segalanya di desa ini telah berubah. Seolah bumi dan langitnya begitu gelisah. Pastinya setelah peristiwa pembangunan daerah serta mengikuti anjuran pemerintah dengan percepatan ekonomi juga teknologi. Daratan dengan berbagai jenis vegetasi yang menghiasi dan jenis binatang baik bersayap atau tidak telah lenyap. Lautan sesak oleh sampah plastik dan kotoran rumah tangga bekas pakai. Sedang langit biru berubah kelabu oleh ilusi optik yang dihasilkan antara persilangan asap kendaraan bermotor dan pembakaran beberapa lahan pepohonan. Sekarang ini, makhluk hidup termasuk manusia tentunya akan mampu bertahan tapi tidak tahu lagi esok nanti.” Aku meneruskan.
“Kenapa kamu bisa seyakin itu si?” timpal Hafidz, naluri kritisnya keluar.
“Tentu saja, sejak dulu tradisi merawat bumi benar-benar dijaga oleh bangsa kami secara baik. Bahkan turun temurun dalam tempo waktu yang cukup lama dan kira-kira hanya dapat dihitung melalui ukuran abad. Tapi, sekarang seluruhnya berbeda. Entah dikarenakan kemajuan zaman, era abad-21, dan modernisasi dalam segala lini, aku tidak tahu pasti. Satu hal yang pasti, negeri moyangku telah berubah.” Aku menjawab kembali dengan penuh emosional.

Seluruh temanku mendengarkan secara seksama, kemudian mereka menyeringai seakan jawabanku juga memuaskan mereka.

Setelah aku selesai berbicara, penanya yang tadi memutuskan untuk mengakhiri. Selain itu, istirahat kami sudah cukup lama dan sudah saatnya melanjutkan perjalanan dan memutar roda sepeda kembali. Waktu telah sampai pada siang, dinyatakan dengan matahari yang mulai tinggi di cakrawala. Namun demikian, sejatinya aku masih menyimpan sebuah pernyataan sekaligus simpulan. Bertepatan saat teman-teman masih sibuk memeriksa perlengkapan masing-masing, aku memberanikan diri menyampaikannya tentu sebelum benar-benar lupa.

“Teman-temanku sekalian, berhubung aku masih merasakan irama kasih di hati kalian, kecerdasan di diri kalian, serta kebiasaan lama yaitu cinta tulus yang masih tinggal dalam jiwa penduduk desa. Aku ingin mengajak kalian untuk tetap menjaga negeri dan bangsa ini, jangan biarkan uang merampas segalanya. Karena di tanah ini anak-anak kita nanti akan tumbuh dan mewarisi nilai moral yang hampir saja lenyap.” Ujarku dengan air mata yang hendak meluap.
“Siap, mari kita jaga bersama,” secara kompak mereka menjawab.

Selanjutnya, kami berlima bergerak ke tujuan awal sebelum diteruskan untuk pulang.

Sumenep, 04 Februari 2021


Khairus Syamsi, lahir di Sumenep tanggal 28 Juli 1995. Tinggal di ujung timur laut Pulau Madura, tepatnya dusun Birampak, ds. Jenangger, kec. Batang-batang. Rutinitas sehari-hari sebagai pengajar di SMAN 2 Sumenep. Aktivitas lainnya olahraga, khususnya sepak bola. Waktu luang dimanfaatkan untuk membaca kehidupan, baik secara langsung atau melalui buku-buku.


POSTING PILIHAN

Related

Utama 539724509900579243

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item