Al Quran

"Kita tak mustahil mati kafir..." begitu khatib Jumat bilang."...makanya berpeganglah kepada al Quran. Pasti kalian selamat....

"Kita tak mustahil mati kafir..." begitu khatib Jumat bilang."...makanya berpeganglah kepada al Quran. Pasti kalian selamat."


Sementara itu, Parto duduk-duduk di luar mesjid ditemani rokoknya yang murahan itu. Semestinya, sebagai laki-laki muslim wajib baginya Jumatan di mesjid, tapi ia malah bersebul-sebul menonton dari luar pagar. Tapi dari raut mukanya, tampak sekali ia sedang serius dan menyimak. Berbatang-batang rokoknya habis. Dia mengotori sekitar mesjid dengan puntung. Saat orang-orang yang pergi Jumatan pulang, Parto masih belum beranjak juga dari duduknya. Tampak ia sedang berpikir keras. Kalau boleh disamakan kepala Parto dengan panci, maka ia adalah panci yang sedang merebus singkong dengan sangat mendidih. Tampak serius sekali.

Semua malaikat tahu. Sejak lahir Parto sudah Islam. Di-Islam-kan oleh bapaknya. Dan bapaknya oleh kakeknya. Kakeknya oleh buyutnya. Begitu seterusnya secara turun-temurun. Tapi, sejak itu pula, meskipun sudah Islam, Parto belum pernah solat. Kalau boleh dinilai, dia nol besar tentang agamanya. Mungkin juga minus. Yang dia tahu hanya bagaimana membuat sumur dan liang kubur karena itulah pekerjaannya sehari-hari.

Pemah terpikir di benaknya saat menggali kuburan. Seandainya ia mati, apakah mati begitu saja dan tidak terjadi apa-apa di dalamnya? Bagaimana dengan kalimat khatib itu:"Kita tak mustahil mati kafir!" batin Parto seperti sedang berdzikir. Kian sering ia membatin seperti itu.

Kita tak mustahil mati kafir. Benar, kita memang tak mustahil bisa mati dalam keadaan kafir. Itu artinya setelah mati pun kita masih ada urusan. Tentu tentang apa-apa yang telah kita lakukan ketika hidup. Pikiran-pikiran inilah yang membuat Parto berhari-hari tampak bingung.

Suatu malam, Parto benar-benar tak bisa tidur. Ia gelisah. Kadang ia duduk, kadang berbaring, kadang juga mondar-mandir. Tampak sekali ia tak tenteram dadanya. Malam itu dengan sarung diikatkan di pinggangnya, ia keluar rumah. Ia menuju ke suatu tempat yang menurutnya menyimpan jawaban atas semua kegelisahannya selama ini.

Di depan sebuah bangunan megah, ia mengendap-ngendap, sepertinya ia takut keberadaannya diketahui orang. Ia merayap sampai berhasil melompati pagar. Dari tempat lain yang remang, tampak beberapa mata mengerling seperti bintang, menyoroti tingkah laku Parto. Tapi, Parto tetap mantap dengan apa yang ada dalam pikirannya. Ia pun berhasil membobol pintunya. Ia masuk. Tampak ia mencari-cari sesuatu. Dalam kegelapan itu tampak senyumnya yang termanis saat melihat sesuatu yang dicarinya. J.a.w.a.b.a.n. Ia raih, kemudian ia bungkus dengan sarung. Ia pun lari sekencang-kencangnya.

Beberapa mata yang sejak tadi siaga, akhirnya punya mulut dan berteriak.

"Maliiiing! Maliiing! Maliiing!" Mereka ramai-ramai mengejar Parto. Beberapa orang memukuli tiang listrik sebagai tanda panik. Orang-orang yang tidur terbangun dan ikut mengejar sambil terus berteriak 'maling.’

Akhirnya Parto terkepung. Ia tak bisa lari. Ia terdesak. Ia tak bisa tidak, harus menyerah karena melawan menurutnya tidak berguna. Tapi, orang-orang itu tak sependapat dengan sikap menyerah Parto. Bagi mereka, siapa yang terkepung itu adalah maling dan maling harus digebukin sampai mampus. Dengan barang bawaan seadanya seperti klewang, pedang, clurit, tombak, pentungan, tongkat besi, linggis, mereka mengeroyok Parto. Mereka menghabisi Parto. Parto pun mati. Beberapa linggis dan pedang sengaja tak mereka cabut dari tubuh Parto. Bagi mereka, Parto memang pantas mendapatkan hadiah itu.

Beberapa orang di antara mereka ada yang belum puas, ada yang beranggapan pekerjaan itu belum selesai. Menurut mereka, ia harus dibakar. Beberapa yang lain penasaran dan melepas sarung yang melilit di pinggangnya. Alangkah terkejutnya mereka saat mereka tahu yang mati mengenaskan itu Parto. Dan alangkah lebih terkejutnya mereka saat mereka tahu kalau yang ada di dalam sarung Parto adalah al Quran.

Oleh S. Herianto dalam buku Antologi Cerpen Pendek : Graffiti Imaji, Yayasan Multimedia Sastra, Jakarta. 2002 (Editor:  Sapardi Djoko Damono, dkk)


POSTING PILIHAN

Related

Utama 33147805838737540

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item