Ilmu Tajwid dan Implikasinya Terhadap Bacaan Al-Quran


Peresensi:  M. Rizal *

Sebagaimana telah diketahui bersama, Allah telah menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad melalui perantara Ruh al-Amin (Jibril). Al-Quran merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad yang dapat kita rasakan sampai saat ini. Salah satu aspek kemukjizatan Al-Quran adalah tidak bosan-bosan untuk dibaca meskipun diulang-ulang. Membaca Al-Quran tidak seperti membaca Hadis dan yang lainnya. Untuk membaca Al-Quran ada ketentuannya sendiri seperti yang telah diajarkan Nabi kepada para sahabatnya terus kepada tabi’in dan sampai pada kita saat ini. Dulu, pada masa Rasulullah saw. Para sahabat tidak usah repot-repot untuk mempelajari ilmu tentang tata cara yang tepat dan benar dalam membaca Al-Quran, karena para sahabat langsung mendengar dan meniru bacaan Rasulullah atau yang dikenal dengan “Talaqqi Syafahi.”

Namun setelah masa tabi’in berakhir, banyak orang yang kesulitan ketika membaca Al-Quran, karena pada masa ini belum ada ilmu khusus yang membahas tatacara dan aturan-aturan dalam membaca Al-Quran. Nah, di situlah muncul ulama-ulama yang ahli dalam membaca Al-Quran sebagai pencetus suatu ilmu yang membahas cara membaca Al-Quran dengan baik atau yang kita kenal dengan ilmu Tajwid. Di antaranya Syekh Muhammad Abu Rimah yang mengarang kitab “Hidayatul Mustafid.”

Kata Tajwid merupakan bentuk masdar dari fi’il madhi Jawwada – Yujawwidu – Tajwiidan, yang berarti memperindah. Imam Ibnul Jazari mendefinisikan ilmu Tajwid sebagai suatu cara untuk membaca huruf dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sifatnya, seperti Hams, Rakhawah, dan yang lainnya, serta mengikuti ketentuan-ketentuan sifat yang dimiliki oleh masing-masing huruf, seperti menipiskan huruf yang bersifat istifal, menebalkan huruf yang bersifat isti’la’, dan mengembalikan huruf pada asalnya (makhrajnya), juga mengucapkan huruf yang sejajar (sebanding) pada bacaannya yang semula dengan mengucapkan secara halus dan sempurna tanpa memaksakan diri.

Belajar ilmu Tajwid sangatlah penting karena manfaatnya akan terasa ketika kita membaca Al-Quran, yaitu menjaga lidah dari kesalahan dalam membaca Al-Quran. Suatu ilmu dikatakan mulia apabila yang dipelajari dari ilmu tersebut juga mulia. Seperti ilmu Tajwid ini yang mempelajari firman Allah, maka ilmu Tajwid memiliki kedudukan tinggi dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain.

Perlu diketahui bahwa dalam ilmu Tajwid terdapat dua aspek yang harus dipenuhi, yaitu aspek teoretis dan aspek praktis. Aspek teoretis gampangnya adalah mengetahui terhadap kaidah-kaidah ilmu tajwid dan aturannya seperti makharijul huruf, shifatul huruf, hukum mad, waqaf, ibtida’ dan lain-lain. Sedangkan aspek praktis itu pengaplikasian ilmu Tajwid ketika membaca Al-Quran. Karena barangsiapa yang membaca Al-Quran tanpa menggunakan Tajwid maka ia berdosa. Menurut Imam Jazari antara orang yang mengetahui ilmu Tajwid dan yang tidak mengetahuinya itu tidak ada perbedaannya, kecuali terhadap orang yang membiasakan membaca Al-Quran dengan baik dan benar dan mendengarkan bacaan Al-Quran di hadapan gurunya.

Hukum mengetahui ilmu Tajwid dari aspek teoretis adalah fardhu kifayah. Namun suatu hukum dapat berubah jika dihadapkan terhadap persoalan lain. Seperti mengetahui ilmu Tajwid secara teori adalah  fardu kifayah. Artinya jika ada orang yang sudah mempelajarinya maka gugurlah kewajiban yang lain. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang belajar ilmu Tajwid, maka semuanya berdosa. Namun ketika seseorang hendak membaca Al-Quran maka wajib baginya menerapkan Tajwid dari aspek praktik. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al Muzzammil : 4)

Meskipun kita masih belum menguasai ilmu Tajwid, bukan berarti kita tidak akan membaca Al-Quran. Karena bagi orang yang terbata-bata dalam membaca Al-Quran dan merasa kesulitan masih tetap diberikan pahala oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwasanya Nabi bersabda, “Orang yang mahir dalam membaca Al-Quran bersama para malaikat yang mulia nan terhormat. Adapun orang yang terbata-bata dalam membaca Al-Quran dan merasa kesulitan, maka baginya dua pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim). (hlm. 11)

Menurut Dr. M. Isham Muflih dalam buku ini, ilmu Tajwid bukan hanya sekadar tentang teori yang cukup dipelajari dengan mengambilnya dari buku-buku rujukan. Akan tetapi, ilmu Tajwid membutuhkan praktik dan harus diajarkan secara langsung dengan musyafahah (saling berhadapan antara guru dan murid). Hal ini dikarenakan sebagian besar pembahasan dalam ilmu Tajwid yang meliputi: ukuran panjang harakat bacaan madd, derajat ketebalan bacaan tafkhim, metode membaca rum, isymam, ikhtilas, tashil dan imalah, semua itu tidak mungkin didalami secara tuntas, kecuali lewat pengajaran sistem talaqqi (tatap muka) dari orang yang bacaan Al-Qurannya sudah sempurna. Ilmu Tajwid ini juga mengharuskan banyak latihan yang berkesinambungan dan praktik secara terus-menerus supaya menjadi mudah dipraktekkan dan tidak terkesan memberatkan.

Ketika membaca Al-Quran, cara membaca setiap orang itu berbeda. Ada yang membaca dengan waspada dan tenang disertai mentadaburi (merenungi) makna dan memerhatikan hukum-hukum Tajwid atau dikenal dengan Tahqiq, ada yang membaca cepat dengan tetap menjaga dan memerhatikan hukum-hukum Tajwid atau Hadzr, ada pula orang yang membaca sedang, tengah-tengah antara tingkatan tahqiq dan hadzr dengan tetap memerhatikan hukum Tajwid atau diistilahkan dengan Tadwir. (hlm. 4). Dari ketiga tingkatan qira’ah (membaca) tersebut, kita tinggal pilih mau cara membaca yang mana, yang terpenting kita tetap memperhatikan kaidah-kaidah ilmu Tajwid. Namun yang lebih baik bagi pemula yang sedang belajar membaca Al-Quran adalah membaca dengan tahqiq, untuk membiasakan lidah mereka dan menyempurnakan bacaan tilawah Al-Quran.

Bacaan Al-Quran yang sampai ke telinga kita datang dari berbagai jalur periwayatan berbeda-beda. Tapi jumlah qira’at yang mu’tabar (diakui) oleh para ulama qira’at ada sepuluh. Sepuluh qira’at tersebut diriwayatkan oleh orang yang qira’atnya tidak diragukan lagi dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw. Diantaranya adalah Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah, Ali bin Hamzah al-Kufi, Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq dan Khalaf bin Hisyam. Di Indonesia sendiri, mayoritas umat muslim menggunakan riwayat Imam Hafsh sebagai sandaran hukum dalam membaca Al-Quran. Nama lengkap Imam Hafsh adalah Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah al-Kufi.

Beliau lahir pada tahun 90 H/ 709 M dan wafat pada tahun 180 H/ 798 M. Imam Hafsh mengambil qira’at secara pemaparan dan pengajaran langsung dari Imam ‘Ashim, yang juga merupakan ayah tirinya. Imam ‘Ashim merupakan salah satu dari sepuluh imam qira’at yang mutawatir dan telah disepakati kebenaran qira’atnya. Imam ‘Ashim sendiri belajar qira’at dari Zurri bin Hubaisy dan Abu Abdurrahman as-Sulami. Keduanya belajar bacaan qira’at dari Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Semua sahabat ini belajar qira’at langsung dari Rasulullah saw (hlm.10).

Buku dengan judul “Panduan Lengkap Belajar Ilmu Tajwid Otodidak” ini menghimpun semua objek pembahasan ilmu Tajwid dengan sangat simple, bahasa yang jelas dan mudah dipahami, tersusun secara runtut dan teratur, mencakup seluruh permasalahan yang dipelajari dalam ilmu Tajwid, seperti Isti’adzah dan Basmalah yang meliputi terhadap redaksi bacaan Isti’adzah dan Basmalah, hukum membaca keduanya, tempat membaca keduanya, serta cara dan keadaan untuk membaca Isti’adzah dan Basmalah. Selain  itu buku ini juga membahas tentang Makharijul Huruf, Laqab Huruf, Shifatul Huruf, Waqaf, dan Ibtida’, Maqthu’ dan Maushul serta pembahasan yang lain. Selain itu, pada akhir setiap bab, terdapat beberapa pertanyaan yang dapat membantu pelajar agar semakin mudah mencerna materi sekaligus mengukur sejauh mana kemampuan penguasaannya terhadap materi yang dipelajarinya.   

Buku ini sangat cocok untuk dibaca bagi para pelajar/santri, mahasiswa, terutama bagi guru/dosen sebagai bahan ajar dan referensi. Karena sebaik-baik orang adalah orang yang mau mempelajari kitab sucinya dan mengajarkannya kepada orang lain, sesuai dengan sabda Nabi, “Orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (al-Hadis)

*M. Rizal, mahasiswa fakultas Ushuluddin prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.


POSTING PILIHAN

Related

Utama 4193803179759973879

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item