Bawa Aku Bersamamu
http://www.rumahliterasisumenep.org/2020/04/bawa-aku-bersamamu.html
Pentigrafis: Yulianti
Aku mencoba untuk tak menjatuhkan buliran di mataku. Dadaku rasanya sesak melihatmu menahan kesakitan. Aku tahu kau pun tak ingin membuatku lebih khawatir. Kau menahan semua sakitmu, untukku. Sesekali kau memaksa untuk tersenyum sembari meremas tanganku. Malam ini akhirnya kita kembali ke tanah kelahiran kita, Sumenep. Bukan materi yang kita bawa seperti tetangga kita kebanyakan. Tapi sakit. Ya, sudah dua minggu kau selalu membesarkan hatiku. Selalu meyakinkanku bahwa kau akan baik-baik saja. Semakin lama semakin parah saja, hingga sebuah travel membawa kita menuju kota garam.
Sedetik pun kau tak mau melepas gengaman tanganku. Sesekali kau naikkan tanganmu ke pipiku. Sesak yang kau derita tak mampu membuatmu berkata apapun. Tapi dari matamu aku tahu kau berkata "sabar ya, aku pasti sembuh". Perjalanan yang cukup panjang, ditemani dingin yang gigil. Semua asa rasanya runtuh saat kau perlahan melepas gengaman tanganku. Napasmu tak lagi tersengal-sengal. Sayu tatapmu mulai redup. Air mataku tumpah, dadaku menyesak. Aku tahu kau sudah tak lagi bersamaku.
Kukuatkan diri. Ku coba memberi kabar pada keluarga di ujung timur Madura. Mereka memintaku untuk langsung membawamu ke rumah sakit Dr.Sutomo. Badanmu tak lagi hangat. Kau benar-benar akan meninggalkanku? Sendiri tanpa jejak cinta yang kau tinggal untuk menemaniku. Aku hanya mematung melihat perlakuan orang-orang berbaju ala astronot. Beberapa dokter kulihat sibuk, sesekali mereka memandang dan menunjukku. Entah apa yang terjadi pada suamiku.. Beberapa jam menunggu, sebuah ambulance siap mengantar kami. Kau sudah berada dalam peti mayat. Aku benar-benar tak bisa melihatmu lagi. Membuka peti saja aku tidak diizinkan. Penguburanmu tak boleh dihadiri siapapun. Maafkan aku yang tak bisa menghantarmu ke peristirahatan terakhir. Karena aku masih tertahan di RS Sumenep, karena harus menjalani isolasi. Kematian yang tak pernah kita inginkan, diberlakukan seperti penjahat, lebih sadis dari kriminal. Pemakaman tak boleh dihadiri siapapun. Seperti penyakit aib saja. Entah harus protes pada siapa, ingin berontak pada siapa. Setelah beberapa jam aku menerima hasil bahwa suamiku negatif covid-19.
Aku mencoba untuk tak menjatuhkan buliran di mataku. Dadaku rasanya sesak melihatmu menahan kesakitan. Aku tahu kau pun tak ingin membuatku lebih khawatir. Kau menahan semua sakitmu, untukku. Sesekali kau memaksa untuk tersenyum sembari meremas tanganku. Malam ini akhirnya kita kembali ke tanah kelahiran kita, Sumenep. Bukan materi yang kita bawa seperti tetangga kita kebanyakan. Tapi sakit. Ya, sudah dua minggu kau selalu membesarkan hatiku. Selalu meyakinkanku bahwa kau akan baik-baik saja. Semakin lama semakin parah saja, hingga sebuah travel membawa kita menuju kota garam.
Sedetik pun kau tak mau melepas gengaman tanganku. Sesekali kau naikkan tanganmu ke pipiku. Sesak yang kau derita tak mampu membuatmu berkata apapun. Tapi dari matamu aku tahu kau berkata "sabar ya, aku pasti sembuh". Perjalanan yang cukup panjang, ditemani dingin yang gigil. Semua asa rasanya runtuh saat kau perlahan melepas gengaman tanganku. Napasmu tak lagi tersengal-sengal. Sayu tatapmu mulai redup. Air mataku tumpah, dadaku menyesak. Aku tahu kau sudah tak lagi bersamaku.
Kukuatkan diri. Ku coba memberi kabar pada keluarga di ujung timur Madura. Mereka memintaku untuk langsung membawamu ke rumah sakit Dr.Sutomo. Badanmu tak lagi hangat. Kau benar-benar akan meninggalkanku? Sendiri tanpa jejak cinta yang kau tinggal untuk menemaniku. Aku hanya mematung melihat perlakuan orang-orang berbaju ala astronot. Beberapa dokter kulihat sibuk, sesekali mereka memandang dan menunjukku. Entah apa yang terjadi pada suamiku.. Beberapa jam menunggu, sebuah ambulance siap mengantar kami. Kau sudah berada dalam peti mayat. Aku benar-benar tak bisa melihatmu lagi. Membuka peti saja aku tidak diizinkan. Penguburanmu tak boleh dihadiri siapapun. Maafkan aku yang tak bisa menghantarmu ke peristirahatan terakhir. Karena aku masih tertahan di RS Sumenep, karena harus menjalani isolasi. Kematian yang tak pernah kita inginkan, diberlakukan seperti penjahat, lebih sadis dari kriminal. Pemakaman tak boleh dihadiri siapapun. Seperti penyakit aib saja. Entah harus protes pada siapa, ingin berontak pada siapa. Setelah beberapa jam aku menerima hasil bahwa suamiku negatif covid-19.