Polisi (Kok) Tidur



Oleh Jamal D. Rahman

Polisi tidur di mana-mana. Di jalan kampung, di jalan kompleks perumahan, di lingkungan universitas, di jalan umum, bahkan di jalan raya yang relatif besar. Polisi tidur berkembang-biak di banyak tempat, baik di kota maupun desa, di banyak daerah di Indonesia. Ke mana pun kita pergi, kita pasti bertemu dengan polisi tidur. Tanpa disadari, polisi tidur telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Sudah tentu fenomena tersebut merupakan satu pertanda tentang kebudayaan kita akhir-akhir ini.

Untuk sebagian, maraknya polisi tidur merupakan pertanda tidak berfungsinya rambu lalu-lintas di Indonesia. Karena kita tidak peduli dengan rambu lalu-lintas, maka kita memilih cara yang bisa memaksa pengguna jalan untuk tunduk pada apa yang kita inginkan. Kita ingin pengguna jalan tidak melaju kencang di daerah tertentu. Tapi kita tahu, rambu lalu-lintas yang berarti meminta kecepatan maksimal 5 km/ jam, misalnya, tidak akan digubris oleh pengguna jalan. Maka, kita bikin polisi tidur untuk memaksa pengguna jalan memperlambat laju kendaraan. Ini sungguh mengherankan. Lebih mengherankan lagi, hal serupa berlaku juga di lingkungan kampus, termasuk kampus-kampus terkemuka, yang notabene merupakan tempat kaum terpelajar.

Di samping itu, maraknya polisi tidur merupakan pertanda bahwa pengguna kendaraan bermotor tidak sadar bahwa mereka mengganggu atau bahkan mengancam warga sekitar jalan. Atau, mereka tidak peduli bahwa banyak orang terganggu bahkan merasa terancam dengan laju kendaraan mereka. Pengguna kendaraan bermotor tetap melaju kencang meskipun dia melewati jalan di daerah padat penduduk seperti di kompleks perumahan. Bahkan kaum terdidik pun ngebut meskipun mereka berkendara di dalam kampus yang ramai insan terpelajar.

Tapi kenapa ia dinamai polisi tidur? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memasukkan frase itu ke dalam lema polisi. Menurut KBBI, polisi tidur adalah “bagian permukaan jalan yg ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan”. Kalau begitu, kenapa tidak dinamai dengan kata yang maknanya mendekati pengertian itu? Misalnya, gundukan melintang. Tentu saja polisi tidur adalah kata majemuk, yakni gabungan dua kata yang punya arti baru. Tapi saya tidak yakin bahwa penamaan itu sama sekali tidak berkaitan dengan arti semantik polisi dan tidur. Sebab, arti kata majemuk seringkali berhubungan secara semantik dengan kata-kata yang membentuknya. Rumah sakit, misalnya, jelas berkaitan dengan arti semantik dua kata itu: rumah (tempat orang) sakit (berobat). Misalnya lagi, orangtua disebut orangtua karena dia pasti lebih tua dibanding anaknya.

Maka, meskipun punya arti baru, polisi tidur bagaimanapun memiliki hubungan semantik dengan kata polisi dan tidur. Menurut KBBI, polisi adalah “1 badan pemerintah yg bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yg melanggar undang-undang dsb); 2 anggota badan pemerintah (pegawai negara yg bertugas menjaga keamanan dsb).” Jadi, polisi tidur disebut polisi tidur karena ia berfungsi seperti polisi, yaitu melindungi masyarakat (dari gangguan pengguna kendaraan bermotor). Disebut tidur, tentu karena “permukaan jalan yang ditinggikan” itu melintang seperti orang tidur.

Secara pragmatik, polisi tidur rupanya berkaitan juga dengan persepsi masyarakat tentang polisi. Banyak kawan saya, mungkin juga Anda, merasa sangat terganggu dengan adanya polisi tidur. Bahkan mereka merasa jengkel setiap kali harus melintasi polisi tidur. Dengan perasaan kesal dan sedikit ngawur seorang kawan bilang, “Aduh polisi, sedang tidur aja mengganggu orang. Apalagi kalau dia bangun. Lagipula, polisi kok tidur?” O ya. Kawan tadi adalah seorang pria, yang belakangan sering menonton polisi wanita (polwan) yang cantik-cantik di televisi menyiarkan situasi lalu-lintas. Maka, sambil bercanda dia segera mengatakan, “Sebaiknya istilah polisi tidur diganti aja dengan polwan tidur.” Gubrak.

Sementara itu, seorang teman saya, yang di jalan depan rumahnya dia bangun polisi tidur, membantah kawan tadi. Menurut dia, adanya polisi tidur harus dilihat dari kacamata orang-orang di sekitar polisi tidur itu sendiri. Bagi mereka, polisi tidur justru melindungi mereka, bukan hanya dari suara bising kendaraan, melainkan juga dari ancaman keselamatan yang timbul akibat laju kendaraan yang kencang. Maka, kata teman saya itu, “Wah, polisi itu hebat. Sedang tidur aja dia melindungi warga.”

Dengan demikian, sikap atau pandangan masyarakat tentang polisi tidur itu ambivalen. Di satu pihak positif; di pihak lain negatif. Polisi tidur dipandang sebagai pelindung, namun pada saat yang sama dipandang sebagai pengganggu. Polisi tidur dianggap melindungi sekelompok orang; namun juga dianggap mengganggu, bahkan menjengkelkan sekelompok orang lainnya.

Jangan-jangan, pandangan ambivalen tentang polisi tidur ini sesungguhnya mencerminkan pandangan masyarakat tentang polisi kita.

Yang pasti, polisi tidur adalah fenomena kebudayaan di mana dua hal negatif dari dua arah berbeda bertemu, yaitu sikap tak peduli dan jalan pintas (yang juga tak peduli). Yang satu tak peduli bahwa dia mengganggu, mengancam, atau bahkan merampas hak (ketenangan) orang lain; yang lain mengambil jalan pintas demi meraih ketenangan dan keselamatannya sendiri dengan cara yang juga tidak peduli pada yang lain. Masing-masing tidak peduli satu sama lain. Masing-masing saling mengancam satu sama lain.

Maka, polisi tidur adalah sikap tidak peduli dan jalan pintas sekaligus. Tidak peduli dan jalan pintas —dua kata kunci yang dengan mudah kita temukan dalam banyak aspek kehidupan kita akhir-akhir ini. []

POSTING PILIHAN

Related

Utama 8750621582181147016

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item