Anak Negeri Menembus Badai di Pulau Mungil

Cerpen: Ali Harsojo, Sebenarnya saya mau menghilangkan bagian memori ini. Terlalu dramatis untuk saya ingat kembali. Ingin saja saya me...

Cerpen: Ali Harsojo,

Sebenarnya saya mau menghilangkan bagian memori ini. Terlalu dramatis
untuk saya ingat kembali. Ingin saja saya melupakannya. Tapi tidak bisa. Sayapun menerima kenyataan. Harus menerima bagian sejarah yang terjal ini. Episode menegangkan yang saya alami selama hidup, salah satunya ada pada bagian ini.

Saya baru teringat dan menyadari bahwa kebiasaan bermandi hujan saat masih kecil tidak hilang sampai sekarang. Bahkan mungkin tak akan pernah hilang. Karena sudah tertanam kuat dalam alam bawah sadar saya. Tak takut dingin. Tapi saya kira kebiasaan itu juga dialami banyak orang. Saya yakin itu. Keunikannya mungkin yang berbeda.

Hari itu, hari Senin. Seperti biasa, hanya harus pergi mengajar ke pulau mungil itu, pulau Giligenting. Tampaknya hari itu berbeda dengan hari sebelumnya. Tak biasanya saya malas bangun pagi. Masih terasa nyaman dan kerasan memanjakan mata di tempat tidur. Meskipun bukanlah tempat tidur yang bagus dan empuk.

Dingin mencekam. Dentuman halilintar yang dahsyat menyadarkan saya. Pagi ini hujan lebat. Lebat sekali. Hujan semakin lebat dan mataharipun tenggelam pada saat terbit. Tak tampak sama sekali. Saya bergegas menuju kamar mandi. Mandi dan segera bersiap berangkat sekolah. Harus berangkat. Itu janji saya pada saya sendiri.

Jangan tanya jas hujan. Jangan tanya pula mantel atau jaket apapun. Karena saya tidak pernah punya itu semua. Saya lebih suka rileks, santai dan tanpa beban berat di tubuh. Jadi, saya tidak pakai itu semua. Dan saya tidak memiliki itu semua.

Cukuplah dengan kaos oblong dan celana pendek menembus badai hujan dan petir di pagi itu. Bahkan tanpa alas kaki pun. "Nyeker' saja.

Saya menyadari, jam keberangkatan saya molor sepuluh menit. Hal itu pula yang membuat saya tergesa-gesa. Memacu sepeda motor dengan cukup cepat dan hati-hati. Tak bisa lagi melihat laju kecepatan di speedometer. Helm tua yang saya kenakan harus sesekali saya perbaiki posisinya di kepala. Tak ada kaca pengamannya. Sehinga saya selalu mengusap muka dengan tangan kiri. Untuk menyeka air hujan yang membasahi wajah saya. Sementara tangan kanan siaga di gas pacu.

Sekitar 5 menit di pelabuhan, saya mulai merasa kedinginan yang sangat menggigil. Saya memcari tempat sepi di area parkir itu. Saya melepas celana pendek dan kaos oblong. Berganti baju dinas hari itu. Dan sepatu saya gunakan, meski tak disemir.

Kemudian, berdatangan beberapa guru yang lain. Semuanya berjas hujan.
Angin laut terus menderu kencang. Ombak pantai pun menerjang tembok pembatas pelabuhan dan dinding belakang rumah warga. Hempasan ombak mencapai ketinggian genting rumah itu.

Angin semakin kencang mengamuk. Genting atap parkir berjatuhan karena hembusan angin dahsyat. Hujan memang mulai reda, tapi jam dinding di area parkir menunjukkan keterlambatan satu jam pelajaran. Bahkan mendekati dua jam pelajaran. Beberapa guru lain berdiskusi, dan akhirnya mereka memutuskan untuk 'balik kanan'. Tidak melanjutkan perjalanan menuju pulau itu.

Komitmen saya atas janji yang telah diniatkan harus saya laksanakan. Aku mulai berjalan menuju perahu. Dan akhirnya saya melaut menuju pulau mungil itu. Sendiri. Ya, hanya saya seorang diri guru yang berangkat mengabdi. Lainnya pulang ke rumah masing-masing.

Perahu bertolak dari pelabuhan sudah 20 menit. Artinya perahu tepat berada di tengah laut antara pelabuhan dan pulau Giligenting itu.

Bagai berjalan di atas kuburan. Menoleh ke bawah arah laut, hampir saja tak berani. Hitam legam. Sepertinya memang sangat dalam.

Hujan kembali deras mengguyur. Perahu melaju pelan. Saya diam saja. Kilatan dan dentuman petir kembali memecah hitamnya mendung. Hujan turun deras sekali.

Ini badai di tengah laut, pikir saya. Ombak kian menggulung mendekati pusaran ombak pertemuan tiga arus itu. Tepat di tengah lautan. Jarak pandang kian mendekat. Tak sampai 20 meter. Saya tak tahu lagi. Perahu bergerak atau diam di tempat. Deru mesin terasa berat sekali. Sapuan ombak, menelantarkan perahu kami. Seakan hanya berputar di area pusaran arus itu. Tak ada perahu yang lewat. Benar-benar sendiri.

Satu jam perjalanan laut kami tempuh dengan derai air mata dan basah kuyup karena hujan dan ombak besar. Pakaian dinas saya juga basah. Terutama celana dinas.

Itu bukan apa-apa. Yang terpenting saya telah sampai dengan selamat di pulau pengabdian itu.

Tepat pukul 09.00 saya tiba di sekolah. Sungguh terlambat. Dan tidak ada upacara bendera.

Matahari pun mulai tampak bersinar dan meninggi. Setelah pakaian saya setengah kering, saya bergegas masuk kelas. Memulai mengajar seperti biasa.

Indahnya menjadi guru. Guru anak negeri. Di pulau mungil cantik tak terperi.!

Guru Kelas  SDN Pajagalan II Sumenep

POSTING PILIHAN

Related

Cerpen 5433997838067482126

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item