Lima Pentigraf Joko Setyo Hutomo

 


Pentigrafis: Joko Setyo Hutomo

Jangan Ajari Saya Puasa

Hari belum terlalu siang tetapi matahari telah terasa teriknya. Becak yang kutumpangi terasa sangat lambat, sepertinya penarik becak sengaja mengayuh secara perlahan. Padahal aku ingin segera sampai di terminal, mengejar jadwal bus patas, hendak menghadiri rapat dinas di kota provinsi.

Dalam keheningan lamat-lamat kudengar penarik becak makan sesuatu di belakangku. "Tidak berpuasa, Pak? Berpuasalah selagi mampu, agar hidup menjadi berkah," tegurku dengan ketus. Beberapa saat kami saling diam, larut dalam pikiran masing-masing.

Menjelang sampai di gerbang terminal, baru ia membuka suara. "Jangan mengajari saya berpuasa, Bu. Hampir sepanjang hidup kami harus berpuasa. Hari ini saya terpaksa menarik becak setelah seminggu terbaring sakit." Suaranya parau, perlahan tetapi terdengar seperti geledek di ruang telingaku.

Pembaringan, 09042023.




Kurma

Waktu berbuka puasa tinggal dua jam lagi, tetapi cuaca masih terasa panas, menambah rasa dahaga di kerongkongan. Nahla, anak perempuan bungsuku memegang kardus kurma Ajwa yang telah dibelinya. Keinginannya terpenuhi setelah pagi tadi adik lelakiku memberikan uang padanya ketika hendak pulang setelah menginap semalam. Bagiku yang pegawai negeri rendahan sulit bisa memenuhi keinginannya di saat akhir bulan begini.

Aku telah berada di atas sadel motor, bersiap untuk pulang. Namun kulihat Nahla masih berada di kios kurma. Dibelinya sebungkus plastik kecil kurma yang murah dari sisa uangnya. Aku bertanya-tanya dalam hati buat apa kurma itu, bukankah dia sudah membeli kurma Ajwa yang diinginkannya? Kemudian dia berjalan mendekati lelaki penarik becak yang parkir di depan toko roti, agak jauh dari motorku. Diberikannya kardus kurma Ajwa miliknya, kemudian dengan muka berseri menuju ke arahku, mengajak pulang.

Dalam perjalanan, Nahla menuturkan bahwa ia mendengar lelaki itu menawar sebungkus kecil kurma biasa. Lama dia hanya menimang-nimang bungkusan itu. Dalam hati Nahla tahu, lelaki itu tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Tenggorokanku tercekat mendengarnya. "Ayah, tidak mengapa, ya?" tanyanya tanpa aku mampu menjawabnya.

Pembaringan, 04042023.



Tipo

Siang kemarin merupakan saat yang sangat menggembirakan bagiku. Tony, lelaki perlente teman semasa SMA yang pernah kuharapkan menjadi pendamping hidup, bertemu secara tidak sengaja ketika aku menjemput anak keduaku. Dia baru seminggu berada di kota ini, mengikuti tugas dinas sebagai pimpinan sebuah bank swasta. Tak lama kami mengobrol, tetapi sempat bertukar nomor telepon.

Ponselku berdenting, pertanda ada pesan WhatsApp masuk. Hatiku berbunga-bunga begitu mengetahui pengirimnya adalah dia. Sambil bersandar di sofa, kubuka pesannya. "Rin, boleh aku mengatakan sesuatu?" Aku terdiam, menebak-nebak apa yang akan dikatakannya. Mungkinkah dia akan minta maaf karena merasa bersalah tempo dulu telah tega memutuskan hubungan kami berdua? Cukup lama aku melamunkan masa-masa itu. Pertemuan kembali dengannya menumbuhkan kuncup bunga baru di hatiku. Status dudanya mendorongku untuk bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan jantung berdebar kukirimkan jawaban. Namun hingga tengah malam, tak ada satu pun balasan darinya. Bahkan beberapa pesan susulan dariku selalu tertolak. Dia telah memblokir nomor teleponku.

Hingga siang ini aku masih penasaran, apa sebab pesan WA-ku tak dibalas, bahkan berakhir dengan pemblokiran? Kubuka lagi pesan darinya dan balasan dariku. Alamak ..., kaget aku membacanya. "Ya, ada apa garangan?" Begitu balasan yang kukirimkan. Kiranya dia menyangka aku masih menyimpan rasa dendam dan marah sehingga menyebut dirinya sebagai garangan. Tipo saat menulis 'gerangan' telah menyebabkan dia tersinggung dan memblokir nomor teleponku.

Pembaringan, 26032023.




Janji Suporter

Aku masih marah ketika anak bungsu lelakiku pamit sambil menaiki sadel motor temannya. Aku tak memedulikannya. Genting dapur bocor belum diperbaikinya. Setiap kali kusuruh, selalu ada saja alasannya. Dua kakak perempuannya tak mungkinlah kumintai tolong.

Seminggu ini si Bungsu selalu memancing emosiku. Dari rengekan minta ganti android baru padahal yang lama masih bagus, hingga kemarin lusa memaksa membeli tiket pertandingan sepak bola. Upaya mengirit uang belanja dari pensiun janda, terpaksa mengalah oleh ulah anakku. Bila tak mengingat dia anak yatim kesayangan mendiang suamiku, mungkin saja tak kuturuti semua keinginannya.

Dering ponsel berulang-ulang membangunkan lelapku. Belum sepenuhnya sadar ketika suara seseorang di ujung sana, memintaku untuk segera ke rumah sakit. Mulutku terkunci, lidah mendadak kelu ketika kulihat si Bungsu terbujur kaku. Dia salah satu korban kerusuhan sepak bola malam ini. Tak ada yang sanggup kulakukan selain segera menghambur memeluk jasadnya. Terngiang kalimat terakhir saat dia pamit sore tadi, "Ma, aku berjanji tidak akan menyusahkan Mama lagi. Ini pertandingan terakhir klub idolaku, aku harus menonton, Ma ...."

Pembaringan, 02102022.



 

Tuah Cungkup Doyong

Paimin mengendap-endap mendekati bangunan miring di bawah pohon beringin tua di ujung desa. Kabut mulai turun. Angin kemarau berembus, dinginnya menusuk tulang. Tajuk pepohonan menutupi cahaya rembulan, membentuk bayangan hitam bergoyang-goyang. Lolongan ajak di kejauhan membuat suasana semakin mencekam. Masih diingatnya omongan Lik Bejo, mantan preman desa seminggu yang lalu. "Banyak yang berhasil hanya dengan menaruh sesaji dan barang yang akan digunakan untuk usaha, di 'Cungkup Doyong' tepat tengah malam Jumat Kliwon." Jantung Paimin berdebar semakin kencang ketika memasuki cungkup. Segera ditaruhnya sesaji berupa tumpeng ayam bakar, bunga tujuh rupa serta sebuah tas kain hitam di pangkal batu nisan. Bergegas ia pulang, bayangan diterima menjadi PNS semakin tergambar di matanya.

Paimin bukanlah anak cerdas. Kelulusannya dari SMK merupakan hasil perjuangan selama lima tahun dan berkat keibaan para guru melihat kegigihannya. Beberapa kali mencoba mengikuti tes CPNS, tetapi belum berhasil. Dia ingin dapat membalas budi Mak Iyem, perempuan yang menemukannya di depan pintu warung saat masih bayi merah. Cita-citanya sederhana: menjadi 'Carik' di desanya, dan untuk itu dia rela menempuh jalan apapun.

Usai salat Subuh suasana kampung mendadak gempar. Paimin menangis meraung-raung, suara paraunya memecah keheningan. Laptop, satu-satunya kekayaan yang akan digunakan untuk mendaftar CPNS raib setelah semalam berada di 'Cungkup Doyong'. Yang didapatinya hanya tulang belulang berserakan, sisa sejaji.

Pembaringan, 27082022.




Gerbong Maut

Sendirian aku berjalan, keluar dari terminal bus Bondowoso yang lengang. Bus terakhir, bumel tua non-AC yang kutumpangi dari Surabaya, dua kali mengalami kerusakan. Kulihat jam ponselku, 23.49. Gerimis di tengah malam begini para penarik becak memilih tidur dalam balutan kain sarung di rumahnya. Kupercepat langkah, agar segera sampai di rumah Ibu dan minum segelas wedang jahe hangat. Kupilih jalan pintas, menyeberangi deretan rel-rel tua yang melintang di depan stasiun. Stasiun tua yang telah mengukir sejarah bangsa dan menyimpan kenangan indah masa kecilku.

Saat melewati rel terakhir, aku dikejutkan oleh lengking peluit dan sorot lampu lokomotif. Dalam keremangan kulihat lokomotif hitam dengan tiga gerbong kusam di belakangnya. Seorang petugas berbaju putih mengacungkan tongkat dengan bundaran di ujungnya. Gerakan tangannya memberikan aba-aba keberangkatan kereta. Aku terperangah, “Mengapa ada kereta berangkat tengah malam begini, padahal tak terlihat ada kesibukan di stasiun ini?" Sejenak kemudian kereta melintas di depanku, tampak jelas terbaca nomor GR 10152, GR 4416, dan GR 5769 di masing-masing gerbong.

Suasana kembali senyap. Tetesan air dari rimbunan pohon waru jatuh di keningku, terasa dingin. Aku tersentak, bukankah stasiun tua ini telah lama berhenti beroperasi, dan bukankah ketiga gerbong barang itu adalah pengangkut seratus tawanan Belanda di masa lalu? Sontak bulu kudukku berdiri. Segera kubalikkan badan, bergegas berlari meninggalkan stasiun.

Pembaringan, 24082022.


Diangkat dari akun FB Joko Setyo Hutomo


POSTING PILIHAN

Related

Utama 4864433872858796358

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item