Anak-anak ke Sekolah, tetapi Tidak Belajar

Siswa SDN Talango Sumenep, saat menerima pelajaran dari guru

Pencapaian hasil belajar anak Indonesia yang rendah sangat berkorelasi dengan rendahnya tingkat literasi membaca dan berhitung.

Oleh Aloysius Budi Kurniawan

Rendahnya mutu pembelajaran pendidikan dasar dan menengah menjadi persoalan krusial yang mesti segera dipecahkan. Di Indonesia, murid SMA kelas II semester I hanya mampu menggapai capaian kompetensi setara dengan murid SD kelas VI. Artinya, meskipun anak-anak sudah begitu lama menghabiskan waktu di sekolah, secara mutu dan kompetensi mereka tidak banyak belajar.

Capaian hasil belajar anak Indonesia yang diukur dengan hasil tes global memang amat rendah, khususnya pada mata pelajaran matematika, sains, dan membaca. Tes global yang dimaksud meliputi Programme for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS).

Pengukuran tersebut menunjukkan angka Harmonized Test Scores (HTS) anak-anak Indonesia terjun bebas ke angka 394. Karena angka tertinggi HTS adalah 625, begitu dilakukan Learning Adjusted Years of Schools atau LAYS (394 dibagi 625), angka harapan bersekolah 12,4 tahun anjlok jadi 7,8 tahun atau terpaut 4,6 tahun.

”Di ranah pendidikan yang memiliki ’timelag’ capaian mutu sebesar 4,6 tahun itu, upaya perbaikan dapat mengikuti model penurunan stunting. Upaya itu bisa dilakukan (dengan) membentuk semacam tim percepatan menaikkan HTS dalam bentuk peraturan presiden (perpres) perbaikan mutu pendidikan dasar dan menengah (serta sumber daya manusia),” kata Wakil Ketua Umum III Koordinator Bidang Pendidikan dan Sumber Daya Manusia NU Circle Ahmad Rizali.

Dengan demikian, tim tersebut akan memiliki payung hukum untuk mengoordinasi semua pemangku kepentingan pendidikan dasar dan menengah. Harapannya, angka HTS Indonesia naik mendekati angka rerata dunia 500 dalam lima tahun ke depan.

”Penanganan stunting sangat diperhatikan dengan serius oleh pemerintah, bahkan untuk mencapai target 14 persen prevalensi stunting pada tahun 2024, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Tim Percepatan Penurunan Stunting(TP2S) dipimpin langsung Wakil Presiden RI. Rendahnya capaian hasil belajar siswa mestinya juga ditangani seperti halnya masalah stunting,” tambah Sekretaris Jenderal NU Circle Heru Bahtiar Arifin.

 Membangun literasi

Pencapaian hasil belajar anak Indonesia yang rendah sangat berkorelasi dengan rendahnya tingkat literasi membaca dan berhitung.

Karena itu, sejumlah aktivis pendidikan dan guru meluncurkan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) dan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) untuk membangun keterampilan membaca serta memfasilitasi pembelajaran matematika yang bernalar dan kontekstual bagi anak didik.

Dalam kata pengantar buku kerja Menjadi Pembaca Aktif terbitan Gernas Tastaba, September 2022, Ketua Presidium Gernas Tastaba sekaligus Ketua Harian Nasional Indonesia untuk UNESCO Itje Chodidjah, mengutip kata-kata Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat. ”Reading is the gateway skill that makes all other learning possible (membaca ialah keterampilan pembuka yang memungkinkan pembelajaran lain terjadi)”.

Seseorang tidak akan mampu mengarungi perjalanan belajarnya tanpa didahului oleh keterampilan membaca.

”Makna kutipan tersebut sangat mendalam. Seseorang tidak akan mampu mengarungi perjalanan belajarnya tanpa didahului keterampilan membaca. Makna membaca yang dimaksud Obama bukan sekadar seseorang dapat membunyikan kata-kata, melainkan bagaimana seseorang mampu memaknai teks yang dibacanya,” papar Itje.

Membaca adalah proses aktif ketika pembaca membangun makna dari sebuah teks. Agar mampu memaknai teks yang dibaca, seorang pembaca perlu didorong untuk mengambil sikap aktif dalam bentuk pertanyaan dan mencari poin untuk menyetujui atau tidak menyetujui penulis.

Sikap aktif dalam membaca ini akan tercapai ketika seorang pembaca berinteraksi dengan orang lain dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan serta interpretasi mereka yang berbeda terhadap sebuah teks. Jadi, untuk bisa menjadi pembaca aktif, seseorang harus terus-menerus berlatih.

Menurut Itje, sebelum seorang guru atau orangtua menuntun anak-anak jadi pembaca aktif, mereka harus terlebih dulu terampil membaca aktif. Prinsipnya, untuk menjadi pembaca aktif, seorang pembaca bebas menghubungkan teks yang dibaca dengan perasaan, pemikiran, pemahaman, ataupun latar belakang pengalamannya.

”Dengan membaca aktif, kita akan mampu bersikap kritis terhadap berbagai teks yang kita baca. Kita juga lebih mudah menghubungkan pesan dari satu teks dengan teks yang lain untuk membangun sebuah pesan baru sesuai pemikiran kita,” ujarnya.

Adapun Gernas Tastaka yang diluncurkan pada 10 November 2018 bertujuan untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan matematika, khususnya di tingkat SD. ”Prinsip kami adalah mendorong adanya proses berpikir yang bernalar dan bisa diterapkan secara kontekstual,” kata sukarelawan Gernas Tastaba dan Gernas Tastaka, Dhitta Puti Sarasvati R.

Editor: Evy Rachmawati

Sumber: kompas.id

 

 

POSTING PILIHAN

Related

Utama 2792622455630886696

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item