Keterikatan Agama dengan Kesehatan Mental


 Ifa Ayuningtyas Afthon

Pada zaman dahulu, ketika teknologi belum dikenal oleh masyarakat, penyakit-penyakit yang timbul sering dikaitkan dengan hal-hal yang berbau spiritual dan juga alam bawah sadar manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), spiritual merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kejiwaan. Oleh sebab itu, manusia yang hidup pada zaman ini seringkali mengobati penyakitnya ke dukun atau orang yang mereka anggap pintar untuk berkomunikasi langsung dengan mahluk halus tersebut.

Mereka menganggap jika orang yang pintar dalam menganalisis jenis penyakit berdasarkan ilmu pengobatan itu tidak dapat menyembuhkan penyakit yang mereka derita. Namun, pergeseran waktu demi waktu tidak dapat dicegat oleh siapapun. Teknologi semakin berkembang pesat kala itu.

Kemajuan ini juga sudah berhasil menemukan berbagai macam penyakit dan bagaimana cara mengobatinya. Teknologi-teknologi yang mereka gunakan sangat canggih dan terpercaya. Jenis penyakit seperti virus, bakteri atau baksil-baksil telah berhasil disembuhkan dengan pengobatan-pengobatan medis berdasarkan ilmu pengetahuan.

Namun, setelah dicermati lebih lanjut, ternyata ada pula penyakit-penyakit yang berasal dari jiwa atau hati seorang individu. Dimana penyakit-penyakit ini merupakan suatu penyakit yang secara fisik individu tersebut tidak bisa terkena virus, bakteri atau baksil-baksil namun pada kenyataannya, individu tersebut sakit secara batin.

Penyakit inilah yang dinamakan penyakit mental atau penyakit hati. Penyakit mental (gangguan mental) secara umum adalah penyakit yang mempengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya. Sama halnya dengan penyakit fisik, penyakit mental juga bisa disembuhkan. Penyakit mental, adalah masalah yang memerlukan penanganan yang serius. Apabila permasalahan ini tidak cepat ditangani, maka kedepannya akan sulit untuk memperoleh kesehatan mental. Kesehatan mental sendiri adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (Penyesuaian diri dengan lingkungan sosial).

Kesehatan mental sangat dekat hubungannya dengan tuntutan-tuntutan  masyarakat yang ia tempati, masalah-masalah hidup yang dialami, dan perannya di lingkungan sosial. Untuk mengatasi penyakit ini, diperlukan kekuatan hati atau mental yang baik. Sehingga, diharapkan penyakit ini akan menghilang dengan sendirinya.

Pada awal abad kesembilan belas, para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan juga sebaliknya, gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikosomatik).

Diantara faktor-faktor mental tersebut yang dapat diidentifikasikan sebagai potensial dapat menimbulkan gejala-gejala adalah tentang keyakinan agama. Hal ini antara lain disebabkan sebagian besar dokter fisik yang melihat bahwa penyakit mental (Mental Ilness) sama sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuh penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.

Adanya keharmonisan jiwa yaitu ketika seseorang tidak sulit untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ia alami, tidak akan gelisah dan merasa takut dengan apa yang akan terjadi di masa depan, memiliki pandangan hidup yang realistis, serta tidak adanya konflik antara pikiran, perasaan dan tingkah laku. Seseorang yang kurang sehat mentalnya yaitu orang yang merasa gelisah, adanya hal yang memenuhi pikiran, cemas, takut, iri hati, sedih, merasa rendah diri serta pemarah.

Menurut Zakiah Darajat, 1995, ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan ke dalam enam kategori, yaitu:

  1. Memiliki sikap batin (attitude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
  2. Aktualisasi diri.
  3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi psikis yang ada.
  4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (mandiri).
  5. Memiliki perspektif yang obyektif terhadap realitas yang ada.
  6. Mampu menyelaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.

 

Menurut J.H. Leuba, (dalam Sururin, 2004:4) agama adalah cara bertingkah laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Secara umum, agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada Tuhan (atau sejenisnya) serta tata kaidah yang berhubungan dengan adat istiadat, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan, pelaksanaan agama bisa dipengaruhi oleh adat istiadat daerah setempat.

Agama dapat memberikan dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk juga pada dunia kesehatan. Seseorang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan juga bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi diri atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri. Salah satu solusi terbaik dalam menghadapi penyakit mental adalah dengan cara mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam agama pada kehidupan sehari-hari.

Kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT. serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.

Hubungan antar agama dan manusia memang sangatlah beketerkaitan. Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis.

Dalam beberapa bukunya, Sigmun Freud yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada perilaku manusia sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.

Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Al-Qur’an. Fitrah manusia sebagai ciptaan Allah SWT. ialah manusia yang diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam QS.Ar Rum:30-31.

Mahmud Abd Al-Qadir merupakan seorang ulama yang ahli dalam biokimia, memberikan bukti akan adanya hubungan antara keyakinan dengan agama dan dengan kesehatan mental. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikan orang. Dengan adanya Gerakan Christian Science, kenyataan itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah pula.

Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah: (QS An Nahl 16:97) Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”.

Dan juga dijelaskan dalam (QS Ar Ra’ad 13:28) Artinya: “(yaitu) orangorang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. Terapi merupakan usaha penanggulangan suatu penyakit atau gejala yang ada dalam diri mahluk hidup. Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama islam. Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama islam mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi dan lain sebagainya.

Dari kesimpulan di atas, bahwa semakin dekat manusia dengan Tuhannya, dan semakin banyak pula ibadahnya, maka manusia itu juga akan semakin tentram jiwa dan raganya. Mereka yang dekat dengan Tuhannya juga merasa mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup. Dan begitupun sebaliknya.

Semakin dia jauh dari Tuhannya, akan semakin susah baginya untuk mencari ketentraman batin. Ini juga menunjukkan bahwa agama merupakan terapi yang tepat dalam menanggulangi masalah-masalah kehidupan termasuk di dalam hal-hal yang menyebabkan gangguan pada kesehatan mental itu sendiri.

Ifa Ayuningtyas Afthon mahasiswi UMM dari jurusan farmasi angkatan 2022     

POSTING PILIHAN

Related

Utama 223452159369021944

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item