Lelaki Penjual Lotere

Catatan Jurnalistik Amang Mawardi

Kantor perwakilan koran kami di Jalan Embong Wungu, Surabaya, tidak jauh dari tikungan Jalan Basuki Rahmat - Jalan Pemuda.

Di kaki lima tikungan itu --di emperan Apotik Simpang, Atal Sport, Wing On Antieq serta beberapa toko dan usaha lainnya-- berdaganglah para PKL (pedagang kaki lima).

Jika sudah tidak ada pekerjaan di kantor atau pas lagi jenuh, saya sering meluangkan waktu melangkahkan kaki ke emperan tikungan itu. Yang utama untuk numpang baca majalah di lapak koran&majalah milik Susilo yang kemudian penumpangan ini saya tutup dengan membeli koran yang beritanya saya anggap menarik. (Sungkan kalau numpang baca doang). Yang kedua, siapa tahu tiba-tiba ada kejadian penting di sekitar situ yang lantas bisa diolah jadi berita.

Jarak antara kantor kami dengan tikungan tadi sekitar 300 meter.

Setiap saya menuju lapak tersebut, depan toko Atal Sport, saya mesti menjumpai seorang lelaki berusia sekitar 35 tahun dengan tinggi kira-kira 170 sentimeter yang mengenakan satu 'kurk' (tongkat penyangga di ketiak). Rupanya, salah satu kaki lelaki tersebut --maaf-- invalid.

Sedangkan tangan kiri lelaki yang rambutnya potongan 'crew cut' itu memegang sebendel kertas-kertas yang bentuknya semacam lembaran-lembaran kuitansi. Setelah saya perhatikan, o... sedang berjualan lotere.

Wajah lelaki itu netral. Ramah tidak, galak juga tidak.

Saya membayangkan betapa kuatnya lelaki ini berdiri, lama menawarkan lotere ke lalu-lalang orang-orang yang lewat di kaki lima ini. Oia, tatapan lelaki ini tajam sekali. Mungkin dalam lubuk hatinya tebersit, 'biar kakiku cacat, aku tidak minta-minta... '

Tetapi yang lebih menarik selain dari sosok ini adalah kehadiran seorang anak laki-laki sekira 6-7 tahun yang bermain-main di sekitar laki-laki penjual lotere tersebut. Yang sering saya lihat, anak itu bermain-main di lantai trotoar tersebut, tangannya memegang mobil-mobilan dan menggerak-gerakkan maju-mundur dengan sangat lamban. Sesekali anak itu tersenyum-senyum riang.

Ternyata setelah saya perhatikan, kedua mata anak itu: buta.

Karena seringnya lewat di situ, saya lantas mencoba menebak-nebak: apakah bocah ini anak dari lelaki invalid tersebut, atau kerabat dekatnya? Atau?

Kenapa mesti ikut "ayah"-nya berjualan di situ? Kenapa tidak di rumah saja dengan "ibu"-nya?

Lama-lama situasi ini menerbitkan naluri jurnalistik saya. Kemudian dengan hati-hati saya coba dekati lelaki penjual lotere tersebut. Lantas saya ajak ngobrol.

Lebih kurang 20 menit obrolan tengah berlangsung --mungkin karena terlalu bernafsu mengorek keterangan-- lelaki tadi spontan mengatakan, "sampeyan wartawan, ya?!" sambil melirik tas yang saya cangklong.

Maka, terbongkarlah maksud pendekatan saya siang itu.

"Jangan dimuat lho ya?!" pesannya. Saya pun mengangguk pelan.

" Benar ya, jangan dimuat?!"

"Ya," jawab saya lirih.

Mungkin karena pada akhirnya saya menganggap wawancara singkat tadi punya 'news value' tinggi, atau karena hari itu saya belum dapat satu berita pun, maka mesin tik kantor berdetak-detik-lah yang digerakkan oleh jari-jari saya. Secara setengah tidak sadar saya telah melanggar komitmen!

Maka, selesailah pengetikan berita tentang lelaki penjual lotere dan bocah buta.

Besoknya, Harian Pos Kota tempat dimana saya bekerja sebagai koresponden, memberitakan wawancara saya itu di halaman 1, nyelip di antara puluhan judul berita dalam gaya per-lay out-an yang dalam dunia jurnalistik disebut dengan istilah 'layout sircus style' itu.

Sebagaimana informasi yang saya terima dari sejumlah redaksi senior, Pos Kota sekitar awal 1980-an tirasnya terbanyak di Jakarta, yang lantas disusul Harian Kompas.

Namun, untuk total tiras secara nasional, Kompas nomor satu, Pos Kota nomor dua. Waktu itu tiras Pos Kota tercatat 450.000 ekslempar/hari.

(Seingat saya Jawa Pos saat itu belum dipegang oleh manajemen Tempo. Oplahnya cuma 6.500 ekslempar.

Jawa Pos pernah pada puncak tertinggi dengan tiras 350.000 ekslempar saat hangat-hangatnya Perang Teluk, Iran vs Irak. Tentu saja, setelah Jawa Pos dihendel manajemen Tempo dengan panglimanya yaitu Dahlan Iskan).

Jadi, kendati nyelip di antara berita-berita "bombastis" lainnya, berita tentang lelaki penjual lotere di Surabaya ini, cepat menyebar dan diketahui banyak warga Jakarta.

Hari itu juga, keluarga lelaki penjual lotere tersebut, mendatangi kantor pusat redaksi Pos Kota di Jalan Gajah Mada 100, dan diterima oleh redaktur pelaksana S. Saiful Rachim.

Cekas aos, lebih kurang

5 hari setelah pemuatan berita lelaki penjual lotere tersebut, kantor perwakilan kami didatangi tiga orang dari Jakarta yang kerabat lelaki invalid itu, atau persisnya masih punya hubungan dekat dengan bocah tuna netra tersebut.

"Anak ini sudah lama kami cari, Mas. Ini anak yatim piatu. Kami semua ingin mengasuh keponakan kami ini," kata salah satu dari mereka yang saya ingat mengenakan baju putih.

Cerita tamu-tamu ini --pada perkembangan terakhir-- di Jakarta anak ini diasuh oleh suami-istri lelaki dengan satu tongkat 'kurk' itu. Istrinya masih bersaudara dengan salah satu orangtua bocah buta tersebut.

Saya tidak ingat, kenapa lelaki invalid itu "melarikan" bocah kecil malang tadi ke Surabaya, dan tinggal di rumah kontrakan di kawasan Kalasin Gang Pompa dekat dengan kaki lima tikungan itu. Apa mungkin terjadi konflik dengan istrinya? Maklum, kejadiannya sudah lama berlalu, sekitar 40 tahun lampau.

Setelah itu, tamu-tamu sederhana tersebut, saya antar menuju tikungan Jalan Basuki Rahmat - Jalan Pemuda. Tetapi, sekira 25 meter dari jarak lelaki penjual lotere itu berdiri, saya izin untuk kembali ke kantor, dengan sebelumnya jari tangan kanan saya menunjuk posisi penjual lotere tadi.

Besoknya, muncul lagi berita di halaman 1: Bocah Buta Ditemukan Keluarganya di Surabaya.

Sejak bocah tuna netra itu diambil keluarganya, saya semakin gelisah, karena suara hati saya menyatakan tentang kesalahan pelanggaran komitmen saya terhadap lelaki invalid itu. Berjanji tidak akan memuat, mengapa masih memuat. Barangkali ini tidak saja menabrak norma pada umumnya, tetapi mungkin menyangkut pelanggaran kode etik jurnalistik. (Maaf, saya tidak ingat persis detail Sembilan Kode Etik Wartawan Indonesia).

Lebih kurang seminggu setelah bocah tuna netra tersebut kembali kepada keluarganya, saya temui lelaki dengan tongkat penyangga itu, kemudian meminta maaf. Tentu saja, saat itu bocah tuna netra di atas, sudah tidak ada di dekat lelaki tersebut.

Saya pikir saya akan didamprat habis-habisan, ternyata, "saya kan sudah bilang, jangan muat, kenapa mesti sampeyan muat juga?!", dengan volume datar. Tetapi matanya yang tajam itu serasa menembus jantung hati saya, menguliti perasaan bersalah saya...

____

*** Amang Mawardi adalah wartawan senior, seniman, sastrawan, penulis dan telah menerbitkan sejumlah buku ***

 


POSTING PILIHAN

Related

Utama 6165992299048652373

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item