My Culture is My Love

 


 

Cerpen: Zumrotus Sholihah

Sejauh mata memandang tampak gunung menjulang tinggi dan kokoh terpancang diselimuti rindangnya kerumunan awan. Ingin rasanya aku duduk di atasnya seraya menikmati indahnya alam dari ketinggian, memandang hamparan hijau ladang-ladang, panorama alam yang sangat menenangkan sekedar menghilangkan semua kepenatan dalam kehidupan

Kakiku terus melangkah dalam rasa penasaran yang tidak kunjung hilang, lelah dalam pendakian tidak terasa demi mencapai tujuan, semuanya terbalas ketika sampai pada puncak ketinggian, panorama alam terhampar luas bangkitkan imajinasi, dan sejauh mata memandang kutemukan kedamaian suatu pemberian tuhan yang tidak boleh di sia-siakan.

Di sanalah dia berada, gadis desa bernama Dea yang sedang yang kini sedang menikmati sejuknya alam diatas, bersama teman yang selalu setia menemaninya.

“Dekat-dekat ini kita bakal sibuk loh De!. Kita bakal aktif bantu ibu-ibu di dapur, mengolah masakan khas daerah kita,” ucap Jesy memulai pembicaraan seraya menatap Dea yang sedang menikmati semilir angin yang menyapu wajah indahnya.

“Iya, kangen banget aku ke makanan-makanan itu, jarang-jarang loh memasaknya bila tidak ada acara syukuran  tahunan di desa,” jawabnya ringan.

“Benar banget kamu De! Jarang-jarang ada makanan khas ya, meskipun namanya khas tapi kalau tidak buat sendiri ya tidak bakal ada! Tau gak, katanya nanti bakal ada penampilan tariannya”

“Memang iya? Ah, pasti seru! Tari Muwang Sangkal ya?,” tanya Dea dengan semangat ingin tahu

 “Iya, tidak sabar menuggunya, pasti seru lah. Satu lagi!  Katanya penarinya ya dari gadis desa kita sendiri lo, kalau kamu terpilih gimana?,” tanya Jesy

.”Gak mau ah, aku sudah lupa gerakannya, pernah belajar dulu pas SD, tapi kalau sekarang sudah lupa”

 “Kan pasti diajari De! Kalau aku yang kepilih gimana?”tanyanya lagi

.”Ih, pd banget kamu, kalo kamu yang nari, gak mau nonton aku,”ucap Dea bergurau

 “Tega banget kamu De!,” ucap Jesi seraya memanyunkan bibirnya, sedangkan Dea hanya tertawa melihat ekspresi sahabatnya itu .

Di hari berikutnya mereka mulai sibuk membantu para ibu-ibu yang sedang mengolah makanan-makanan khas Madura. Disitu terdapat sate, soto, bebek songkem, kaldu kokot, lorjuk, topak ladhe, tajin sobih, jubede ,dan masih banyak lagi. Dea dan Jesy sedang membantu membuat Jubede.

Jubede adalah makanan khas Madura, jubede ini terbuat dari tepung, dicampur dengan gula merah dan air kemudian di masak sampai kental, lalu di biarkan sampai membeku sendiri dan langkah terakhir diiket dengan tali khusus, yaitu tali dari daun kelapa kuning yang sudah kering. Makanan ini tahan lama jadi tak heran jika orang asing datang ke Madura dan membeli Jubede sebagai oleh-oleh.

Di tengah-tengah mereka bekerja tiba-tiba ibu kepala desa yang biasa dipanggil (Bu klebun) datang mendekati mereka.

“Nak Dea!” panggilnya

“Eh, bu klebun..gimana kabarnya bu? Lama tak ketemu,” Tanya Dea yang kaget dengan kedatangan beliau.

”Sehat kok! Dea bisa nari kan? Ayo ke balai desa, ikutan nari Muang Sangkal buat acara ini,” ucap ibu kades itu membuat Dea tersentak

“Sa saya bu?,” tanyanya masih belum yakin. “Iya kamu!,” ibu kades meyakinkan.

 “Saya sudah lupa bu sama gerakannya”

“Tenang aja, kan di latih. Cepat, sudah di tunggu sama yang lain lo!”

Ya bu klebun, saya mau ganti baju dulu,”. Deapun bergegas menuju balai desa.

Sekarang sudah memasuki H-2, semua orang mulai sibuk dengan tugas masing-masing tidak ada yang diam di rumah, satu desa kompak untuk persiapan acara sakral ini, kecuali para orang tua yang sudah tidak layak untuk bekerja. Dea sendiri senang melihat masyarakat bekerja dengan semangat empat lima, semuanya pada rela meninggalkan pekerjaannya demi acara ini.

Acara ini sangat bermanfaat karna dapat mempererat tali silaturahmi di daerah tersebut. Deapun juga sibuk latihan dengan patner-patnernya untuk hari-H nanti, dia sangat bersyukur karna dapat mengingat kembali tarian yang dulu sempat dia pelajari, lebih dari itu dengan mengetahui tari khas daerahnya dia merasa dapat berbakti pada tanah kelahirannya.

“Cie cie, yang ikut nari, gimana? Bisa nggak? semangat ya!,” rayu Jesy

“Ih, sok tahu! Lihat saja lah nanti,” jawab dea sembari menyenggol lengan sahabatnya itu

“Iya tenang, nanti aku duduk paling depan mau nyemangatin kamu”

“Awas saja kalau aku gak lihat kamu di depan”

“Siap bos!!,” ucap Jesy sembari melakukan gerakan hormat ala-ala anak pramuka. Dea tertawa melihat kelakuan sahabatnya itu.

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Masyarakat mengenakan pakaian terbaik mereka, tidak jarang jika dari mereka mengenakan baju couple yang memang di pesan jauh-jauh hari sebelum acara. Disisi lain, Dea sedang sibuk dengan polesan makeupnya dan mengenakan gaun khusus tarian adat Madura itu.

Busana yang digunakan pada tari muang sangkal ini merupakan busana dodot legha khas Sumenep, dengan panduan warna khas yaitu merah, kuning dan hitam. Pada bagian atas, penari menggunakan kemben berwarna hitam dan kain penutup dada yang dikalungkan di lehernya.

Sedangkan pada bagian bawah menggunakan kain panjang di dalam, dan diluar menggunakan beberapa kain tambahan berwarna merah dan kuning sebagai pemanis. Pada bagian kepala menggunakan mahkota dengan berbagai hiasan bunga. Selain itu ada beberapa aksesoris tambahan seperti sabuk, gelang dan cunduk. Untuk properti yang digunakan yaitu cemong kecil yang berisi beras kuning.

“Aduh Dea, kamu cantik banget!,”ucap Jesy yang tiba-tiba datang.

“Ih, kamu bisa aja,” jawab Dea

“Beneran, sumpah kamu cantik banget! ayo foto dulu,” ajak Jesy sembari mengeluarkan sebuah handphone.

Krik!!

“Udah-udah aku ke sana dulu ya, kayaknya tamu udah pada dating, kamu siap-siap, tampilin yang terbaik ok!” ucap Jesi seraya meninggalkan Dea.

Masyarakat-masyarakat sudah pada berdatangan, sekarang waktunya Dea dan para penari lainnya bersiap untuk memasuki area panggung.

“Kok aku jadi grogi ya?,” tanya Dea

“Bismillah…pasti bisa kok!,” jawab Lilis patner narinya

Akhirnya Dea berusaha percaya diri dan menunjukkan yang terbaik, dia tidak ingin mengecewakan kepala desa dan para masyarakat yang sudah bekerja keras untuk acara ini.

Diawali dengan gerakan cepat, para penari beriringan menuju panggung, setelah itu dilanjutkan dengan dengan gerakan lebih halus, dimana para penari menari sambil membawa cemong atau mangkuk kuning yang berisi beras kuning dan menaburkannya dengan gerakan yang lembut dan indah.

Tari Muang Sangkal adalah tarian untuk ritual tolak bala atau menjauhkan dari bahaya, Muang artinya membuang dan Sangkal artinya bala atau bahaya. Asal usul tari tersebut dilatar belakangi oleh seorang seniman Sumenep yang bernama Taufiqurrachman terhadap kekayaan yang dimiliki pulau Madura.

Di malam itu, dibawah kemerlapnya bintang, Dea menari dengan sempurna, dia terlihat anggun dan cantik. sembari tersenyum, dia menari dengan mengikuti alunan lagu dari gamelan yang dimainkan oleh para tetua desa. Kebudayaan adalah bagian dari kita, jadi sebagai penerus kita harus bisa melesterikannya.

Terkadang kebudayaan hanya tercipta dari candaan orang terdahulu menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi kebudayaan. Entah apa yang bisa di ungkapkan dea saat ini, intinya di dalam lubuk hatinya hanya ada satu kalimat “My culture is my love.”

****** 

Zumrotus Sholihah, mahasiswi Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan (IDIA), Semester 4 Fakultas Tarbiah, Prodi PAI. Asal Ambunten Barat, Ambunten, Sumenep, Madura

 

POSTING PILIHAN

Related

Utama 4626386049340632053

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item