Lima Pentigraf Tung Widut,Tulungagung



Pentigrafis: Tung Widut


Lelaki Itu

Seorang lelaki berdiri di samping sebuah mobil. Memandang keseluruh area parkir yang mulai dipenuhi mobil dari rombongannya. Tak berapa lama seorang perempuan ke luar membawa sebuah koper kecil. Berikutnya dua remaja mengkutinya.

Saat Rohana melintas di lobi hotel. Kelihatan laki-laki itu duduk bersama keluarganya di pojok ruang. Kura- kura dalam perahu. Bergeming. Setelah mencuri pangdang, lelaki itupun memainkan hpnya. Sampai Rohana meninggalkan lobi.

Sesampai di kamar hotel anggan Rohana berkelana pada dua puluh lima tahun lalu. Saat dia diperkenalkan dengan Narto teman sekantor kakaknya. Tapi, saat itu Narto menjawab "Adikmu terlalu mungil untukku." Penolakan yang menyakitkan itu masih di embel-embeli segudang kekurangan Rohana. Kenangan itu pun pudar. Setelah Rohana melihat wajah lelaki yang berbaring di sampingnya. Lelaki yang menikahinya dua puluh empat itu jauh lebih ganteng dibanding Narto.

 

Masih Ingat

Mic di depan beratus undangan mulai bersuara. Semua terdiam. Konsentrasi mendengar sambutan General Manager. Dia orang yang berhasil memimpin perusahaan hingga melampaui 150% dari target. Hingga malam itu diadakan tasyakuran dengan rekreasi bersama menginap disebuah hotel.

Hartini yang mengikuti suaminya diacara itupun harus menyembunyikan rapat-rapat rasa dak dik duk. Debar jantungnya sedikit terhibur dengan masker di wajahnya. Lagi pula yang dirasakan sangat tidak beralasan karena suaminya hanya pegawai biasa yang tak pernah bicara langsung dengan general menager atasanya itu.

Selesai menyambut, Hadi Risali General Manager yang terkenal sangat dekat dengan bawahanya itu mengucpakan terimakasih. Satu persatu semua bawahanya disalami sambil menyebutkan nama. Termasuk kepada suami Hartini. Hartini segera bersiap menundukkan kepala sambil mengulurkan kedua tangan tanda hormat. "Piye Ti apik to kabarmu?" (Bagaimana Ti kabarmu) kata Hadi Rosali sambil merangkul Hartini. Dia memang bukan tipe orang yang bersifat kacang lupa kulitnya. Selanjutnya dia menceritakan Hartini, orang yang sangat berjasa. Saat ujian akhir memberi contekan hingga danemnya sama persis dengan siswa yang selalu rangking satu yang sekarang dirangkulnya. Mulai itu dia mencontoh segala yang di lakukan Hartini.

·
Arah Anak Panah

Sengaja sore itu Hamdiah berjalan-jalan bersama keluarga. Menyusuri jalanan kota. Temaram menyusup diantara para pengguna jalan lainya. Bercanda ria sambil menikmati ramainya kota kecil tempat mereka tinggal.

"Di atas langit itu apa ada Indomaret?" tanya Sari. Sari yang anak ragil bu Hamdiah yang duduk di TK B. Dia lagi senang-senang belajar membaca. Bertemu dengan tulisan apapun berusaha dieja. Walau hasilnya kadang membikin bapak, ibu dan kakaknya terpingkal karena tak sesuai tulisan. Kali ini benar-benar kakak, bapak dan ibu dibikin bingung dengan pertanyaan itu. Ketika dijawab tidak, Sari kembali protes karena dia percaya yang dibacanya benar. Ketika sang kakak menjawab iya, Sari meminta bukti. Pusing juga.

Dua hari kemudian bu Hamdiah sekeluarga kembali bepergian. Saat kembali melihat petunjuk Indomart, Sari kembali mempermasalahkan. "Nah itu bu. Dilangit ada Indomart juga. Kan ada anak panahnya ke atas?" Bu Hamdiyah pun segera menjelaskan. Kalau anak panah ke atas artinya lurus mengikuti arah jalan. Mereka berempatpun tertawa geli.



Seragam Usang

Sudah 1.5 tahun bangku sekolah dibiarkan sendirian. Bertapa tanpa boleh dijenguk seorang siswapun. Pintu gerbang sekolah dijaga ketat. Hanya yang urgen saja yang boleh masuk.

Sekolah mengeluarkan pengumuman resmi memasukan siswa dengan prokes ketat. Berita ini disambut rasa suka. Grup menjadi riuh membicarakan. Terbayang mereka bisa bercekerama dengan teman. Saling tukar cerita tentang tugas yang ditagih sang guru. Rasa pusing saat PJJ. Tentang tetangganya yang positif lalu banyak meninggal. Masih berjuta cerita lagi yang harus disampaikan.

Jam 22.00 grup masih ramai. Terlalu bersemangat untuk menyongsong esok akan masuk sekolah. "Maaf bu, besok saya tidak pakai seragam. Seragam saya tidak muat,," tulis Yundono di grup.



Kepala Kambing di Bawah Pohon Duku

Sejak pagi Muhktar mondar-mandir membantu penyembelihan dua kambing kurban. Berharap akan mendapat bagian seiris daging. Ini harapan satu-satunya bisa makan daging. Hasilnya nihil. Bahkan dia hanya menjadi penonton. Pada akhir pembagian kurban beberapa orang berdebat mencari hilangnya kepala kambing yang berwana hitam. Pesanan menantu pak kyai yang sedang ngidam.

Saat jamaah Asar teman-temanya tak ada. Hanya Pak Kyai sebagai imam. Bu Nyai dan dia sebagai makmum. Mungkin teman-temanya sedang menikmati enaknya daging kurban. Pupus sudah harapannya untuk sekedar mendengar cerita lezatnya daging kurban.

Selesai jamaah dia termenung.Dia sudah iklas puasa, meronda dua malam, takbir sampai pagi. Tapi Tuhan tak memberi imbalan. Dia kemudian melangkah menuju kebun di samping surau. Ada sebuah pohon duku yang sedang buah. Seperti biasa bermaksud ingin luru duku (mengambil duku yang jatuh). Di bawah pohon duku ternyata menemukan kepala kambing yang di cari orang-orang tadi. Lalu dia bawa menghadap pak Kyai.

"Anak ku sudah melahirkan. Kamu bawa pulang saja, " perintah pak Kyai. Betapa bersyukur hati Muhktar. Lima hari mendatang dia akan selalu makan daging.


Tuyul dari Sisi Jembatan

Pagi masih dingin. Kabut tebal menyelimuti dedaunan. Hitam masih ada diantara lampu di sisi kiri kanan jalan. Saat adzan subuh selesai mbah Lasmi sudah berada di dekat jembatan. Tempat dia biasa mangkal. Pekerjaan mbah Lasmi sebagai tengkulak sayur sudah di jalaninya sejak muda.

”Anake sopo kuwi. Bocah opo asu kok melet-melet*,” suara mbah Lasmi agak keras merasa tak yakin melihat bayangan di sisi jembatan. Menjadi merinding sekujur tubuhnya. Tengkuk terasa dingin. Badanya gemetar. Dilihatnya kiri-kanan, semua masih sepi, tak seperti biasanya. Biasanya saat dia datang, para petani sayur sudah menunggunya.

Siang itu mbah Lasmi turun dari anggkutan umum yang membawanya pulang dari pasar. Dilihatnya ada kerumunan di rumah bu Marsiyem. Di halaman penuh dengan orang yang duduk di kursi plastik. Seakan menunggu sesuatu. Ketika dia bertanya kepada seorang yang sedang lewat jawabnya,”Bu Marsiyem meninggal.” Mbah Lasmi langsung teringat pagi itu. Kala sosok anak kecil yang dilihatnya empat puluh hari lalu. Anak kecil itu berjalan dari sisi jembatan menuju gapura rumah bu Marsiyem. Mbah Lasmipun meyakini anak kecil itu thuyul milik bu Marsiyem. Sudah tiba waktunya meminta tumbal.
*Anak siapa itu. Bocah atau anjing kok melet-melet.

*****
Tung Widut dengan nama asli Widwi Astuti. Lahir di desa Kaliboto, Wonodadi Blitar 50 tahun lalu. Sejak 2016  ia bertugas mengabdi sebagai guru  pengajar di SMKN 2 Tulungagung. Menulis  pentigraf ia tekuni sejak 2019.

POSTING PILIHAN

Related

Utama 2092476538969925159

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item