Lima Pentigraf Supiyati, Banyuwangi



Pentigrafis: Supiyati


Akhirnya Aku Mengerti

Aku suka membaca treatment hati. Seperti pagi ini lewat FB Grup yang aku sukai, ada artikel menarik. Isi hati para suami yang harus dipahami para istri. Setelah kubaca aku tersenyum, itu suamiku banget. Ingatlah para istri, saat kalian pergi, kami selalu berkata,” Kalau sudah sampai kasih tahu, hati-hati di jalan, jaga diri ya!” walau kata-kata itu singkat, itu bentuk perhatian kami dari lubuk hati yang terdalam mengatakan i love you.

Tumben jam tiga sore Mas Dira belum pulang. Apa ada lembur? Pasti nanti capek. Aku bergegas menyiapkan menu kesukaan Mas Dira. Semua masakan siap: sayur asem, pepes, juga sambel. Aku menunggu, kulirik jam sudah pukul 17.00 sore dan tak ada notifikasi pesan. Aku hubungi Mas Ridwan teman sekantornya. Katanya Mas Dira takziah ke Bogor. Larut bada Isa juga belum ada kabar. Semoga tidak terjadi sesuatu doaku.

Adan Subuh belum berkumandang, aku dengar ada langkah kaki di depan rumah dan suara pintu terbuka. Masih bermukena aku bergegas ke ruang tamu dan benar Mas Dira sudah datang. Dengan tersenyum aku membawakan tasnya dan bertanya kok tidak memberikan kabar apa tidak ada sinyal atau baterai HP habis. “Kalau aku tidak memberikan kabar, artinya aku baik-baik saja. Tidak usah menunggu

#Banyuwangi_170622


Berlari ke Arahmu

Sepulang dari hajatan manten sahabatku tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan malam ini sepertinya akan cukup lama. Setiap tetes air yang menyentuh tubuh terasa perih. Aku bergegas berlari. Berteduh berharap hujan segera berlalu. Teringat senyum bahagia mempelai tadi menyusupkan rinduku pada Mas Sarif.

“Mas Sarif, akan bertugas ke Medan. Setelah tiga bulan Mas akan kembali tuk meminangmu. Jaga hati kamu!” pesan yang membuatku tak meragu untuk setia menunggu kedatangannya. Mengingatnya aku jadi bahagia. Lapisan awan masih berlipat berarak, udara semakin dingin apa aku harus menerobos derasnya arus hujan. Tapi kilatan petir ini membuatku takut berajak dari teras pertokoan.

Masih tertegun membaca setiap rintik hujan dengan kilatan petir kulihat sosok yang tak asing. Mas Sarif melambaikan tangan ke arahku. Dengan girang aku berlari menyambutnya. “Aku sudah kembali, buka mata kamu. Sebulan ini aku selalu ada di samping kamu. Aku rindu dengan senyum dan sapaanmu yang manja saat menyebut namaku,” terdengar nada sedih dari suara Mas Sarif. Seperti ada lem yang kuat merekat di mataku, aku hanya bisa mengerjab. Mas Sarif memelukku tapi mengapa tubuhku terasa kaku tak dapat kugerakan. Air mataku menitik mungkinkah aku koma? Dalam hujan itu aku berhalusinasi dan menerobos petir. Tuhan suarakan lisanku tuk memanggil Mas Sarif.

#Banyuwangi_14/6/22



Tebal Muka

Semenjak rewangku berhenti karena sakit, punggungku serasa banyak menanggung beban. Mulai jam 03.30 pagi aku sudah bergerak seperti gangsing. Masak, cuci piring, cuci baju, nyapu, belum lagi yang itu. “Ah, seambrek pekerjaan perempuan ini mitos atau fakta,” pikirku. Belum lagi nyiapkan bocil sekolah dan keperluan kerjaku sendiri. Sementara rajaku masih tidur dan aku harus bersabar dengan senyum dalam rutinitas. Memulai hari dengan istigfar dan berprinsip satu-satunya yang kumiliki hanya waktu yang manfaat, penentram jejak awali pagi.

"Azzam, buruan berangkat, ibu hampir terlambat," seru ku pagi itu. Azzam santai menuju ke sepedaku. Kuamati penampilannya. Lho, ia hanya pake satu kaos kaki. Kusuruh Azzam mencari dulu pasangannya kaos kakinya atau sekalian dilepas. Diantara perasaan kecewa dan berpikir terlambat lagi, aku berangkat langsung starter sepeda. Toh, ayah ada di rumah. Biar Azzam diantarnya.

Azzam anak patuh ketat dalam berseragam. Karena kuatir kaos kaki tidak ketemu setelah fingerprint, aku ke sekolah Azzam beli kaos kaki. Aku segera menuju kelas Azzam. Aku mendengar bisik-bisik dari teman Azzam, ada ibu Azzam. "Assalamu'alaikum, Ibu maaf mau ngantar kaos kaki untuk Azzam," sambil kuamati seisi ruangan mencari anakku. Astagfirullah aku tersenyum masam dan menahan malu pada wali kelas ternyata Azzam tidak berada di dalam kelas. Ia tidak masuk sekolah. Kembali kuberpikir suamiku mengapa tak kau antarkan Azzam?

#Banyuwangi, 14/6/22



Berlari ke Arahmu

Sepulang dari hajatan manten sahabatku tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan malam ini sepertinya akan cukup lama. Setiap tetes air yang menyentuh tubuh terasa perih. Aku bergegas berlari. Berteduh berharap hujan segera berlalu. Teringat senyum bahagia mempelai tadi menyusupkan rinduku pada Mas Sarif.

“Mas Sarif, akan bertugas ke Medan. Setelah tiga bulan Mas akan kembali tuk meminangmu. Jaga hati kamu!” pesan yang membuatku tak meragu untuk setia menunggu kedatangannya. Mengingatnya aku jadi bahagia. Lapisan awan masih berlipat berarak, udara semakin dingin apa aku harus menerobos derasnya arus hujan. Tapi kilatan petir ini membuatku takut berajak dari teras pertokoan.

Masih tertegun membaca setiap rintik hujan dengan kilatan petir kulihat sosok yang tak asing. Mas Sarif melambaikan tangan ke arahku. Dengan girang aku berlari menyambutnya. “Aku sudah kembali, buka mata kamu. Sebulan ini aku selalu ada di samping kamu. Aku rindu dengan senyum dan sapaanmu yang manja saat menyebut namaku,” terdengar nada sedih dari suara Mas Sarif. Seperti ada lem yang kuat merekat di mataku, aku hanya bisa mengerjab. Mas Sarif memelukku tapi mengapa tubuhku terasa kaku tak dapat kugerakan. Air mataku menitik mungkinkah aku koma? Dalam hujan itu aku berhalusinasi dan menerobos petir. Tuhan suarakan lisanku tuk memanggil Mas Sarif.

#Banyuwangi_14/6/22



Wasiat Kakek

 “Mas, kipas anginnya mati, ya," celetukku. Rumah kakek kalau tidak ada kipas angin seperti berada di atas tungku. Peluh keringat selalu bercucuran. Aku coba cari obeng untuk betulkan kipas. Tampak Kang Karman gemetaran gelisah di sudut kamar kakek.

"Aku mencari keris peninggalan kakek disimpan di mana sama Bapak, aku cari sejak tadi tidak ketemu,” kata Kang Karman. Kalau Bapak pingin sembuh, ikhtiarnya berobat, berdoa dan semua pusaka harus dilarung. Kang Karman harus segera menguburkan atau melarung benda itu tengah malam nanti. Tapi tak diketemukan keris itu. Aku tunjukan keris yang aku pikir hanya mainan. Aku lihat antik akan ku jadikan hiasan di rumah pikirku. Aku jadi bergidik.

Tengah malam nanti aku ikut nglarung. Harus diam selama perjalanan. Banyak baca doa dan istigfar. "Keris itu peninggalan Kakekmu untuk menjaga rumah, di tanam agar orang yang berbuat jahat linglung memutari rumah kita,” penjelasan ibu. Tengah malam kami berangkat. Apa yang kurasakan sungguh mengerikan bulu kudukku sampe berdiri dalam perjalanan melarung pusaka. Saat pulang malam sangat sepi. Tiba-tiba tiba ramai dengan suara gagak di atas atap rumah dan ada dentuman duarrr yang bikin ciut nyali kami. Kami berlari ke kamar bapak dan berbarengan beristigfar. Sungguh menakjubkan rumah yang biasanya panas sekarang terasa sejuk dan adem. Kulihat bapak tidur dengan pulas.

#Banyuwangi_13/6/2022

*****
Supiyati, S.S. adalah guru di SMP N 3 Siliragung Satu Atap Kab. Banyuwangi. Alamat: Sumberkembang Barat 04/01 Karangmulya, Tegalsari, Banyuwangi, Jawa Timur.


POSTING PILIHAN

Related

Utama 5069214491849718288

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item