Menggabungkan Temuan Arkeologi, Manuskrip, dan Cerita Lisan

(Kasus Kesejarahan Kerajaan Powan)



Mashuri Alhamdulillah

Merunut kesejarahan sebuah kawasan yang masih remang-remang memang menantang. Tentu hasilnya bakal asolole bila dapat menggabungkan antara temuan arkeologi, manuskrip dan tradisi lisan. Bila ditambah dengan catatan dari berita asing, tentu semakin maknyus. Namun, jika hanya mengandalkan cerita lisan sebagai sumber satu-satunya, risikonya terlalu besar, apalagi bertumpu pada sumber kekinian yang tidak jelas silsilah pengetahuannya. Bukan berarti cerita lisan itu tidak penting, tetapi jika dijadikan acuan kesejarahan, banyak hal yang luput, dan yang paling terasa adalah soal kronologi dan ketepatan detail nama dan peristiwanya.

Dari beberapa blusukan saya selama ini, saya merasa menelusuri Kerajaan Powan –bawahan Imperium Majapahit-- cukup menantang, tetapi berakhir dengan konstruksi yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesejarahan Powan terkonstruksi cukup utuh, meskipun bukti arkeologinya sudah hilang ditelan zaman, Powan kini adalah nama sebuah dusun atau pedukuhan. Salah satu dusun dari sembilan dusun yang masuk wilayah administratif Desa Tulakan, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Yang tertinggal dalam ingatan sebagian orang hanyalah dongeng Djoko Budug. Itu pun mengalami reduksi di beberapa sumber. Antara juru kunci situs candi, situs ‘makam’ Djoko Budug di puncak Gunung Liliran, dan catatan cerita rakyat yang pernah dibuat kalangan kolonial berjarak seperti langit dan sumur.

Pada masa kolonial, para arkeolog pernah mencatat bahwa di Desa Tulakan memang terdapat tinggalan purbakala yang menarik. Di sana terdapat fragmen percandian yang lengkap dengan posisi menyebar ke seantero desa. Tidak hanya di Dusun Powan saja. Fragmen percandian itu berupa beberapa batu gilang, umpak-umpak, simbar, dan dua buah arca Nandi, yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut Reco Banteng. Meski tinggalan itu tinggal abab, alias tak bersisa, tetapi catatan masa lalu itu masih dapat berbicara karena pernah didokumentasikan dan dilaporkan oleh pejabat Belanda.

Dari pustaka kolonial, diketahui bahwa prasasti batu itu berbunyi: “Ong, dana pasagira werit prami, Saka kala 1381”, yang artinya kurang lebih begini: “dana pemberian atau upeti Werit Prami, tahun Saka 1381”. Tahun itu jika dikonversi ke dalam tahun Masehi berarti tahun 1459. Prasasti tersebut sudah diidentifikasi oleh Belanda dan dicatat dalam Rapporten Van de Ouddheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie (ROD), halaman 111, semacam laporan atau catatan peninggalan masa lalu Hindia Belanda pada masa kerajaan kuno. Tulisan lain tentang prasasti Sine tersebut juga terdapat pada Tijdschirft van het Batavias Genootschap (TBG II), tahun 1854, oleh Frederich, yang berjudul “Insciptie van Sineh”, artinya inskripsi dari Sine.

Menurut catatan dalam TBG II, yang berdasar pada bunyi prasasti tersebut, diperkirakan pada abad ke-14, daerah Sine dan sekitarnya termasik daerah kekuasaan seorang raja perempuan atau ratu. Atas kebaktian masyarakat di kawasan tersebut, telah mendapatkan hadiah atau penghargaan dari sang ratu yang ditabalkan dalam batu peringatan prasasti.

Yup, beberapa tinggalan batu itu kini sudah tidak ada. Bahkan, tilas keraton Powan tidak menyisakan apapun, kecuali sebuah lokasi yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan di bawahnya tampak beberapa tiang untuk mengikat sapi warga. Di sampingnya terdapat lapangan voli, yang ternyata di bawah tiang net voli itulah penulis menemukan batu kuno yang sangat mungkin adalah reruntuh benda purbakala di situ. Sayangnya, fungsi batu itu kini berubah menjadi batu pijakan untuk pemasangan net. Adapun di sebelahnya terdapat masjid. Warga pun menyebut kawasan itu sebagai petilasan Keraton Powan, meskipun ada perangkat desa yang menyebut bahwa di situ adalah makam. Sebuah simpang siur yang nikmat.

Yang menarik keberadaan Kerajaan Powan selalu dikaitkan dengan kisah lisan tentang Doko Budug (Raden Arya Bangsal) dan Puteri Ayu Rara Kemuning. Nama asli Powan sendiri adalah Pawwanawan dan disebut dalam Kakawin Negarakertagama, karya sastra dari Rakawi Parapanca, berisi pelesir Prabu Hayam Wuruk (1350—1389) ke beberapa desa bawahannya. Pawwanawan merupakan daerah bawahan Kerajaan Majapahit, yang dalam kekinian disebut Powan.

Arkeolog Tri Marhaeni dalam jurnal arkeologi “Siddhayatra” (Balai Arkeologi Palembang) edisi Perdana tahun 1996 juga mengamininya. Dia mengajukan hipotesis bahwa lokasi keraton Powan, di tanah tegalan yang berbatasan dengan hunian penduduk di sebelah utara dan timur, tanah tegalan di sebelah selatan dan Sungai Sawur di sebelah barat. Dijelaskan, berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di daerah sekitar situs, diketahui bahwa penduduk setempat percaya bahwa di situs tersebut pernah berdiri sebuah keraton bernama Powan yang sezaman dengan Kerajaan Majapahit.

Menurut dia, seluruh situs di sekitar Powan beserta toponim dusun mungkin tidak hanya menujukkan tingginya intensitas pengaruh Hindu, melainkan menunjukan pula adanya masyarakat yang telah mampu mengikuti arus peradaban waktu itu. Masyarakat semacam itu tentu telah hidup dalam suatu tatanan yang teratur di bawah suatu pemerintahan. Kerajaan Mataram Kuno, Kadiri, Singhasari atau Majapahit merupakan pusat kebudayaan atau pemerintahan yang pernah berkembang waktu itu dan paling mungkin kekuasaan atau pengaruhnya menjangkau kawasan Powan.

Perlu juga diketahui, sebelum itu, dalam studi kolonial yang terdapat dalam “Djawa: tijdschrift van het Java-instituut”, Volume 18, Number 2, 1 Mei 1938, hal. 117 yang menjadi koleksi perpustakaan Universitas Leiden, ihwal keraton Powan juga disinggung keterkaitannya dengan Majapahit, lengkap dengan cerita lisan (disebut legenda) terkait dengan Djoko Budug, Gunung Liliran, Desa Tulakan dan Ketanggung, yang pada masa itu masuk dalam Distrik Ngrambe. Di situ juga disebut adanya beberapa tinggalan Hindu Jawa berupa benda-benda purbakala, yang sekali lagi, kini sudah tak lagi in situ atau sudah masuk ke saku.

Disebutkan, “Volgens het romantische verhaal (Karaton Powan door Jasawidagda --uitgave Volkslectuur) van de Kraton Powan, die in de desa Toelakan (district Ngrambe) regentschap Ngawi dicht aan de Solosche grens gelegen moet hebben, zou hier gedeeltelijk in Madioensch en gedeeltelijk in Solosch gebied een klein rijkje gelegen hebben, dat in den Madjapahitschen tijd onafhankelijk geweest moet zijn. De legende vertelt, dat een zekere Raden Bagoes Aria Bangsal, zoon van één der Madjapahitsche Vorsten uit het paleis vlucht, en al ronddolende een lepralijder wordt, terecht komt in Powan onder den naam van Djaka Boedoeg (boedoeg == melaatsch), daar berouw krijgt en dan in staat is om met succes aan een sajembara deel te nemen ; maar juist wanneer hij dan met de dochter van den Vorst van Powan zal huwen, wordt hij bij vergissing gedood. Toch moest de hem toekomende bruid hem in den dood volgen en met hem op den Goenoeng Liliran (ten noordoosten van Powan) begraven worden. Het slot van het verhaal is de onderwerping van Powan door het Madjapahitsche leger onder bevel van Arjadalika.”

Yeah, nasib Kerajaan Powan memang beruntung. Saya curiga beberapa kawasan yang kesejarahannya masih simpang-siur dan tumpang tinding, sebenarnya juga seberuntung Powan. Jika masih belum ada titik terang, mungkin saat ini belum ditemukan jalannya. Dari ngablak sekadarnya tersebut dapat diambil sebuah buhul: jika merunut kesejarahan sebuah kawasan memang lebih mantab jika menggabungkan antara runutan arkelogis, manuskrip, cerita lisan –ditambah dengan catatan-catatan dari berita asing atau studi kolonial.

Siwalanpanji, 2022

Sumber: akun FB Mashuri Alhamdulillah




POSTING PILIHAN

Related

Utama 68205012429343370

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item