Pendidikan Falsafah dan Label Carok pada Masyarakat Madura


Oleh Afifuddin Hafas


Dalam bermasyarakat, orang Madura sangat menjunjung tinggi terhadap etika dalam kehiduapn sehari-hari maupun berkomunikasi dengan dunia luar.  Namun banyak pihak bila bicara  tentang orang Madura, kadang dikaitkan dengan budaya carok.  Carok sendiri kerap dikaitkan dengan kekerasan, pembunuhan atau hal-hal yang sebetulnya menjadi stigma berat bagi orang  Madura sendiri. Mereka, khususnya orang Madura tidak memahami apa dan bagaimana carok sebenarnya. Namun disisi lain, dalam konteks keagamaan, masyarakat Madura selalu berpegang teguh pada ajaran Islam dalam pola kehidupan sehari-harinya.

Walau pun hal itu menyisakan “keraguan,” untuk menyebut adanya kontradiksi antara ajaran Islam, sacara substantif dan perilaku sosial serta kultur dalam praktek keberagamaan mereka, Islam sebagai ajaran yang diyakini sebagai pedoman dalam kehidupan  individu, suku dan etnik Madura itu ternyata tidak selalu menampakkan keselarasan pada sikap, karakter, dan pola perilaku masyarakat Madura.

Orang Madura sangat menjunjung tinggi akhlak dan agama, Seperti diketahui, karakter ini akan menjadi sesuatu yang sangat urgen bagi kehidupan manusia bila dilandasi dengan dasar agama. Karena itu, pendidikan agama sangat berperan dalam membentuk karakter seseorang, terutama pendidikan akhlak yang diberikan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Pada dasarnya, memiliki karakter yang baik adalah dambaan dari semua orang. Sebab itu, ia akan dihormati, disegani orang disekitarnya. Maka, pendidikan akhlak berperan penting dalam membentuk karakter seihingga bisa menghilangkan budaya Carok yang telah menjadi label bagi masyarakat madura oleh orang di luar Madura.

*****
Seringkali ketika kita berpapasan dengan orang yang bukan berasal dari Madura dan kiat memperkenalkan diri bahwa kita berasal dari Madura, banyak diantara mereka langsung mengaitkan kita denga "té-sateé" dengan logat khas Maduranya dan juga mengaitkan dengan "carok" sebagai penyelesaian terakhir dari sebuah masalah. Terkait asumsi pada poin pertama kita bisa berbangga diri karena salah satu makanan  khas kita banyak digemari oleh masyarakat luar, tapi beda halnya dengan stigma yang kedua yaitu "carok".

Dengan pengaitan kepada kita selaku masyarakat Madura, tersirat dari fikiran mereka bahwa orang Madura itu keras tidak berpendidikan dan sering melakukan kekerasan. Kita selaku masyarakat Madura seharusnya tidak berbangga diri dengan prespektif mereka karena hal itu bukan merupakan kebiasaan dari Masyarakat Madura yang selalu berpegang teguh dan berkeyakinan terhadap agama Islam

Dikutip dari artikel Al Ibrah Volt 1 No2 yang terbit pada tahun 2016 Abdullah menulis bahwasannya Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Pertengkaran. Secara harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilasi). Menurut Zawawi Imron budayawan berjuluk Celurit Emas, carok merupakan satu pembauran dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura.

Carok merupakan cara penyelesaian akhir dari permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara damai atau musyawarah yang didalamnya berisikan tujuan untuk mempertahankan harga diri. Carok pada umumnya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan sering terjadi antar penduduk desa. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan, perselingkuhan, perebutan tanah, bisa juga dendam turun temurun selama bertahun-tahun lamanya.

Memang sudah tertanam dari dahulu pada masyarakat Madura untuk selalu menjaga kehormatan diri maupun orang lain sehingga tak jarang ketika berkaitan dengan harga diri masyarakat Madura akn melakukan apa saja agar harga diri mereka tidak terinjak-injak sehingga tercipta falsafah "Bhâlik potéa tolang katémbhãng potѐ mata".

Perlu diketahui bahwasannya tidak semua permasalahan harus diselesaikan oleh "carok", karena masyarakat Madura sangat menekankan terhadap akhlak atau etika maka dalam menyelesaikan suatu permasalahan masyarakat Madura lebih mendahulukan "bhãkrembhãk" musyawarah anter sesama bahkan apabila masalah tidak kunjung bisa diselesaikan mereka akan mendatangkan seorang tokoh agama atupun tokoh masyarakat yang dalam budayanya mereke sangat enjunjung tinghi mereka dengan falsafahnya "Bhupa' bhãbu'ghuru rato" yang artinya bapak, ibu, guru dan pemerintah.

Karena masyarakat Madura sangat menghormati orang yang lebih tua sehingga dalam memecahkan suatu masalah tak segan mereka menghadirkan mereka untuk segera menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi.

*****

Jadi dapat kita simpulkan bersama terkait paradigma pemikiran masyarakat luar terhadap Madura adalah kurang tepat bahwa masyarakat Madura itu keras dan tidak bersabat karena masyarakat Madura itu sebenarnya masyarakat yang bisa bergaul dengan siapa saja masyarakat yang sangat menjunjung tinggi moral, hal ini bisa dibuktikan dengan tersebar luasnya masyarakat Madura di berbagai daerah dan bisa hidup rukun dengan masyarakat asli daerah tersebut.

Masyarakat Madura menerima semua orang dari berbagai macam etnis budaya, tidak suka mencari ataupun membuat masalah dengan orang lain karena masyarakat Madura itu menjunjung rasa persaudaraan yang tinggi dengan bahasanya yaitu taretan atau saudara.


POSTING PILIHAN

Related

Utama 8203404584404494524

Posting Komentar

  1. Assalamu'alaikum tretan..salam setrong dere. Narasinya bagus dan menurut saya ini juga berbobot..pantas jika di publilasikan..

    BalasHapus

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item