Ikhtiar Menjaring Sejarah Lokal Lewat Tradisi Lisan



Mashuri Alhamdulillah


Gagasan Jan Vansina yang tertuang dalam buku yang terbilang klasik, meski baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia "Tradisi Lisan Sebagai Sejarah Lokal" (Ombak, 2014, versi asli terbit pada 1929) memang sulit untuk diterapkan dalam tradisi lisan kita, meskipun bukan berarti tidak mungkin. Jika diibaratkan, tradisi lisan itu mirip material yang dikandung dalam aliran sebuah sungai dan kita dituntut untuk menyaringnya dengan teliti untuk memunguti apa yang sedang kita cari dan butuhkan, seperti bulir-bulir sejarah lokal, meskipun hal ihwal lainnya seperti pengetahuan, hukum, budaya lokal dan lain sebagainya juga tersaji di dalamnya.

Yup, secara sederhana Wikimedia menyebut, tradisi lisan sebagai pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, balada, atau lagu.

Ditegaskan, dengan cara itu masyarakat dapat menyimpan dan menyampaikan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan. Bahkan dengan tegas Wikimedia menjelaskan, tradisi lisan merupakan salah satu sumber sejarah. Tentu mengacu pada Vansina yang sudah saya singgung sebelumnya. Syarat dan ketentuannya itu yang agak membuat tubuh dan pikiran meriang. Ehm! Namun, sebagai spirit, konsepsi itu menarik bingit.

Dari beberapa pengalaman sederhana untuk mengkonstruksikan sejarah lokal di beberapa tempat lewat potensi tradisi lisannya, saya memang tidak dapat menjadikan tradisi lisan itu berdiri sendiri. Hal itu karena ada kecenderungan-kecenderungan tertentu sehingga kandungan kesejarahannya bias, dan yang sampai adalah semacam cerita dengan masa yang tidak jelas, samar, campur-baur, penghalusan tragedi masa lalu, bahkan berkadar pelipur lara. Apalagi jika peristiwa yang tersaji di dalamnya terjadi sudah berabad-abad, bahkan ada lebih dari satu milenia.

Saya pun perlu menengok data lainnya, seperti artefak arkeologis dan naskah kuno. Sayangnya tidak semua data arkeologis dapat 'berbicara'. Untuk data naskah kuno pun masih terbatas, karena kita tahu tradisi tulis kita didominasi oleh kelas dan golongan tertentu dan tinggalan itu pun sampai pada kita dalam kondisi compang-camping. Repotnya tak semua asal-usul daerah tercatat dalam tradisi tulis.

Namun sebagai data, keduanya sangat diperlukan dalam mengulik tradisi lisan sebagai bahan sejarah --tentu tak dapat dikesampingkan adalah berita asing. Selain itu, kajian toponim, karena terbukti sangat-sangat membantu dalam penelusuran kesejarahan, karena beberapa nama tempat merujuk pada akar kebahasaan pada zamannya, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nigel Bulough dalam menapaktilasi reportase Rakawi Prapanca dalam "Negarakertagama"

Berikut beberapa pengalaman saya sebagai seorang newbie dan amatiran. Ada yang sudah tayang di jurnal atau buku, ada pula yang sedang dirangkai dalam tulisan panjang.

(1) Dari penelusuran beberapa kesejarahan desa pesisir dan sepanjang daerah aliran sungai Bengawan Solo di Jawa Timur, data dari tradisi lisan, situs alam, situs makam/nisan, dan naskah kuno dapat dikombinasikan untuk mengkonstruksi beberapa desa tua dan jaringan masa lalunya.

(2) Ibu kota Majapahit pertama di hutan orang Tarik, tepatnya di Desa Gampingrejo, Sidoarjo, sangat mungkin bukan Trowulan. Kombinasi antara naskah kuno di Jawa dan Bali, artefak, kajian arkeologi dan toponim menunjukan bahwa kemungkinan itu bukan sekadar spekulasi atau berdasarkan dongeng.

(3) Dari penelusuran asal-usul Desa Damarsi, Sidoarjo, dimungkinkan sebuah 'fakta' masa lalu, terkait dengan persaingan keberagaman masa lalu dan jaringan masa lalu antara Jawa, Bali dan Sumatera (Palembang). Kombinasi antara data cerita rakyat, naskah kuno, kajian sejarawan Asia Tenggara, dan benda-benda arkeologis mengarah ke sana.

(4) Dari cerita rakyat di Jember dapat ditelusuri kesejarahan Indianisasi dan Islamisasi di kawasan yang secara administratif kolonial termasuk baru, padahal kesejarahan lokalnya menunjukkan sebuah tengara waktu yang lama dan tua, bahkan sejak era zaman klasik Jawa.

(5) Sebentar, saya ingat-ingat dulu. Hmmm.

Saya kira, segitu dulu. Kalau terlalu panjang, bukan ngablak namanya, tapi ngabluk. Ups! Crit!

On Siwalanpanji, 2022
Dari akub FB: Mashuri Alhamdulillah


POSTING PILIHAN

Related

Utama 1618487615295277678

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item