Riwayat Lesung Pengundang Prahara



 Cerpen: Diaz Rizal

 Pernah terjadi, peristiwa bersejarah bagi masyarakat Madura, pada tahun 1999 seluruh wilayah pulau ujung timur Jawa Timur ini pernah berselimut petang dan gulita saat malam tiba. Hal ini lantaran putusnya jaringan listrik di selat Madura akibat jangkar kapal yang memutuskan kabel listrik bawah laut dari Pulau Jawa ke Pulau Madura

Dengan keterbatasan penerangan listrik, tampaknya melahirkan kisah-kisah unik dan penuh misteri. Satu diantara rentetan kisah panjang itu terjadi di Kampung Tajjan, Desa Bluto. Warga di sana meyakini, di setiap kejadian nahas yang menimpanya semua berasal tabuhan lesung yang menyerupai suara kentungan.

 ***

 “Heni, ambilkan alu di gudang belakang,” kata Nyai Siti sambil bersiap-siap menuju halaman belakang. Meski sepasang kaki tua itu tidak selincah dulu, namun tetap mampu membawa Nyai Siti kemana-mana.  Kiai Matrawi selaku kepala keluarga dan suami dari Nyai Siti pun sudah sepuh. Mereka hidup damai bersama kedua anaknya.

Lilik sang putri sulung telah tiba lebih dulu bersama tiga wanita lain yang merupakan tetangga mereka. Memang akhir-akhir ini para tetangga kerap kali menyambangi kediaman Kiai Matrawi. Pasalnya, sejak pemadaman listrik banyak warga beralih ke cara tradisional dalam memenuhi segala kebutuhan mereka. Seperti pagi ini, para tetangga sedang membantu keluarga Kiai Matrawi untuk menumbuk jagung pengganti beras sebagai makanan harian.

Lantunan selawat selalu bergema tatkala ritual menumbuk sedang atau akan dimulai dan tak jarang pula diakhiri dengan obrolan-obrolan gosip.

Heni yang tergesa-gesa menuju gudang, tak sengaja kedua bola matanya membidik seorang anak yang sedang membawa kentungan. Terbesit dalam pikirannya kalau lesung pun sebenarnya bisa ia pakai sebagai alat bunyi-bunyian laiknya sebuah kentongan. Diambilnya beberapa alu yang tergeletak di atas lincak. Heni bergegas menuju halaman rumah.

Bayang kentungan itu semakin tergambar jelas dalam pikiran Heni ketika ia sibuk menumbuk biji jagung. Bunyi lesung yang terpukul alu semakin mempertegas pikiran Heni. Tepat ketika gosip dimulai, tiba-tiba Heni menanyakan soal mitos lesung pada ibunya. Nyai Siti dan para tetangga mengunci rapat kedua bibirnya. Mereka seolah enggan membicarakan hal itu pada wanita yang baru berusia 21 tahun itu.

Di tengah kecanggungan mereka, raungan motor RX-King memecah keheningan pagi. Salim, sang mantan ABRI itu tidak ada kapok-kapoknya mendatangi rumah Kiai Matrawi guna meminang Lilik. Berkali-kali pinangan Salim telah ditolak, tetapi hal itu tak memadamkan gelora api cintanya pada putri sulung sang kiai. Meski sebenarnya, hatinya tercabik-cabik karena penolakan itu. Bukan tanpa sebab Kiai Matrawi menolaknya, selain Lilik telah bertunangan dengan Sukam si lurah setempat, Kiai Matrawi pun tahu kalau Salim dicopot dari tugasnya akibat kasus pemerkosaan dan kekerasan yang dilakukannya semasa Orde baru berjaya.

“Sudah cukup! Kesabaran saya sudah habis, Kiai. Kamu akan tanggung sendiri akibatnya,” ancam Salim meninggalkan Kiai Matrawi.

***

Malam semakin tua. Sinar rembulan menapaki bumi dari angkasa, memberikan secercah cahaya di tengah gelapnya Kampung Tajjan. Selepas shalat Isya’, para santri dengan serempak meninggalkan surau. Tinggallah Kiai Matrawi yang masih terduduk seolah menanti sesuatu. Benar saja, lima menit berselang seorang pemuda melangkah menghampiri beliau setelah sepeda pancalnya terparkir di bawah pohon kesambi tua. Sukam, Putra sulung dari Sukar si mantan lurah itu membawa kabar.

“Kondisi Desa Bluto sekarang sudah tidak aman, Pak,” ucap Sukam khawatir.

Sudah dua minggu lebih lamanya, pemadaman listrik tak kunjung usai. Hal ini berdampak pada kondisi keamanan yang semakin mencekam. Di tengah gelapnya malam dan disertai penerangan seadanya, aksi ninja membantai para  ulama semakin menjadi-jadi.

“Dua hari lalu, seorang ustad dibunuh saat pulang dari surau di kelurahan sebelah.” Lanjut Sukam yang masih terlihat khawatir. Ia pun menawarkan pengamanan pada Kiai Matrawi namun tawaran itu cepat-cepat ditolak.

Kiai Matrawi berujar bahwasanya ia tak ingin membuat kegaduhan di tengah kondisi masyarakat yang melarat. Krisis moneter sudah cukup banyak menampar perekonomian warga. Lelaki sepuh itu terlihat cukup tenang, begitulah Kiai Matrawi yang selalu tabah menghadapi segala cobaan. Di sisi lain, Sukam tak menyukai sikap Kiai Matrawi yang terlalu naif. Setiap kali ia menawarkan sesuatu padanya, selalu ia tolak.

***

Darrrr... Malam yang sunyi mendadak gaduh tatkala kaca jendela rumah Kiai Matrawi pecah. Terlihat kepala kambing berlumur darah tergeletak di antara pecahan kaca. Sontak seisi rumah panik. Terutama Heni yang berteriak meminta tolong ke warga sekitar. Jarak antara rumah warga dan kediaman Kiai Matrawi yang cukup jauh membuat suara Heni tak begitu terdengar.

Melihat anak bungsunya yang histeris, cepat-cepat Kiai Matrawi menghentikan perbuatan Heni. Perempuan berambut lurus itu geram dengan sikap bapaknya, ia pun segera mengambil alu dan lesung di gudang rumah. Lesung itu pun dibunyikan bak kentungan tanpa seizin orang tuanya, cepat-cepat Kiai Matrawi dan Nyai Siti berlari ke belakang rumah menghentikan perbuatan Heni. Pertikaian pun terjadi diantara mereka.

 Lilik yang geram melihat tingkah Heni kemudian menampar adiknya itu sekeras mungkin. Percekcokan semakin meluap. Heni semakin tidak mengerti dengan keinginan keluarganya. Bagi perempuan itu, mengapa semua yang ia buat selalu salah.

“Dasar anak tak tahu diuntung! Jika bukan karena bapak, kamu sudah tidak punya keluarga,” bentak Lilik dengan suara lantang.

***

Dua hari berlalu. Ketika usai berwudhu dari kamar mandi depan rumah dan hendak shalat tahajjud, tepat dari arah belakang seseorang hendak menebas leher Kiai Matrawi.

“Inilah balasanku, Kiai!” ancam lelaki berbaju hitam.

Kiai Matrawi terkejut. Beberapa gerakannya berhasil mengelak, namun sabetan dari celurit itu lebih cepat. Bahu kanan sang kiai tertebas. Ia tersungkur mengerang kesakitan. Bajunya yang putih kian merah. Sepasang matanya yang lamur menangkap tiga orang berpakaian hitam lengkap dengan senjata tajam berjalan menuju ke arahnya.

Kedua kakinya yang bergetar dipaksa berlari. Teriakan Kiai Matrawi yang meminta tolong seolah mendadak sirna di telinga Heni yang sedari kemarin mengurungkan diri dalam kamar. Ia masih tak terima dengan ucapan Lilik dan reaksi keluarga angkatnya. Di sisi lain, Lilik dan Nyai Siti melompat dari kamar mereka. Melihat suaminya jatuh dan bersimbah darah, Nyai Siti melaung histeris. Tangis pecah. Tubuh Kiai Matrawi dipeluknya erat namun para ninja itu tidak tinggal diam. Mereka pun membantai dan tubuh Lilik diperkosa setelah diseret ke kamar.

Tak ada satu orang pun yang membantu saat pembantaian terjadi. Karena dihantui penasaran, Heni mengintip dari jendela kamar, kedua matanya terbelalak melihat kejadian nahas yang menimpa keluarganya. Tanpa berpikir panjang, Heni berlari menuju belakang rumah dan lagi-lagi ia membunyikan lesung itu sekuat tenaga. Ketiga orang misterius itu berlari menuju belakang rumah, perempuan itu masih tiada henti-hentinya membunyikan lesung tersebut sembari berteriak meminta bantuan.

Suara lesung itu terdengar ke seantero kampung dan membuat bulu kuduk warga berdiri. Tak lama, Salim beserta kawan-kawannya mendatangi rumah Kiai Matrawi. Ketiga orang misterius itu melarikan diri tanpa sempat menemukan Heni. Kiai Matrawi dan Nyai Siti terbunuh. Warga yang melihat kejadian itu segera membantu Heni dan Lilik. Tak jarang di antara mereka berbisik-bisik, mengungkit kejadian nahas yang terjadi dua puluh tahun silam.

***

Akhir tahun 1979, Kiai Matrawi dan Sukar sang mantan preman sekaligus lurah sedang disibukkan mencari-cari anggota PKI beserta simpatisannya. Setelah mendapatkan titah dari Danramil setempat, Kiai Matrawi yang menjadi tokoh masyarakat setempat sangat mengenali betul warganya. Tak hanya itu, ia pun mengenal beberapa tokoh PKI dari desa seberang maupun yang ada di kota.

Sanusi, seorang kiai yang sekaligus ketua Barisan Tani Indonesia(BTI) cabang Sumenep masuk dalam daftar pemburuan. Tersiar kabar, Kiai Sanusi sedang bersembunyi di kelurahan Tajjan tepat di rumah Lisa sepupunya. Beberapa warga sempat melihat keberadaan Kiai Sanusi namun tak ada yang berani melaporkan. Hingga akhirnya, Kiai Matrawi sendirilah yang memergoki keberadaan lelaki berjanggut kemerahan itu.

Malam pun tiba, rumah Lisa dilabrak. Benar saja istri Kiai Sanusi dan Lisa tengah beristirahat. Kiai Matrawi dan Sukar tak hanya berdua saja, ia pun bersama warga lainnya dan lima anggota ABRI bersenjata lengkap turut membantu pencarian. Mereka menyeret Lisa dan istri Kiai Sanusi namun keberadaan Kiai Sanusi tidak ditemukan. Warga mencari-cari keberadaan Kiai yang mahsyur itu di sekitar rumah sepupunya. Begitupun kiai Matrawi yang menyisir setiap ruangan di dalam rumah.

Ia memasuki gudang penyimpanan jagung di belakang rumah. Gelap. Tak ada penerangan sedikit pun. Kiai Matrawi mengambil alu untuk berjaga-jaga. Benar saja, Kiai Sanusi bersembunyi di balik tumpukan karung jagung. Jantung Kiai Sanusi berdebar kencang takala Kiai Matrawi menemukannya. Ia memohon pada Kiai Matrawi untuk tidak memberitahukan keberadaannya pada warga namun dendam di masa lalu diantara kedua Kiai itu atas perebutan tampuk kekuasaan di BTI membuat Kiai Matrawi membocori keberadaan rekan seorganisasinya dulu itu.

“Wi, tolong aku! Hentikan perbuatanmu itu.” Ucap Kiai Sanusi memelas.

Kiai Matrawi enggan mengubrisnya. Dendam di dalam hatinya masih membara. Ia berteriak, memanggil warga dan membunyikan lesung yang sedang tersandar di dinding sebagai penanda keberadaannya. Warga dengan sigap menuju gudang belakang rumah dan segera menggebuk Kiai Sanusi hingga tewas.

Tepat ketika tubuh Kiai Sanusi terkapar, tiba-tiba Kiai Matrawi menyesali perbuatannya. Bayang-bayang rupa Kiai Sanusi yang memelas menggentayangi pikirannya. Ia pun melangkah menuju ke dalam rumah Lisa, meninggalkan kerumunan. Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi dari arah kamar. Ia menghampirinya. Hati Kiai Matrawi semakin remuk ketika ia mengetahui bahwa bayi itu adalah anak dari Kiai Sanusi. Karena ia tidak tega melihat bayi itu hidup sebatang kara, ia pun hendak mengasuh bayi itu sebagai anak angkatnya yang kemudian ia beri nama, Heni Sanusi.(*)

POSTING PILIHAN

Related

Utama 7892951384592272067

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item