Tentang Kebebasan (Antara Ironi dan Harmoni)



Oleh: Ramlah Q.

Saya sengaja menggunakan judul esai Goenawan Mohamad (GM), yang tertanggal 25 Februari 1978, dalam buku Catatan Pinggir 01. Hal ini hanya sebatas ingin memahami tentang sebuah kebebasan, yang sering kali dielu-elukan; dijunjung tinggi. Padahal kebebasan bukan segala-galanya. Acapkali kita sebagai manusia, baik yang ada di desa, daerah kota, bahkan di seluruh Indonesia, serta beraga Islam atau pun tidak, merasa bahwa kebebasan mampu memberi jalan menuju sebuah penyelesaian, menuju perubahan. Perubahan yang diharapkan tentu beragam, dan tidak hanya tinggi seperti ilalang. Tidak hanya berakhir pada satu warna.

Pemaknaan terhadap kebebasan cenderung berakhir naif dan bisa jadi mengorbankan yang lain. Sekurang-kurangnya akan ada ketimpangan yang lahir tanpa permisi. Kemerdekaan setiap orang tergantung pada garis imajiner masin-masing. Asupan ilmu pengetahuan, barangkali juga menentukan ke arah mana kebabasan yang dimiliki akan dijalankan. Manusia yang sudah berhasil menemukan kebebasan pada dirinya, akan mengawali hidup dengan penuh pelepasan dan daya nalar yang tinggi. Ia dengan mudahnya berjalan cepat dan penuh perhitungan yang akurat. Benar saja, ia sudah merasa bebas, capaiannya hanya satu, ingin maju.

Kemajuan yang dirancang oleh manusia tidak cukup sebatas kelebat, karena bagi orang yang bebas, kemajuan mesti menjadi kenyataan, hengkang dari cangkangnya yang terbelakang. Bukan lagi panggung sirkus yang menyihir ribuan penonton, yang pada dasarnya terdapat kebohongan terselubung di balik tirai. Sayangnya, kebebasan, kemerdekaan yang diagungkan tidak lebih dari sekadar penerimaan upah setelah seharian penuh bekerja. Peluh yang basah, berhasil kering. Namun tidak berujung lama, ia akan mengalir lagi, bahkan dalam takaran basah yang tidak biasa. Kebebasan rupanya tidak dapat menolong. Ia hidup dalam pusarannya sendiri, dan sedikit yang membiarkan manusia terhempas dalam kubangan yang dibanggakan.

Sejenak kita renungkan, kemana arah kebebasan akan membawa kita. Kemerdekaan pada setiap individu seyogiayanya sudah tertanam sedari lahir. Ia mewujud pemaknaan pada hak-hak yang dimiliki, dan sering kali dijaga. Pelanggaran pada hak yang dimiliki, akan memangkas segala bentuk usaha untuk melerai, untuk berdamai. Sebab sekali dilanggar, sekali diinjak, aksi hantam-menghantam dilancarkan.

Padahal, kebebasan diri berkonotasi pada sifat budi luhur, begitu adiluhung. Semacam tersirat pemahaman, bahwa dengan adanya kemerdekaan pada diri, lalu melahirkan sebentuk sikap tidak adil, sepatutnya untuk dilepaskan. Artinya, mengalah demi satu kesatuan sosial kemasyarakatan. Ada tugas terpendam bagi manusia di balik kebebasan atau pun kemerdekaan yang dimiliki. Ia harus melakukan keadilan, bahkan dengan melepaskan kebebasan yang dimilikinya sekalipun.

Bagi manusia yang mengelukan kebebasan dalam bertindak, hendaknya untuk tidak beranggapan bahwa keadaan di sekitarnya juga mesti berubah secepat perputaran waktu. Perjuangan setiap individu cenderung beragam dan berangkat dari latar belakang masalah yang berbeda. Jangan lahirkan penekanan dalam perbaikan nasib dan kondisi sekitar dengan mengatakan sudah menang dari laut yang sunyi dan tidak berombak. Kita hidup dengan  ragam pertaruhan. Namun tidak boleh saling menjatuhkan.  

Dengan begitu, patut disadari dan dicermati, bahwa tak ada nasib dan kondisi sekitar yang bersih dari penderitaan, yang sepi dari konflik. Dua hal itu bagian dari hidup kita. Keakraban antar keduanya, sering kali membuat manusia salah kaprah memaknai kehadirannya. Namun meski demikian, bukan berarti manusia buntu dan macet untuk sekadar melakukan aksi perubahan, dan enggan mengatasi konflik. Kita membutuhkan kesepemahaman yang merekat dalam satu komponen utuh. Sebut saja kerja sama dan sama kerja.

Sekali lagi, kebebasan yang dimiliki manusia bukanlah kemewahan yang nikmat, ia adalah kewajiban yang dalam –begitu kira-kira kata GM. Bahkan dengan kebebasanlah kemungkinan-kemungkinan baru dapat menyurutkan persoalan yang terjadi. Setidaknya solusi bisa dicari, lebih-lebih apabila dilakukan. Kebebasan akan melahirkan alternatif-alternatif yang cenderung tidak bersifat mendiskreditkan dan memarginalkan.

Manusia boleh-boleh saja menuntut segala bentuk haknya, atas dasar kemerdekaan yang dimiliki. Namun tetap saja hak tidak mampu beriringan secara ritmis dan sewajarnya apabila dihadapkan dengan kewajiban. Jangan berkesimpulan bahwa Tuhan tidak berpihak kepada kita. Tuhan hanya menginginkan makhluknya dekat dengan-Nya, tentu dengan ragam cara. Banyak jalan menuju Tuhan. Dan kita dituntut untuk jujur. Bahkan kita dituntut untuk bijaksana.

Porsi hak dan kewajiban manusia jaraknya lumayan jauh. Dan tidak semua menyadari hal itu. Kelayakan untuk mendapatkan hak, haruslah bersitatap dengan kewajiban. Bahkan kalau bisa menekan keinginan yang ada agar tidak bersikap gegabah. Manusia sudah sepantasnya bertanya kepada dirinya sendiri terlebih dahulu agar terdapat kesadaran untuk melakukan perbaikan yang berkelanjutan.

Saat ini, segerakan untuk memilih, segerakan untuk benar-benar menyelami arti dari sebuah kebebasan. Kebebasan adalah satu hal yang rawan. Segala sisinya bisa berubah runcing, tumpul, bahkan patah-mematahkan sekalipun. Kehidupan layaknya anggota keluarga. Satu cedera, satu bengkak, dan satunya lagi patah. Jadi apa arti sebuah kebebasan jika yang diperlihatkan cenderung negatif dan berbentuk pembangkangan? Lalu tugas kita adalah melakukan arus perubahan menuju arah perbaikan, dengan penuh kesadaran dan tetap harmoni.

Mari selesaikan. Carilah kebebasan sedapat mungkin, tanpa harus melemahkan satu dan yang lain. Tidak ada kemerdekaan yang betul-betul menyelamatkan. Salam damai! Salam perempuan!  

Ramlah Q., myantri di Annuqayah Latee 1. Anggota Café Latte 52. Mahasiswa Instika. Saat ini sedang mengasuh komunitas Kajian Pinggiran bersama teman-teman “seperjuangan”.




POSTING PILIHAN

Related

Utama 8371124263827757948

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item