Keberanian Hos Tjokroaminoto, Terjun dalam Perjuangan

Oleh: Dr. Adian Husaini

Banyak tokoh besar yang dalam hidupnya dihadapkan pada pilihan berat dan dilematis. Satu sisi, ia dituntut untuk meninggalkan “zona nyaman” kehidupan. Pada saat yang sama, ia pun harus memilih terjun dalam perjuangan yang penuh tantangan dan bahkan penderitaan. Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto adalah salah satunya!

HOS Tjokroaminoto adalah pelopor pergerakan nasional yang pada tahun 1916 berhasil menyelenggarakan Kongres Nasional Sarekat Islam di Bandung. Jumlah anggota Sarekat Islam ketika itu sudah mencapai 800 ribu orang, tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Tahun 1919, jumlah anggota Sarekat Islam mencapai 2,5 juta orang. Pada tahun 1916 itulah, Tjokroaminoto sudah menyampaikan secara terbuka perlunya penduduk Hindia Belanda mendapatkan Zelfbestuur (pemerintahan sendiri). Gagasan ini sudah disampaikannya sejak tahun 1912.

Maka, tidak dapat dipungkiri, HOS Tjokroaminoto adalah pelopor nasionalisme Indonesia. Bahkan, oleh pihak Belanda, Tjokroaminoto dijuluki sebagai “Raja Jawa tak dinobatkan” (De Ongekroonde Koning van Java), atau Raja tanpa mahkota. “Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita,” kata Tjokroaminoto.

Perjalanan pendidikan Tjokroaminoto sampai ia muncul sebagai tokoh besar dalam pergerakan kemerdekaan sangat menarik untuk disimak. Buku berjudul “Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto”, karya Aji Dedi Mulawarman, memberikan informasi penting tentang masalah ini. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Ayahnya, R.M. Tjokroamiseno adalah seorang pangreh praja dengan pangkat Wedana di Kleco, Madiun. Kakeknya, Adipati Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo.

Semasa kecil ia biasa dipanggil Oemar Said. Sesuai harapan orang tuanya, Tjokroaminoto dimasukkan ke sekolah OSVIA (OpleidingsSchool Voor Inlandsche Ambtenaren), yaitu Sekolah Calon Pegawai Bumiputera di Magelang. Mereka yang tamat dari OSVIA, disiapkan menjadi pegawai pemerintah kolonial secara berjenjang, mulai jabatan magang, juru tulis, mantri polisi, pangreh praja, asisten wedana, wedana, sampai menjadi bupati.

Umur 20 tahun, Tjokroaminoto lulus OSVIA dan mulai bekerja sebagai juru tulis di Glodog Purwodadi. Tak lama kemudian, ia dinikahkan dengan R.A. Soeharsikin, yang juga anak bangsawan Jawa, wakil bupati Ponorogo, RM Mangoensoemo. Mertuanya berharap Tjokroaminoto akan meniti karir sebagai birokrat, meneruskan tradisi “priayi pangreh praja”.

Tetapi, Tjokroaminoto hanya bertahan menjadi birokrat selama tiga tahun saja. Tahun 1905, Tjokroaminoto mengundurkan diri menjadi birokrat sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya feodal. Ia mulai mempertanyakan diskriminasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap kaum pribumi. Tjokroaminoto sangat tidak puas dengan perlakuan yang diterima kaum pribumi. Sementara kaum priayi menikmati keistimewaan dari pemerintah kolonial, seperti yang ia alami dengan keluarganya.

Keputusannya untuk keluar dari jajaran birokrat kolonial membuat mertuanya tidak berkenan. Pertentangan keduanya semakin tajam. Akhirnya, Tjokroaminoto mengambil langkah nekad, dengan meninggalkan rumah mertuanya. Padahal, saat itu, istrinya sedang hamil anak pertama. Sang mertua juga mendesak putrinya agar bercerai dengan suaminya. Tapi, sang istri menolak dan memilih mendampingi Tjokroaminoto, meskipun harus hidup menderita.
Selama dua tahun (190501907), Tjokroaminoto berkelana mencari jati diri. Ia mengaji kitab ke berbagai pondok pesantren. Setelah itu, ia menjemput istrinya untuk diajak ke Semarang. Ia menikmati kebebasan, dan tidak lagi terikat dengan tradisi keluarga ambtenaar. Ia pun bekerja serabutan, termasuk menjadi kuli pelabuhan.

Dengan cara ini, Tjokroaminoto menghayati kehidupan rakyat jelata yang penuh derita. Inilah pengorbanan dan keberanian Tjokroaminoto dalam meninggalkan zona nyaman kehidupannya sebagai priayi. Ia memilih terjun langsung dalam kehidupan yang penuh tantangan bersama rakyat. Tetapi, Tjokroaminoto tidak pernah meninggalkan tradisi ilmu. Selama dalam pencarian, ia terus mengaji, membaca, dan menulis. Tahun 1907, ia berpindah ke Surabaya, untuk melanjutkan sekolah di BAS (Burgelijke Avond School), sekolah teknik sipil jurusan mesin. Lulus dari BAS tahun 1910, Tjokroaminoto muda bekerja sempat bekerja di beberapa perusahaan.

Yang membedakannya dengan banyak pekerja lain adalah keaktifannya dalam membaca dan organisasi sosial. Selain itu, Tjokroaminoto punya keahlian istimewa, yaitu menulis. Banyak tulisannya tentang kondisi rakyat yang menderita, dimuat di surat kabar “Suara Surabaya”.

Dari inilah, Tjokroaminoto dikenal sebagai pembela rakyat kecil. Ia juga terus melakukan aktivitas membaca, berdiskusi, dan menulis. Kelebihan lain dari Tjokroaminoto adalah kemampuannya melakukan kaderisasi dan orasinya yang mempesona. Salah satu kadernya adalah Soekarno, yang menyebut rumah Tjokroaminoto di jalan Paneleh Surabaya sebagai “Dapur nasionalisme”. “Aku meresapi lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur dari nasionalisme,” kata Soekarno.

Ayah Soekarno, Raden Sukemi Sasrodiharjo, sengaja menitipkan anaknya kepada Tjokroaminoto. Ketika itu Soekarno berumur 15 tahun.

Ayahnya berpesan: “Sekalipun kau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin engkau tumbuh dalam bumi Barat. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki Belanda sebagai Raja Jawa yang tidak bermahkota. Aku ingin agar kau tidak melupakan tugasmu adalah menjadi Karna kedua.”

 Soekarno sendiri menyatakan: “Pak Tjokro adalah idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, dia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunyakepadaku, dia memberikan miliknya yang berharga kepadaku.”  

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup tokoh pergerakan Islam dan nasional Indonesia. Keberaniannya meninggalkan zona nyaman dalam hidupnya telah mengantarkannya kepada “maqam” yang mulia, menjadi pejuang, pendidik, sekaligus pelopor kebangkitan pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi kita. Aamin. (Depok, 5 Desember 2021).

Sumber tulisan: www.adianhusaini.id


POSTING PILIHAN

Related

Utama 4115243998503407585

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item