Bunga-Bunga Mimpi di Taman Dalail

 


Catatan M Faizi

Seseorang berkata, “Bagaimana mungkin kamu bisa move on jika selalu mengisahkan almarhumah?”

Saya menjawab, “Supaya Anda tahu bedanya, apa itu manaqib dan apa itu berita!”

Dulu, yang saya tulis pertama kali pada esok hari wafatnya adalah berita, yaitu kabar kematian. Sesudahnya, lusa dan seterusnya hingga 39 hari berikutnya adalah kesaksian-kesaksian saya atas sejumlah peristiwa supranatural yang dialami almarhumah selama satu bulan sebelum wafat. Nah, itulah yang disebut manaqib. Berita cukup ditulis satu kali, dibaca satu kali. Kalau manaqib; ditulis satu kali, dibaca berkali-kali.

Sementara saya menulis kisah-kisah ganjil dan ajaib, di tempat lain, orang-orang justru mengalami hal yang berbeda. Ketika saya selesai menulis tentang detik-detik terakhir masa hidupnya dalam satu bulan masa keganjilan itu, semuanya saya kira sudah berakhir, ternyata tidak. Yang muncul sesudahnya adalah kisah-kisah yang lain, dari alam lain, yakni mimpi-mimpi. Dia datang ke dalam mimpi orang-orang (dan sering kali datang ke dalam mimpi saya meskipun selama kurang lebih 10 hari pertama wafat justru tidak sama sekali).

Hari demi hari, bahkan hingga kemarin, empat bulan lebih setelah wafatnya, masih ada saja orang yang melapor kepada saya perihal mimpinya, menyatakan kalau mereka bermimpi Nyai Makkiyah yang hadir seolah-olah dalam wujud yang nyata. Sebagian ada yang sekadar bermimpi bertemu tanpa bercakap-cakap (khas memimpikan orang yang sudah wafat), ada yang sekadar menyapa, tapi ada pula yang bahkan sempat berdialog panjang (beberapa kali saya alami sendiri) dengannya. Jika dicarikan indeksnya, maka Nyai Makkiyah—dalam mimpi-mimpi tersebut—umumnya selalu muncul dalam beberapa hal: shalawat atau secara khusus Dalailul Khairat, seakan-akan beliau menjadi seorang duta besar yang bertugas menjadi juru bicara hal-hal penting terkait 'tempat tinggal'-nya.

Bicara soal mimpi, kita memang harus berhati-hati. Saya menemukan statemen menakjubkan tentang ini, yaitu bahwa mimpi adalah “juz-un min-an nubuwwah” (bagian dari kenabian). Maka, seseorang yang berdusta tentang mimpi, secara tak langsung, dia berdusta atas nama Allah, seolah menyatakan bahwa Allah memperlihatkannya sesuatu yang sejatinya tidak (Mirqāt al Mafātīh dan Dalīl al Fālihīn via: postingan KH Zainur Rahman, 3/11/2021). Sebab itu, ketika saya mendengar cerita dari mimpi, saya selalu mengonfirmasi, klarifikasi, bahkan ‘cross-reference’ agar dapat dipertanggungjawabkan, sebab berdusta—lebih-lebih terkait mimpi yang dalam hal ini disebut separuh kenabian—adalah dosa besar. Nah, yang paling unik dari kisah dalam mimpi-mimpi ini; ada kalanya almarhumah hadir dalam mimpi dua atau tiga orang dalam waktu bersamaan, pada jam yang nyaris sama, dan dengan busana yang sama.

Dalam tradisi Islam, kita menemukan banyak referensi perihal mimpi, termasuk dalam urusan ‘istikharah’ untuk ‘istisyarah’. Meminta petunjuk untuk hal prinsip di dalam hidup akan tampak sangat konyol jika hanya berdasarkan mimpi jika sudut pandangnya bukan berbasis agama atau keyakinan, sebab mimpi adalah bunga tidur dan karenanya merupakan bagian dari ketaksadaran. Akan tetapi, jika ‘kenyataan di dalam mimpi’ dilihat dari sudut pandang istikharah dan/atau istisyarah, maka ia bukanlah semata-mata bunga tidur (saya menyebutnya bunga mimpi). Maka wajar jika mimpi pun dibahas secara serius, antara lain, oleh Imamut Tabiin Muhammad bin Sirin dalam “Ta’birul Ahlam” dan Abdul Ghani an-Nabulisy dalam “Ta’thirul Anam fi Ta’biril Manam” sebagaimana dikutip oleh Kiai Abdul Halim Bahwi dalam karyanya “Ensiklopedi Tafsir Mimpi”.

Ada peristiwa menarik yang saya alami, begini: Pada pertengahan 2019, almarhumah mulai keranjingan menanam bunga dan mempercantik taman. Mungkin, karena kesibukan itu, pembacaan Dalail-nya sempat tertunda-tunda (tidak istikamah setiap hari; atau menunda pembacaan hari ini ke esoknya). Hingga akhirnya, saya pun bermimpi. Di dalam tidur, saya melihat almarhumah tergopoh-gopoh mendatangi saya yang sedang ada di kamar depan (dan dia tidur di kamar belakang) lalu menyatakan, “Kak, kak… Barusan saya bermimpi Nabi. Saya ditegur. Dawuhnya, saya ‘momos’ (sangat pemalas).” Besoknya, saya ceritakan mimpi saya kepadanya. Dia lalu berkata, “Ya Allah, saya memang sering menunda-nunda pembacaan shalawat Dalail belakangan ini, terlalu asyik menata bunga-bunga.” Maka, mulai saat itu, ia kembali rajin membacanya. Saya tidak tahu, boleh jadi ia sendiri memang sudah (beberapa kali) bermimpi Rasulullah, tapi merahasiakannya (soalnya almarhumah pernah ‘keceplosan’ menyampaikan itu menjelang akhir hayatnya).

Hari-hari belakangan ini, saya pernah mengalami fase bermimpi beliau setiap malam, bahkan pernah hanya pada saat tidur sekejap (micro-sleep). Mungkin, hal itu juga disebabkan oleh fantasi saya akan sebuah taman bunga yang pernah didambakannya, di dunia, dan kini telah didapatkannya di alam yang berbeda. Di sana, beliau menjadi tukang kebun, di sebuah taman bunga tak bernama. Lalu, sayalah yang memberinya nama: Taman Dalail, sebut saja ia begitu karena mengacu kepada kebiasaan almarhumah dalam membaca shalawat gubahan Imam Abu Muhammad ibnu Sulaiman Al-Jazuli Al-Hasani tersebut.

Di dalam hati orang-orang terdekatnya, ia masih hidup. Hal itu tampak melalui kehadirannya melalui mimpi-mimpi orang yang dikehendaki. Orang-orang tidak saja sekadar bermimpi beliau dengan busana jubah (dan acapkali dengan mahkota), ada kalanya dipandu untuk melakukan sesuatu, seperti agar datang ke suatu tempat, dan sejenisnya. Di antara mereka adalah orang-orang yang belum pernah berjumpa sama sekali semasa hidupnya namun menyatakan bertemu (dalam mimpi) dengan perasaan nyata sekali. Ketika saya menanyakan ciri-ciri fisiknya, misalnya, mereka mengonfirmasi dengan benar. Dan ketika selanjutnya saya perlihatkan foto almarhumah, “Ya, benar, persis seperti itu...” jawab mereka.

Membicarakan mimpi-mimpi ini, tentu saja, berguna jika kita percaya bahwa masih ada yang tersisa ketika seseorang telah pergi untuk selamanya, entah itu ruhnya, entah itu karyanya, entah itu jejak kebaikannya. Lihat saja petak tanah yang ditempati orang yang baik. Setiap kali mereka berdoa, seperti di saat hajatan atau selamatan, sohibul hajat selalu menyelipkan doa untuk si muasal pemilik tanah dan para pendahulu si pemilik tanah. Tapi, jika tanah itu berubah menjadi… ah, sudahlah. Tanah saja didoakan, apalagi orangnya. Namun, jika kita tidak percaya lagi pada yang tersisa dari seseorang setelah wafatnya, tampaknya, daun-daun yang gugur masih lebih beruntung dari pada manusia, sebab mereka hancur lalu menjadi humus, sedangkan kita menjadi apa?

Dari pengalaman ini, saya katakan:

Wahai para suami, janganlah kalian berlaku keras terhadap para wanita, lebih-lebih kepada para istri. Karena jika begitu, setelah mati, kalian hanya akan jadi candaan murah ibu-ibu muda saat mereka ngerumpi, betapa simpel dan tidak bergunanya hidup! Sayangi mereka dengan niat menyayangi belahan jiwa. Mereka adalah madrasah sejati tempat anak-anak kalian dititipkan. Di sanalah anak-anak Anda sekalian menerima pelajaran pertama tentang kehidupan.

Sekarang, Nyai Makkiyah telah pergi, meringkus semua kecantikan, ketabahan, dan fantasi seorang suami akan profil istri yang didambakan, lalu dibawanya hingga tak tersisa. Dia hanya meninggalkan beberapa potong baju setelah yang lain dihibahkan sebelum wafat, menyisakan sedikit sekali uang karena yang lain telah didermakan dan sebagian lagi masih dipinjamkan. Tapi, ada satu yang abadi: Dia menyisakan kisah-kisah panjang kecintaannya kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw dan itu tidak pernah disampaikannya secara verbal manakala ia masih hidup, tapi justru habis-habisan dikabarkannya setelah wafat, melalui mimpi-mimpi. Seakan-akan, ia ingin menjadi salah satu duta Dalail-nya Imam Muhammad ibnu Sulaiman al-Jazuli.

Saya tahu dan sadar, dia telah pergi. Akan tetapi, mengingat pesan dan kesannya pada sahabat, jejak dan bayangnya dalam impian, ini semua rasanya meninggalkan satu kesaksian: Makkiyah tak pernah mati!

Dari akun FB M. Faizi

 

 

POSTING PILIHAN

Related

Utama 3525684851102691414

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item