· Geger Genjik Sastra Pesantren


 

Malkan Junaidi

Bentuk atau medium-ungkap utama sastra adalah bahasa. Itu sebabnya perbedaan bahasa meniscayakan perbedaan nama/ kategori. Sastra Indonesia berarti sastra dalam bahasa Indonesia. Sastra Perancis berarti sastra berbahasa Perancis. Sastra Jepang adalah sastra menggunakan bahasa Jepang. Demikian seterusnya. Makanya pula dalam ensiklopedia sastrawan Indonesia, penulis yang menghasilkan hanya karya sastra berbahasa Jawa namanya tidak tercantum. Jawa memang bagian dari Indonesia, namun tidak otomatis sastra Jawa bisa diinklusikan ke dalam sastra Indonesia. Kenapa? Sebab perbedaan bahasa berarti perbedaan aturan, kekayaan kosakata, rasa, dan pada gilirannya perbedaan acuan penilaian.

Dasar diferensiasi lain adalah sifat. Novel realis, puisi surealis, cerpen simbolis, ketiganya meniscayakan sifat/gaya yang melekat pada tulisan. Pada novel realis, cara tokoh berbicara serupa cara orang kebanyakan dengan masing latar kultural mereka bicara. Demikian pula kisahnya, betapapun hanya hasil rekaan namun jelas merupakan gambaran nyata permasalahan sosial. Pada puisi surealis, yang nyata dan khayali dijuktaposisikan penuh perhitungan, demikian presisi, seperti mimpi yang terasa tidak realis hanya ketika orang sudah bangun, penuh lompatan---tidak jarang begitu jauh---namun bukan tanpa interkoneksi. Pada cerpen simbolis, ungkapan dan citraan secara keseluruhan merupakan lambang. Jika tokohnya tikus, maka pembaca tak semestinya berpikir bahwa itu sungguh makhluk biologis bernama ilmiah Muridae, melainkan perwujudan manusia dengan sifat khas tikus, apapun itu.

Ada pula kategorisasi yang lazim kita temukan hanya pada genre atau subgenre tertentu, misal cerita misteri dan novel detektif. Apakah ada subgenre “puisi detektif”? Setahu saya tidak dan karena itu saya kira tidak diperlukan istilah-payung “sastra detektif”.

Bagaimana dengan sastra pesantren?

Sebagaimana sastra koran, sastra pesantren merupakan satu kategori yang bisa dianggap ada sekaligus tiada.

Sastra koran adalah istilah teknis untuk puisi dan cerpen yang dimuat di koran cetak. Karakteristik yang membuat sebuah cerpen disebut sastra koran adalah (1) ia dimuat di koran cetak dan (2) panjangnya, sebab keterbatasan halaman rubrik sastra di sana, jauh di bawah, misalnya, cerpen-cerpen di buku Orang-Orang Bloomington. Bagaimanapun sastra Indonesia pada dasarnya tidak peduli cerpen Anda dimuat di mana, berpanjang standar atau tidak. Asal berbahasa Indonesia ia potensial dicakup dan diberi tempat olehnya.

Sastra pesantren kurang lebih sama. Ia diidentifikasi dari (1) latar pengarangnya sebagai civitas pesantren dan (2) tipikal tendensi tulisan yang lazim diasosiasikan dengan ideologi pesantren. Bagaimanapun seluruh produk yang disebut sastra pesantren itu akan dianalisis dan dievaluasi dengan wacana kebahasaan-kesastraan bahasa yang dipakai. Sebagai contoh: jika seorang santri An-Nuqayah Guluk-Guluk menulis puisi berbahasa Arab, maka kaidah bahasa dan sastra Arablah, bukan bahasa dan sastra Madura, yang akan digunakan kritikus untuk menguliti dan membedahnya. Jika ia menulis dalam bahasa Indonesia, maka karyanya niscaya diadu dan banding-bandingkan dengan karya sastrawan Indonesia secara umum.

Perlu dicamkan, identifikasi gagasan dan pandangan sebagai bersifat nyantri meski dimungkinkan adanya namun hari ini kian problematis. Dulu pesantren mungkin subkultur yang cukup eksentrik. Tradisi di dalamnya tak ditemukan pada asrama mahasiswa. Dulu yang namanya santri identik dengan masak dan cuci baju sendiri. Santri sekarang, dengan dukungan atau bahkan instruksi dari pengurus pesantren, justru menggunakan jasa laundry dan catering. Dulu kebanyakan pesantren mungkin bisa dipandang sebagai wujud perpaduan (akulturasi dan asimilasi) ajaran Islam dan budaya lokal---belakangan asosiatif dengan komunitas nahdliyin. Sekarang bermunculan pesantren yang justru bersemangat melakukan purifikasi ajaran Islam, yang menyerang tasawuf dan cenderung terafiliasi dengan ideologi semacam Wahabi. Kontras dengan pesantren sebelumnya. Jika begini, bagaimana ideologi pesantren sebagai dasar identifikasi sastra pesantren itu hendak dirumuskan?

Problem lain: Seorang disebut sastrawan Indonesia biasanya bukan hanya karena ia menulis dalam bahasa Indonesia, melainkan juga karena ia ber-KTP Indonesia. Adapun orang asing yang berminat terhadap sastra Indonesia (atau sejarah Indonesia atau budaya Indonesia) dan menulis tentangnya dalam bahasa apapun, lazim disebut Indonesianis. Nah, bagaimana dengan orang yang tak berstatus santri atau punya riwayat pernah jadi santri namun menulis novel tentang kehidupan pesantren? Apakah novelnya disebut sastra pesantren dan penulisnya disebut pesantrenis?

Jika disebut sastra pesantren maka kasus pencatutan mungkin akan marak terjadi. Penyebabnya: ideologi kepesantrenan, seperti disinggung pada paragraf sebelumnya, tidak jelas batas pengertiannya, sedemikian hingga seorang penyokong branding sastra pesantren setelah membaca sebuah puisi berisi pujian ala qashidah Burdah boleh jadi sekonyong berseru, “Ini dia contoh sastra pesantren!” yang dengan senyum geli ditanggapi oleh santri dari pesantren seberang, “Ngawur! Inilah yang benar!” sembari menunjukkan cerpen tentang mantan gitaris band rock yang setelah bertobat menjadi alergi terhadap musik.

Ekses lebih jauh: terjemah ke dalam bahasa Indonesia dari puisi pujangga Jepang abad ke-17, juga nadzam Alfiyah ibnu Malik yang memuat kaidah tata bahasa Arab dan nadzam Aqidatul Awam yang berisi prinsip-akidah komunitas sunni di Indonesia, bisa jadi diklaim sebagai sastra pesantren. Ini tentu sangat nganu.

Pembahasan mengenai batas pengertian sastra pesantren ini bisa diperpanjang, namun yang tak kurang penting untuk diperiksa adalah: Ada apa di balik kengototan pem-branding-an sastra pesantren ini? Siapakah yang sangat berkepentingan dengan politik identitas macam itu? Benarkah semua ini cuma akal-akalan supaya sekelompok sastrawan (termasuk yang ndak paham kultur dan ragam literatur pesantren) tetap eksis, berkumpul hepi-hepi tiap akhir tahun menghabiskan sisa anggaran pada pos kebudayaan dan pariwisata?

Saya berharap mereka yang kompeten mengurus persoalan-persoalan ini dapat berpikir jernih dan mereka yang tak kompeten agar menahan diri dari menyumbang polusi opini. Jangan sampai niatan meninggikan malah berakibat meruntuhkan, niatan memajukan malah berbuah keterperosokan. Ukur dengan cermat setiap komentar, kita tidak butuh geger genjik udan kirik.

(12-09-2021)

Sumber tulisan FB Malkan Junaidi



POSTING PILIHAN

Related

Utama 473297300654652013

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item