Asmara di Anak Tangga


 

Cerpen: Ali Harsojo

Hatiku sangat berbahagia. Diklat prajabatan ini adalah pintu pertama aku akan menjadi PNS atau ASN. Aku harus tampil yang terbaik, meski hanya golongan II, namun jiwa dan semangatku membara dengan sejuta harapan.

*****

“Bapak-ibu semua, selamat datang di kawah candradimuka. Di tempat ini, semua akan digembleng. Jaga kesehatan dan ikuti semua ketentuannya,” seseorang dari petugas mengumumkan  melalui megaphone. Belakangan baru tahu, ia adalah salah satu pelatih baris-berbaris di tempat diklat itu. Suaranya lantang, perawakannya tinggi besar, kekar, tegas dan berkulit bersih. Pak Sumardi namanya, pelatih PBB yang dikenal disiplin.

Hari pertama diklat, kami semua diminta berkumpul di lapangan terbuka. Berbaris. Setiap baris dan kolom ada tanda tersendiri. Kode itu menggunakan huruf dan angka. Huruf menunjukkan urutan kolom dan angka menunjukkan baris atau shaf. Aku berada di kode B7. Berarti, ada di kolom kedua dan shaf ke-7. Kode itu digunakan hingga diklat selesai.

Hari sudah sore. Mentari tampak memega merah di ufuk barat. Suasana di ibu kota provinsi itu tampak ramai. Hiruk pikuk dan hilir mudik kendaraan di luar area tempat pelatihan, tetap memanjakan pandangan. Sementara, bayanganku menuju ke rumah. Asyika, anak semata wayangku membundari bola mataku. Kini, ia tinggal bersama neneknya, ibuku. Istriku mengembuskan napas terakhir karena pendarahan, 7 tahun lalu. Selama ini pula, aku memilih sendiri, merawat Asyika.

“Pak, mari salat magrib dulu,” sapa seorang teman diklat. Pak Untung, peserta diklat dari kabupaten Ngawi. Aku mengenalnya ketika bersama-sama menunggu giliran menyelesaikan administrasi di ruang admin. Beliau adalah pegawai administrasi di Pemda.

Memang, diklat ini bukan hanya guru sebagai peserta. Calon PNS yang bergolongan II dari 5 kabupaten berbeda. Aku berasal dari kota kecil di Madura, Sumenep.

“Ya, pak ayo,” kataku bersegera.

Setelah salat Magrib, ada acara tausiyah oleh ustaz yang ditunjuk panitia diklat. Hingga sampai waktu salat Isya’.

“Bapak-ibu, setelah ini makan malam di ruang makan yang tersedia. Di sebelah kiri mesjid ini. Lalu berkumpul di aula utama. Ada pengarahan dari wali diklat,” kata panitia mengumumkan di muka mesjid.

Setelah makan, para peserta mengenakan baju putih, celana atau bawahan hitam menuju aula. Barak peserta pria berjarak sekitar 20 meter dari barak peserta wanita. Sehingga, setiap menuju ke ruang makan dan aula, selalu melewati depan barak wanita.

“Mulai besok, kita akan gunakan kelas di lantai 3 gedung A. Sebab, lantai bawah dan lantai 2 sedang pengecatan dinding gedung,” kata pak Wardoyo. Beliau adalah wali diklat tahap 2 ini, sekaligus widiaswara juga.

“Siap, pak. Terima kasih,” jawab peserta hampir bersamaan.

 “Saya ingin, setiap kabupaten menunjuk satu orang sebagai wakil kepengurusan diklat ini. Peserta ada 120 orang,” sambung pak wali.

Tiba-tiba aku ditunjuk oleh teman-teman se-kabupatenku bersama 4 orang lainnya dari masing-masing kabupaten lainnya.

Entah aku bermimpi apa. Aku justru ditunjuk untuk menjadi ketua senat (penanggung jawab semua peserta). Sementara, empat lainnya ditunjuk sebagai ketua kelas masing-masing grup. Dibagi menjadi 4 grup atau kelas. Kelas A-D.

 “Kita bentuk pengurus pembantu agar kegiatan makin lancar,” kataku memimpin rapat berlima setelah acara pembinaan awal selesai.

 “Ya, pak. Saya usulkan ada seksi-seksi,” kata pak Dadang dari Sidoarjo.

Kami sepakat menetapkan pengurus senat. Ada sekitar 20 pengurus. Terdiri dari peserta yang tersebar merata dari 5 kabupaten.

*****

 “Segera naik ke lantai 3 menuju kelas masing-masing,” suara loudspeker menggema.

 Semua peserta mulai menaiki anak tangga. Sebagai ketua senat, aku sengaja naik paling akhir. Sambil menunggu peserta lain yang mungkin masih ada di kamar kecil. Setelah dianggap sudah naik semua, barulah aku naik ke lantai 3 menuju kelas.

 “Lho..kenapa berhenti di tangga lantai 2 bu?” tanyaku perlahan pada seorang peserta.

Tampak ia membisu. Matanya ditutup rapat. Wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar memegang pegangan anak tangga. Langkahnya gontai. Seperti tak sanggup melangkah lagi.

 “Ibu sakit?” tanyaku kembali.

Tetiba ia mengulurkan tangannya, seperti minta bantuan. Segera kuraih tangannya.

“Braakkk.!” …

Ia terjatuh menimpaku. Aku pun berusaha menahannya hingga aku terbentur dinding gedung. Kami tak bisa berkata-kata. Ia kelelahan. Aku berusaha menenangkannya dengan memosisikan ia duduk. Kuberi sebotol air mineral yang ada di rangselku.

“Saya fobia pak. Takut ketinggian. Langsung pusing,” katanya terbata-bata seraya mengucapkan terima kasih.

Kami beradu pandang. Darahku mendesir menyapu serabut sarafku. Ubun-ubunku menegang. Jantungku berdegup kencang. Pikiranku kacau. Tampak ia pun merasakan hal yang sama. Tertunduk malu dan tersipu.

“Saya Anita, dari Madiun. Sejak kecelakaan 2 tahun lalu, saya trauma ketinggian. Hingga pikiran selalu ingat peristiwa itu,” katanya memulai bicara.

Aku menarik tangannya, berdiri. Kami berjalan menaiki anak tangga menuju kelas.

Setiap hendak menuju kelas, Anita selalu menungguku. Meminta bantuan berpegangan pada rangselku dari belakang. Berjalan perlahan, dari tangga bawah hingga lantai 3. sesekali minta berhenti, karena merasa pusing.

Rutinitas itu, membuatku makin jatuh cinta. Sejak pandangan pertamaku di anak tangga itu, aku terkejut dan hati seketika berdetak, “Ia mirip Halimah, istriku”.

Hal itulah membuatkan merasa Halimah hadir kembali dalam hidupku. Semangatku kembali menggebu untuk mengikat janji dengan Anita.

“Ya mas. Saya juga ada hati. Cuma malu mengungkapkannya. Semoga diridai-Nya,” jawab Anita saat kutanya tentang maksud baikku, ingin memilikinya. Banyak kesempatanku bersamanya, terutama saat bersama menaiki setiap anak tangga.

Hari berganti hari, sangat cepat sekali. Diklat itu kulalui seperti hanya tiga hari saja. Waktu 3 minggu belum cukup aku membersamai Anita. Namun, aku tetap profesional sebagai ketua senat. Tidak boleh mengabaikan tugas-tugas yang harus kau tunaikan.

Hingga pada hari perpisahan….

“Jangan tinggalkan aku,” bisiknya padaku saat telah hendak pulang. Hatiku luluh. Bahagia, namun bersedih. Kami harus berpisah. Gemuruh jiwaku meledak-ledak. Jantungku berdebar tak karuan.

Kami berpisah setelah bus yang disewa datang menjemput. Aku melambaikan tangan dengan air mata menganaksungai. Tak sanggup melihat wajahnya di balik jendela bus itu.

Kumelangkah gontai menuju teman rombonganku. Menunggu mobil sewaan yang tak kunjung datang.

*****

Ali Harsojo, lahir pada tanggal 18 Januari 1978 di sudut kota kecil paling timur pulau Madura, Sumenep. Ia adalah alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya pada tahun 2013. Saat ini, Ia mengajar di SDN Pajagalan 2 Sumenep. Aktif dalam kegiatan literasi dan tergabung dalam beberapa komunitas literasi: Mediaguru Indonesia, Rumah Literasi Sumenep, Gladhi Kusuma Jatim, FSG Sumenep, Kata Bintang, GupenS, GLB dan Komnasdik Kabupaten Sumenep. Belajar menulis di surat kabar lokal, media online, majalah literasi dan beberapa buku antologi.

Menulis sekitar 75 buku antologi. Baik sebagai pemenang lomba maupun penulis koresponden. Buku pertamanya adalah Samudera Inspirasi di Facebook (Pustaka MediaGuru) yang diluncurkan bersama pada acara Gebyar Literasi dan Temu Penulis Nasional tanggal 20-21 Mei 2017 di Kemdikbud Jakarta. Buku solo berikutnya adalah Bedah Literasi Kelas (Catatan Literasi Pak Guru) dan Model Konstruktivistik dalam Pembelajaran Menulis Laporan dan Novel Anak: Dio Si Penggalang.

 

POSTING PILIHAN

Related

Utama 3109638332718772687

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item