Sejumput Puisi Suhartatik
Suhartatik, perempuan sederhana yang lahir di sebuah desa kecil di Pulau Madura, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Baginya menulis seperti petualangan dan meditasi paling sunyi yang mampu menemukan arti diri. Mantan wartawan DPRD dan surat kabar di Kabupaten Sumenep ini, sempat terjun ke dunia politik sebagai calon legislatif tahun 2009. Saat ini aktif sebagai penggiat di Rumah Literasi Sumenep (Rulis) sekaligus mengabdikan diri di almamaternya STKIP PGRI Sumenep.
Sejak menjadi mahasiswa ia selalu aktif mengikuti lomba tulis, baik karya ilmiah tingkat kabupaten, regional dan nasional. Pernah dinobatkan sebagai finalis lomba KTI se-Jatim (2005), Juara III LKTI se-Kab. Sumenep (2006), Juara II LKTI se-Kab. Sumenep (2007). Pada tahun 2007 karyanya masuk nominasi ke-11 dari 25 naskah terbaik dalam Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Depdiknas Jakarta, dan tahun 2008 kembali mengikuti LMKS pada Program Khusus, tahun 2010 cerpennya masuk dalam Lomba Menulis Cerpen tingkat guru SMA/MA/SMK Negeri dan Swasta seluruh Indonesia oleh Depdiknas Jakarta.
Selain pernah terbit di beberapa media, puisinya juga terkumpul dalam buku antologi bersama, seperti Nemor Kara (Antologi puisi berbahasa Madura, 2006), dan Jhimat (Disbudparpora Sumenep 2015), Akar Rumput (2016), Perempuan Laut (Antologi puisi 10 penyair perempuan Madura, 2017), dan Lelaki yang Membanting Matanya (2017). Karyanya juga terangkum dalam Kitab Pentigraf 2 “Papan Iklan di Pintu Depan dan Cerita-cerita lainnya” (2018) , Kitab pentigraf 3 “ Laron-laron Kota (2019), Kitab Pentigraf 4 “Dongeng tentang Hutan dan Negeri Hijau” (2020), dan Kitab Pentigraf edisi khusus “Seperjuta Milimeter dari Corona” (2020) diterbitkan oleh Kampung Pentigraf Indonesia.
Kesehariannya aktif melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan luaran yang diikutkan dalam kegiatan baik seminar, kongres, lokakarya yang dimuat dalam prosiding dan jurnal ilmiah nasional dan internasional.
*****
Hujan Ibu
Ibu
di tepian kerontang ladangku
wajahmu menjelma hujan
turun dari langit hatimu
Aku bergegas dan berteduh
di bawah rimbun putih rambut doamu
Kuhirup aroma melati dari kelopak matamu
hingga segala keluh dan rintihan tak lagi pilu.
Ibu
kau cakrawala di atas bumi nestapaku
sepasang matamu menjelma pijaran bintang-bintang
saat kujahit sobekan-sobekan kain jiwaku
dengan helai sarung sembahyangmu.
Ibu
aku tahu desahku adalah nyawamu
meresap menjadi bulir-bulir darah kirmizi
yang kuperas hingga tetesan kesedihan bening berkilau.
Ibu
biarkan kusesap udara nasihatmu
‘kan kujadikan ramuan penguatku mencari ilmu
izinkan aku mengubah jembatan lelahmu
sebagai sayap-sayap hingga kubisa terbang jauh
Ibu
hanya padamu aku mengadu
tentang selendangmu yang kubuat kelambu
Saronggi, 22 Desember
Hujan
Engkaulah hujan
deras bersama petir
memeluk pohon tumbang
Engkaulah hujan
sesekali rintikmu menjelma
lagu kesenduan
Saronggi, 2005
Seteguk Kopi Emak
Emak
masih jelas hitam cerita
kau baca di ujung lincak
tentang pekat kopi, aroma bumbu, apek cucian
yang menumpuk di sudut-sudut kisah
Emak
aku ingat ada jeda tak sempat dihirup
dalam seteguk hangat tuturmu
meski sudah kuseduh dan kusesap
serbuk-serbuk kisah
menyatu dalam denyut nadi.
Emak
meski garis takdirku melingkar-lingkar
menjelma api membakar kalbu
tapi pahit kopimu membuat risauku berdesau
dalam hangat seduhan doamu
Emak
lewat hitam kopimu pelan-pelan kubaca
lelehan keringatmu yang basahi tiap kata
juga airmata yang menyingkap abjad-abjad lusuh
kubasuh setumpuk peringkat,
secarik predikat dan sekepal pangkat dengan keringatmu, emak
karena kutahu, semua itu hanya sederet angka-angka
sementara serbuk-serbuk pekat kasih cintamu
kuat memikat ronta hidupku
Emak
di saat-saat seperti ini
ingin kuseduh kopi doamu
seteguk lagi
Saronggi, 22 Desember 2017
Kopi Pagi
Dalam ampas kopi kutemukan serpihan hati
kuseduh dengan ujung jariku sebelum kusajikan
dalam perjamuan hatiku dan hatimu
Kuhirup pahit tatapmu dengan bibir rinduku
hingga tak bersisa ampas di tepi bibirmu.
Sumenep, 2017
Perempuan Bertubuh Kopi
Seperti katamu, akulah pemuja kopi
meramu hitam perjumpaan dengan kopi hangat obrolan
Ceritamu berhamburan hingga ke semak-semak di tegalan
kopimu lebur di lintasan bibirku, katamu
Suaramu lebur dalam parau knalpot sepeda motor, jawabku.
Sumenep, 2016
Wanita Renta dan Perkasa
Wanita tua itu memanggul pria perkasa
dari atas bahunya, pria tua itu mengayunkan rotan
dan melecut punggung wanita yang memanggulnya.
Tar..tar..tar...
Wanita renta itu sesekali memandangi langit
memanggil angin kemudian menoleh ke arah beringin
tak perduli telapak kakinya tertusuk duri.
Pria perkasa dipanggulnya mengajak bercanda
tentang dahan beringin yang merentang jalan
tawa wanita meledak serasa terbahak
Ada burung gagak terpana, hinggap di bahu sebelahnya
wanita dan pria itu terdiam
selembar daun jatuh.
2000
Ada Cerita Saat Hujan Datang
Sambil bersandar di tepian ranjang
kunikmati irisan-irisan singkong
juga ceritamu tentang taman
ladang, dan ilalang yang digerogoti belalang.
Keheningan rebah, hanya derit ranjang
samar terdengar saat hingga ceritamu
meretaskan keringat dan basahi ladang kesunyianku
Aku pun tersenyum saat kau rangkai cerita lain
hingga aku terkesima dan menebak-nebak alur
kau hentakkan tempo penuturan
hingga menitikkan keringat kepasrahan.
Ketika ceritamu melesak ke tengah ladang
kau tak pedulikan bintik-bintik di keningku
semakin deras mengalir
“Kau terlalu sempurna untuk dicela,
lantaran engkau, aku merasa dipuja.”
Hujan mengabadikan cerita di jendela.
Kalianget, 2014
Ada Cermin di Wajahmu
Masih terbenamkah wajahku di pelupukmu
apakah kau mengantuk dalam perjumpaan
yang akan melantak?
Kurasakan kamarku di matamu
juga cermin yang menyatukan jarak
Oktober 2006
________
Puisi-puisi diatas terkumpul dalam buku kumpulan puisi "Seteguk Kopi Emak" (Penerbit Arti Bumi Intaran 2020)