Mimpiku Mimpi Ummi


Cerpen: Surahmi

Tubuhku lunglai ketika dapat berita bila ummi sedang jatuh sakit. Yang bikin pikiran kacau justru hal yang diluar dugaanku, bahwa umi terindikasi dan terpapar Covid-19. Pandanganku jadi mengabur, dan hampir saja aku jatuh bila temanku yang tak jauh dari tempat aku berdiri menangkap tubuhku.

Entah berapa lama aku merasakan ini, namun yang pasti ada sejumlah teman yang lain ada disampingku.

“Lelaki pantang menangis,” seloroh salah seorang temanku.

Aku diam dan tidak merespon kalimat itu.

“Kata siapa? Abu Bakar saja menangis kok,” timpal yang lain.

“Sudah gak usah debat masalah itu, ayo kita bantu teman kita Haidar ini. Kasihan ummiku sedang sakit.” komentar yang lain lagi.

***

“Merumuskan mimpi adalah  keharusan Haidar,” kata ummi suatu ketika seraya mengusap kepalaku saat aku berkemas untuk berangkat untuk mondok di pesantren. Aku tidak mengerti apa maksud ummi, tapi yang penting aku telah memenuhi permintaannya untuk masuk pondok pesantren.

“Dengan mimpi itu kita akan merencanakan tindakan,  dengan rencana yang baik. Kita akan membuat sebuah persiapan yang matang,” jelasnya dengan lembut.

“Dari sekarang, tulislah mimpimu, buatlah rencana dan persiapan, lakukan aksi yang tepat.” tambahnya

“Kamu ingin menjadi hafidz al-Qur’an, misal!!,” tuntun ummi mengisyaratkan harapannya terhadapku.

“Haidar recanakan kapan kamu bisa hafidz 30 juz. Nah mulai sekarang buatlah persiapan,” ummi tampaknya ingin menekanku agar menuruti yang ia maui.

Aku mengangguk meski tidak yakin akan melaksanakannya. Tapi ummi menaruh harapan besar terhadapku untuk menjadi penghafal al-Quran dan orang yang faqih agama. Seperti yang ia sering bisikkan di telingaku saat mengantarku ke sekolah, semasa aku masih duduk di sekolah dasar. Namun aku masih belum bisa memimpikan itu semua.

Tibalah hari di mana aku akan menjalani hidup di penjara suci pesantren. Aku dan beberapa orang temanku berangkat bersama orang tua masing-masing. Tak tega aku memandang umi. Wanita yang sangat kusayangi itu tak kuasa membendung air mata. Aku tahu hatinya terluka melepasku pergi. Tapi keinginan kuatnya untuk mengantarkanku menjadi penghafal dan pengamal al-Quran telah mengalahkan kehendaknya untuk terus membersamaiku. Akupun demikian, tapi sekali lagi aku belum memimpikan apa-apa selain membahagiakannya.

Membahagiakan ummi bagiku adalah dengan masuk pesantren. Tanpa tahu apa esensinya. Yang kutahu umi selalu berkata;

“Di pesantren kamu akan dibiasakan dengan amalan-amalan para calon penghuni surga nak, setiap menjelang shubuh kau akan dzikir hingga matahari naik sepenggalah, lalu kau akan dibiasakan untuk sholat sunnah dhuha. Setelah itu kamu ta’lim hingga menjelang dhuhur. Makan siang dan istirahat sejenak. Setiap  sholat akan kalian kerjakan berjemaah. Kau akan dibiasakan pula untuk sholat malam.”

Penjelasan ummi demikian panjang lebar  menjabarkan apa yang harus aku lakukan, dalam tundukku aku masih terpekur, sanggupkah aku melaksanakannya?

Aku benar-benar tak punya mimpi. Maka apa yang harus kutulis. Biarlah kujalani dulu sebagian fase hidup ini.  Semoga umi bahagia dan tidak kecewa akan keadaanku.

*****

Pemberitaan kematian akibat paparan Covid-19 membuat hatiku risau. Bayangan wajah sendu ummi dan tatapan penuh harapnya kepadaku menggelayut. Mimpinya yang selalu ia ngiangkan di telingaku sebelum tidurku, sebelum melepasku ke sekolah, sepulang sekolah, sebelum dan selepas mengaji, di awal dan di akhir surat-surat yang ia tulis bersama uang jajan yang ia kirimkan. Air mataku kembali merembah.

“Ya Allah izinkan aku melihatnya kembali,” bisikku dengan nafas panjang. “Akan kuhadiahkan hafalanku kepadanya dan kepada abi,”

“Ya Allah, angkatlah penyakitnya. Kuatkan ia. Mimpinya akan menjadi mimpiku. Harapannya adalah harapanku kini. Kan kuukir dan kupatri sebagaimana pesannya,” doa-doa ini tak henti-henti kupanjatkan kepada Maha Pencipta.

“Ya Rabb kabulkanlah doaku, amiin,”. Sajadah itu telah sedikit basah karena air mata. Akhir permohonanku kepada yang Maha Memberi dan Menyembuhkan penyakit.

***

Kutatap tulisan indah di dinding kamarku, yang tak lain adalah tulisanku sendiri.

“Aku Hafidz al-Quran 2 tahun lagi,” batinku.

Artinya kuliah di Kairo Mesir masih tiga tahun lagi. Terlintas sebentuk wajah dengan senyum sumringah dalam benakku. Itulah wajah ummiku.

Terbirit-birit aku menuju musholla tempat taklim santriwan Ponpes Darul Muttaqiin. Ustadz Musthofa sudah menunggu di sana sebelum akhirnya memulai talqin.

“Lawan terberat ada dalam diri  kita, itulah rasa malas. Rasa yang datang dari hawa nafsu. Yang menghambat seseorang untuk maju adalah rasa malas orang itu sendiri,” jabarannya memahamkan pada kami, para santri dalam sebuah majlis taklim.

 “Perang melawannya adalah perang abadi kita hingga mati. Dan kita tidak boleh kalah,” tegasnya ustadz. Baru kali inikah ustadz menyampaikannya? Ataukah sudah berkali-kali namun hari ini aku baru memahaminya? Entahlah..

Teringat ketika suatu waktu abi menasihatiku tentang sebuah kerja keras. “Tidak ada jalan instan menuju kesuksesan. Yang ada adalah jalan  panjang, berliku penuh dengan rintangan. Lewati meski suatu saat kau lelah, terjatuh dan sakit karenanya.” Pesannya suatu ketika

“Keringat, air mata, bahkan darah mungkin akan kau korbankan. Tetap lewati. Karena ada kebahagiaan di ujung jalan menanti.” Abi menutup pembicaraan saat berpamitan kepadaku di pintu pesantren.

“Al-Quran adalah pedoman hidup.” suara ustadz kembali membangunkan lamunanku.

“Kita harus mengamalkan isinya, dan untuk mengamalkan kita harus menghafalnya. Setiap huruf yang terbaca adalah satu kebaikan. Setiap kebaikan diganjar sepuluh pahala. Bagi yang kesulitan membacanya diganjar dengan dua kebaikan artinya 20 kebaikan.”

“Seluruh isinya adalah kebaikan, berlama-lama menghafal al-Quran, berarti berlama-lama dalam kebaikan.”

“Niat kita menghafalkannya akan mengantarkan kita sebagai Hafidz sekalipun kita wafat sebelum tamat menghafalkannya.” Ustad meneguk air minumnya.

“Selama kita menghafalkannya maka dipastikan mata, telinga, dan lisan kita tidak sedang dalam maksiat kepada Allah SWT.” Kata demi  kata ustadz kusimak dengan seksama. Sebagai aksi untuk mewujudkan mimpiku menjadi hafidz al-Quran. Sebelum memulai bersungguh-sungguh menghafalnya dengan benar.

***

14 hari berlalu sungguh penantian yang mendebarkan. Umi, tak lepas lisan ini mendoakan kesehatanmu. 14 kaca pula al-Quran telah berhasil kuhafalkan. Semoga mutqin dan mampu mengamalkannya.

Di akhir pekan pada saat jam telpon orangtua aku mengantri  paling awal. Agak lama menunggu sesuai jam giliranku. Tapi aku sudah tidak sabar.

“Haidar,”. Ustadz memanggilku. Aku gugup untuk mendekat.

Namun tak kuduga peristiwanya jadi beda, dan kegugupanku tiba-tiba sirna ketika suara salam menyapaku.

 “Assalamu’alaikum Haidar,” suara yang tak asing lagi di telingaku. Suara ummi.

Aku segera bersujud di hadapannya.

“Haidar, kau tidak apa-apa nak?”. Suara ummi menderaskan air mataku. Aku ingin sekali memeluknya.

Sumenep, 4 Februari 2021

*****

Surahmi, Lahir di Sumenep, 10 November 1983. Seorang ibu dari lima orang anak ini memiliki hobi membaca semenjak di bangku kelas 4 SD, dan mendengarkan dongeng dari ibunda sebelum tidur. Menamatkan D2 PGSD di UNESA tahun 2005 dan S1 PGSD di UNIPA Surabaya tahun 2015. Saat ini ia tercatat sebagai guru di SDN Marengan Daya I sejak tahun 2021.
Tulisan opininya tampil di beberapa media online sejak tahun 2020, ada pula artikel dan cerpen. Dengan nama pena Rahmi Ummu Atsilah.



POSTING PILIHAN

Related

Utama 7043442478585749170

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item