Pentingnya Seminar Jurnalistik di Tengah Pandemi

dr Lois Owien dan  dr Tirta beberapa hari ini sempat berseteru pro - kotra adanya Civid 19

Maimun Main

Berbicara angka statistik kematian karena covid sepertinya sudah tema lama. Ibarat calon sarjana ketika mau mengajukan judul ke kantor prodi, kalau tema lama sepertinya hati sudah yakin pasti di tolak.

Sama dengan waktu sekarang, tema ini sepertinya sudah tema usang ditelinga kita masing-masing. Tak ada yang minat untuk membaca informasi ini lagi. Semua orang sepertinya sudah banyak referensi soal covid dan turunannya.

Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Dua kubu tetap saling berusaha mempertahankan argumentasinya masing-masing. Tak ada yang mau mengalah dan tak ada yang mau di salahkan. Semuanya mengaku paling benar dan pantas untuk dipercayai apa yang dikatakannya.

Yang pro tetap meng-Up grade informasi yang bisa mendukung atas apa yang di anggapnya benar, demikian pula dengan yang kontra, sama-sama memiliki data untuk di jadikan taming ketika mereka berdiskusi soal tema pandemi ini. ujung-ujungnya kita musuhan karena perbedaan dalam menyikapi adanya pandemi covid 19.

Kini justru yang terjadi di daerah kita adalah angka kematian semakin tinggi. informasi orang meninggal hampir setiap saat kita di sodorinya. Tak ayal hal ini merubah haluan keprcayaan orang pada adanya virus corona semakin tinggi. Yang semula ogah dengan yang namanya corona kini mulai peduli dengan hal terkait virus yang katanya dr China ini.

Kok bisa di ketahui bahwa mereka-yang semula apatis dengan adanya Corona- sudah pada percaya dengan virus Corona? Sulit untuk menemukan mereka mengatakan secara "billisan" bahwa mereka percaya adanya Covid 19. Kita cari bukti kepercayaan mereka terkait hal ini dengan cara lain. Yaitu lihat gaya hidup mereka.

Mereka yang semula lantang bersuara bahwa Covid adalah rekayasa pemerintah dalam hal ini bapak Presiden Jokowi, kini sudah mulai mau menerapkan salah satu dari 5M (Memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, membatasi mobilitas dan menjauhi kerumunan). Yaitu Memakai Masker. Mereka sudah mulai ada rasa takut dalam hatinya bahwa Covid benar adanya.

Bagimana tidak percaya, wong di salah satu desa tetangga tahlilan di start dari mulai pagi. Ada yang di mulai dari ba'da Ashar. Ini menunjukkan bahwa angka kematian benar-benar melonjak drastis. Pembacaan surat yaasin terdengar waktu larut malam dengan diiringi suara TOA: Innalillahi wainna ilaihi rajiun.

Bahkan masyarakat awam yang semula apatis dengan Covid kini mulai masuk ke fase paranoid. Mereka sudah tidak mau memandikan mayat yang meninggal. Nyatanya, si mayit tidak di vonis terpapar covid oleh team medis. Mereka sudah takut duluan sebelum jelas duduk perkaranya. Ini reaksi berlebihan ketika suatu masalah tidak dikembalikan pada asas keilmuan.

Sekarang ini pandemi. Seluruh dunia mengalami hal yang sama dengan negeri +62. Jadi jangan suka melakukan tindakan bodoh dengan mengatakan bahwa pandemi ini adalah rekayasa pemerintah. Tak ada satupun negara yang menginkan adanya pandemi. lebih-lebih negara berkembang seperti negara kita ini, sebab dampaknya adalah luar biasa. Tentu sektor ekonomi yang menjadi sasaran yang paling parah merasakan efek dari pandemi ini.

Mereka yang menjadi korban "politik edentitas" masih saja memiliki alibi untuk menyerang pemerintah. ada yang mengatakan bahwa "problem-solving" yang diberikan pemerintah justru ambivalensi. Kok semudah itu mengambil qadhiyah? Sepertinya qadhiyah ini memiliki kecacatan di premes mayor dan minornya.

Coba kita analogikan ke rumah tangga kita sendiri. Apakah kita sudah benar menjadi pemimpin dalam rumah tangga kita? Yang jumlah kekuasaannya cukup sangat terbatas. Ada anak dan istri. Terkadang kita sebagai pemimpin di ranah domestik ini saja masih belum becus mengurusnya. Istri kita menjadi istri yang suka bergaya glamor, fashionable sampai level isrof, berpelesiran ke tempat yang penuh maksiat dan hal buruk lainnya.

Apalagi satu kepala Jokowi diminta untuk memikirkan satu negara yang jumlah penduduknya 271,34 Juta (Sumber; https://money.kompas.com), apakah ini bukan perkara berat? Bagaimana jika misalnya kita jadi beliau? Jadi marilah kita menjadi bijak dalam menyikapi persoalan ini. Karena penyebab kekeruhan di masyarakat, justru dari sikap kita yang keliru ini. Kita justru menjadi influencer yang buruk bagi negeri, untuk mencapai cita-cita agung negara: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Ketikan ini tidak bermaksud menggurui apalagi berharap agar tak ada kritik kepada pemerintah, sama sekali tidak. Ketikan ini juga bukan sebagai representasi corong pemerintah agar pemerintah mendapat simpati dan empati dari bangsa ini. Sebab kritik yang konstruktif sangat signifikan adanya demi kemajuan suatu negara.

Ketikan ini untuk meminta kesadaran semua pihak agar sama-sama bergandeng tangan untuk menghadapi pandemi ini. Problem ini butuh keseriusan dan kersama yang baik dari semua lini masyarakat. Program pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus akan sia-sia jika tanpa kersama yang baik dari kita semua.

Menurut hemat saya, negeri ini memang bukan hanya terdampak pandemi yang bernama Corona, tapi ada pandemi yang justru lebih parah dan sudah lama menimpa bangsa ini. yaitu pandemi buta literasi. Pandemi yang satu ini sulit sekali penyembuhannya. tidak hanya butuh satu atau dua kali vaksinasi. Long time for it. Harus berkali-kali untuk bisa membawa keluar bangsa ini dari pandemi buta literasi.

Apa dampaknya dari terpaparnya virus buta literasi? Jawabannya adalah Kita dengan mudah menerima informasi yang masih belum jelas kebenarannya. Ini bermula dari tidak adanya ilmu yang dimiliki terkait cara mencari dan menyeleksi informasi yang benar. Akhirnya, semua berita yang ada, dinggap sudah benar. Andai mereka mau menyisihkan waktunya untuk sedikit belajar ilmu jurnalistik di bagian muqaddimah-nya saja, maka insya Allah realitas kemusykilan ini tidak akan terjadi.

Misalnya kabar aktual yang terjadi di masyarakat kita adalah "fenomina" drone. Bahwa saat ini ada drone yang menyasar para ulama' atau para kiai. Untuk apa drone itu? Untuk menyebarkan virus atau covid. Kesimpulannya langsung instan: Makanya banyak kiai yang meninggal.

Kalau misalnya masih mau di perdalam lagi dari fenomina drone ini berujung ke China dengan Komunisme-nya. Contoh, kok bisa ulama' yang menjadi sasaran dari drone ini? Itu misi China untuk membunuh para kiai agar tak ada islam lagi di negera Indonesia. Negara Indonesia akan menganut idologi komunisme. Sadiskan??

Andai mereka ini bisa diajak kursus jurnalistik satu hari saja, dengan teori 5W1H, insyaAllah mereka tidak akan dengan mudah di bohongi dengan kabar super hoax ini. Sayang negeri +62 ini memang amat sangat rendah dlam konteks literasinya, sehingga fakta ini berkorelasi dengan sikap apatis untuk mengkroscek berita yang di dengarnya.

Fenomina terakhir dr covid 19 adalah adanya ijtihad yang "nyeleneh" yang dalam hal ini aktor inteletualnya adalah Dokter Lois Owie. Menurut Owien, kasus pasien meninggal yang bukan diakibatkan oleh virus, itu disebabkan oleh interaksi antar obat yang dikonsumsi para pasien Covid-19 selama menjalani perawatan. Saya dalam hal ini setuju dengan guru saya yang mengatakan, bahwa kita sudah diajarkan dalam diskursus turats bahwa kita harus mengikuti jumhur. Kalau dalam fiqh Jumhur ulama' sedangkan dalam medis kita mengikuti jumhur dokter.

Semoga ketikan ini bisa menjadi "oase" ditengah hiruk-pikuk yang terjadi dimasyarakat terkait isu dan kebenaran dari corona. Keep smile always!!!



POSTING PILIHAN

Related

Utama 3722398276088293071

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item