Melihat Problematika di Tengah Covid-19 dan Evaluasi Penguasa

 


Oleh: Hanafi

Covid 19 adalah Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Dampak akibat virus yang hebat ini mampu menghancurkan pelbagai sektor di sejumlah negara termasuk salah satunya Indonesia. Sejak akhir tahun 2019 virus Covid-19 yang diawali sumber penyebarannya dari China kemudian masuk ke Indonesia membuat tatanan pelbagai sektor di bangsa Indonesia menjadi lemah akibat kebrutalan dampak dari virus Covid-19.

Sektor ekonomi, pendidikan, hukum, moralitas apalagi kesehatan dan lain sebagainya mampu membuat bangsa Indonesia kocar-kacir yang dihadapkan dengan ujian yang sangat besar ini. Dimulai dari sektor ekonomi, ketika aktifitas pergerakan masyarakat dibatasi banyak mata pencaharian mereka yang kehilangan. Lanjut, ke sektor pendidikan, banyak anak-anak Indonesia terputus sekolahnya, seperti dilansir dari Kompas.com, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut, jumlah anak putus sekolah cukup tinggi selama pandemi Covid-19 berlangsung.

Selain itu sektor produk hukum yang sering kontroversial seperti Omnibus Law yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia terutama arus mahasiswa sebagai kaum intelektual melakukan aksi penolakan “Tolak Omnibus Law” kemaren 2020 meski di tengah pandemi dalam rangka memperjuangkan hak-hak kaum buruh yang dinilai ditindas oleh penguasa oligarki di lingkaran presiden. Apalagi pengesahan Omnibus Law dilakukan ketika bangsa Indonesia berjuang melawan pandemi demi menyelamatkan ribuan nyawa yang meninggal akibat kebrutalan virus Covid-19 yang tidak pandang bulu itu.

Yang terbaru-baru ini seperti isu kisruh soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diindikasi semata untuk mendepak beberapa pegawai KPK senior serta tes pertanyaan-pertanyaan yang dinilai kontras buat calon pegawai, misalnya lebih pilih mana Al-Qur’an atau Pancasila, pas pacaran ngapain saja?, beserta pertanyaan-pertanyaan lain yang menurut penulis irasional. Tentu data sebagian kecil yang disebutkan oleh penulis cukup menjadi koreksi sejauh mana representatif kualitas kepemimpinan bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden, K.H. Ma’ruf Amin berhasil menjawab hiruk pikuk persoalan tersebut.

Hampir 2 tahun bangsa Indonesia dihiasi oleh penyakit mematikan Covid-19 yang setiap hari selalu memakan korban. Dilansir dari Kompas.com berdasarkan data milik pemerintah hingga sabtu Juli 2021 terjadi penambahan kasus Covid-19 sebanyak 35.094 dalam 24 jam terkahir. Dengan demikian, jumlah pasien yang terjangkit Covid-19 kini berjumlah 2.491.006 orang terhitung dari maret 2020. Sementara pasien yang meninggal mencapai 65.2457 orang dan pasien yang sembuh berjumlah 2.052.109 orang.

Dengan upadate data tersebut, maka kasus aktif Covid-19 di Indonesia kini ada 373.440 orang. Sementara jika dibandingkan dengan negara lain, kasus harian Covid-19 di Indonesia terbesar ketiga setelah Brazil dan India. Kasus yang besar tersebut menjadi tantangan besar bagi negara dibawah kepemimpinan Jokowi dan Ma’ruf amin untuk keluar dari zona mematikan virus Covid-19. Dengan kebijakan tangan Jokowi dan Ma’ruf serta para kabinet-nya, disanalah rakyat Indonesia sangat berharap besar. Sebab kata tokoh Peter F. Drucker bahwa, “Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai. Kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya”.

Artinya menurut hemat penulis dalam menangani pandemi yang multi krisis ini dibutuhkan penanganan yang efektif dalam menjawab dampak nyata akibat Covid-19 dengan kerja prioritas dan sangat ekstra. Jangan sampai di tengah multi krisis dalam menangani Covid-19 terdapat beberapa kelompok oligarki yang memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meraup keuntungan sehingga framingnya adalah negara berbisnis dengan masyarakat.

Tentu berbagai ikhtiar yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam menangani krisis pandemi yang semakin memuncak hingga hari ini. Seperti yang dilansir dari Kompas.com, salah satu ikhtiar pemerintah yaitu upaya vaksinisasi terhadap masyarakat sebagai penguat kekebalan tubuh yang didatangkan dari beberapa negara seperti China, Amerika Serikat, Inggris, maupun Jerman dengan berbagai jenis vaksin yang sudah memakan anggaran APBN kurang lebih 54,44 triliun.

Selain itu upaya Perberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk Jawa-Bali, melarang sama sekali resepsi pernikahan, maupun terdapat beberapa banyak mobilitas dari masyarakat semakin diketatkan oleh pemerintah. Namun sebagai negara demokrasi meskipun disaat upaya pemeritah fokus menangani Covid-19 bukan berarti masyarakat lepas kontrol memberikan masukan maupun kritik terhadap pemerintah.

Mengingat secara faktual di lapangan perkembangan kasus Covid-19 hingga akhir-akhir ini semakin memuncak. Tentu ada yang tidak beres dari negara ini entah itu oknum pemerintahannya maupun masyarakatnya sendiri di dalamnya dalam menangani Covid-19. Mengingat melihat beberapa negara seperti China, negara-negara Eropa, bahkan negara asia tenggara lainnya seperti Brunei Darussalam berhasil keluar dari krisis kesehatan akibat Covid-19. Mengingat kabar berita duka setiap hari selalu menggema di telinga masyarakat tentang berita meninggal akibat kasus Covid-19, belum lagi kasus yang terkonfirmasi positif, maupun mereka yang meninggal Non-Covid-19, dan lain-lain.

Selain itu masyarakat semakin tertekan secara psikologis terutama masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah karena kebutuhan ekonomi melalui mata pencaharian mereka berkurang bahkan terputus akibat kebijakan PPKM Darurat sehingga ada narasi yang berseliweran lebih baik “takut tidak makan” ketimbang takut kepada Covid-19. Implikasinya adalah masyarakat akan tetap melanggar protokol kesehatan (prokes) sekalipun pemerintah memberlakukan PPKM jika tidak diimbangi jaminan kebutuhan hidup buat mereka, meskipun itu sulit rasanya mengingat hutang negeri mengalami peningkatan.

Selain itu kepercayaan publik semakin menurun disaat pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat agar masyarakat berdiam diri di rumah namun disisi lain Tenaga Kerja Asing (TKA) masuk melalui Sulawesi Selatan seperti yang dilansir di Kompas.com dengan alasan ada proyek nasional strategis. Sehingga hal ini kembali menimbulkan perdebatan di publik terutama di media sosial karena hari ini zaman semakin canggih yang membuat masyarakat lebih mengkonsumsi narasi di media sosial. Lagi-lagi implikasinya adalah terhadap psikomotorik atau perilaku mereka di lapangan karena disisi lain dinilai kontras dengan kebijakan pemerintah.

Belum lagi kritik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) mengkritik Jokowi dengan julukan “The King of Lip Service” karena ucapan presiden dianggap tidak sesuai dengan realita di lapangan yang kemudian menjadi viral di media sosial namun bukan malah dijawab dengan solutif dan konstrukif oleh pemerintah malah BEM UI lebih di bungkam aspirasinya menyusul seperti diawali pemanggilan Rektorat UI dengan alasan pembinaan,

Padahal negara Indonesia adalah negara demokrasi dan kritikan BEM UI tertuju terhadap kebijakan Jokowi bukan secara personalnya dan bentuk kritikan BEM UI hanyalah suatu kreatifitas mereka dalam menyuarakan aspirasinya. Meski akhirnya Jokowi menjawab melalui channel youtubenya namun penulis menilai jawaban Presiden tidak substansif karena tidak menjawab inti sari yang dimaksud oleh BEM UI.

Selain itu ulah serangan buzzer terhadap Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra yang menyerang pribadinya dan menyebar berita hoaxs sehingga hal tersebut penulis yakini semakin membuat  demokrasi semakin parasit di Indonesia berkembang. Tidak ayal kata Rokcy Gerung menurut laporan Economist Intelligence Unit (EUI) indeks demokrasi Indonesia menurun.

Belum lagi juga berita di lapangan yang yang berseliweran setelah disuntik vaksin namun ada beberapa orang yang mengalami sakit bahkan meninggal dunia sehingga kepercayaan publik semakin menurun. Apalagi isu yang juga beredar di lapangan seperti memperpanjang Sim, STNK, Melamar Kerja, dan lain-lain diatensikan wajib memiliki sertifikat vaksin sementara disisi lain kontras dengan sebagian besar kepercayaan masyarakat hari ini.

Untuk itulah dalam menjawab tantangan tersebut perlu melihat dan adanya evaluasi maupun intropeksi berjemaah oleh para penguasa di bawah pemerintah Jokowi dan K.H Ma’ruf Amin terutama kaum oligarki dilingkaran kekuasaan presiden agar tidak menjadikan Covid-19 ini sebagai momentum meraup keuntungan sehingga kepercayaan publik tumbuh kembali dalam bergotong royong bahu membahu membantu pemerintah dalam mempercepat penanganan Covid-19.

Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang efektif dan sangat pro terhadap rakyat, serta peran hingga sosialisasi pemerintah dalam menangani Covid-19 seperti Satgas Covid-19, aparat keamanan dan menggandeng tokoh agama maupun tokoh masyarakat sangat penting untuk diakselerasikan maupun dikonsolidasikan demi membangun kembali kepercayaan publik yang semakin menurun.

Jangan sampai virus Covid-19 yang semakin meningkat ini membuat pejabat negara Indonesia rakus dan memanfaatkan kondisi pandemi dengan membangun bisnis mereka maupun mengkapitalkan masyarakat dengan kepentingan syahwat mereka atau kelompok mereka. Untuk itulah masyarakat bersama pemerintah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisakan sehingga bersama-sama saling bahu membahu dengan bangkit membangun sikap totalitas dan optimis untuk melawan Covid-19.

Hanafi, mahasiswaa IAIN Madura, Jurusan : Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial, No Wa : 085806973533






POSTING PILIHAN

Related

Utama 6237739706216238216

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item