Mengenal (Lagi) Sastra


Oleh Much. Khoiri

Judul tulisan ini sengaja saya pilih untuk mengajak mahasiswa saya kelas Introduction to Literature (3 sks) yang saya ampu untuk mengenal kembali apa itu sastra. Mengapa? Saya yakin mereka telah mengenal sastra sewaktu masih bersekolah di tingkat SMP atau SMA—dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, amat mungkin, dalam rentang waktu itu hingga memasuki perguruan tinggi, mereka tidak mendapatkan exposure karya sastra—akibatnya mereka seakan melupakannya.

Sekarang saya mengajak mereka untuk mengenalnya kembali—setidaknya menyegarkan lagi ingatan dan pemahaman mereka tentang sastra dan seluk-beluknya. Ini penting sebab matakuliah ini merupakan pengantar untuk sastra, matakuliah pembuka pintu bagi pembelajaran sastra secara lanjut di program studi Sastra Inggris, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Maka, konsep sastra perlu dipahami dengan bahasa yang sama.

Baiklah, guna memahami sastra, mari kita gunakan akal sehat (common sense) saja: Perlu dijawab siapakah yang mengkreasikan sastra? Apakah tentang hidup dan pengalaman manusia? Apakah sastra mengandung estetika, sekaligus memberikan tawaran pelajaran hidup? Dari wujudnya, apakah sastra itu karya tertulis saja ataukah juga karya tak tertulis alias lisan?

Tentu saja, sastra itu dikreasikan oleh manusia yang ahli di bidang sastra, yang materi dasarnya diambil dari hidup dan pengalaman manusia. Karena hidup dan pengalaman manusia hampir tak berbatas, maka materi untuk sastra sangat melimpah—bergantung pada kepekaan si pencipta (karya) sastra itu dalam berkreativitas. Wujudnya, ada karya sastra tertulis, ada pula karya sastra lisan (oral literature)—yang memiliki estetika tertentu, sebab bahasa sastra bukan hanya denotative melainkan juga konotatif.

Novel Olenka (Budi Darma), Sajak Ladang Jagung (Taufiq Ismail), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (Emha Ainun Nadjid) adalah contoh kecil karya sastra tertulis—sebagaimana kitab epos Mahabharata dan Ramayana (C. Rajagopalachari). Sementara itu, cerita-cerita rakyat (folktales) atau tembang-tembang Jawa seperti Macapat adalah contoh karya sastra lisan—meski akhirnya toh diabadikan dalam bentuk tulisan.

Singkat kata, sastra merupakan ‘abstraksi hidup dan pengalaman manusia yang dikreasikan dalam bentuk-bentuk estetik—baik tertulis maupun lisan—sehingga pembaca memperoleh kesenangan dan sekaligus pemahaman tentang makna hidup.’ Sebagai sebuah abstraksi, sastra memilik jarak dengan fakta yang sebenarnya, dan imajinasilah yang sangat dibutuhkan untuk membuat sastra benar-benar menjadi sastra.

Jadi sastra itu bukan semata fakta mentah tentang hidup dan pengalaman manusia, sebab jika demikian, ia sejatinya adalah berita atau sejarah. Sastra itu dikreasikan berdasarkan fakta hidup dan pengalaman manusia, ditambah imajinasi si pencipta sastra. Jadi, sastra bukan seratus persen fakta dan bukan seratus persen imajinasi, melainkan gabungan dari keduanya dengan prosentase tertentu.

Sekarang, memang adakah sastra yang tidak benar-benar sastra? Ini masalah kualitas karya sastra dipandang dari kacamata ahli sastra—sama dengan kualitas lukisan dilihat dari kacamata ahli lukisan. Itu patokannya. Tentu, di mata mereka, ada karya sastra yang benar-benar sastra (interpretive literature), namun ada juga sastra yang bukan benar-benar sastra (escape literature).

Escape literature atau sastra pelarian (ada juga yang menyebutnya sastra main-main) adalah karya sastra yang diciptakan untuk membawa pembaca lari dari hidup yang nyata dan memberikan kesenangan atau hiduran semata, biasanya dengan cerita atau tema yang mudah diikuti dan yang menyenangkan dibaca. Bisa saja diksi-diksinya indah berbunga-bunga, namun tidak ada isinya. Sastra pelarian hanya memuaskan pembaca dalam tempo sesaat.

Kita telah berkenalan dengan karya sastra pelarian jika kita membaca novel Twilight (Stephanie Myer), 50 Shades of Grey (E.I. James), The Colour of Outer Space (H.P. Lovecraft), Exit Here (Jason Meyers), dan The Notebook (Nicholas Sparks). Dalam konteks Indonesia, novel serial Lupus (Hilman Hariwijaya) dianggap sebagai karya sastra pelarian, karya yang digilai remaja Indonesia di masanya.

Sementara itu, interpretive literature (ada juga yang menyebutnya sastra serius) adalah sastra yang dicipktakan pengarang untuk membawa pembaca masuk lebih dalam ke dalam dunia nyata dan memprovokasi pikiran, bahkan memperluas kesadaran kita tentang hidup. Sastra jenis ini menawarkan pemahaman tentang hidup sehingga manusia menjadi lebih bijak. Diksi-diksi yang digunakan membawa makna-mana yang dalam, sehingga membuat pembaca merenung dan memetik hikmahnya. Kepuasan terletak pada keindahan makna, bukan keindangan diksi semata.

Contoh interpretive literature adalah A Thousand Splendid Suns (Khalid Hosseini), Fahrenheit 451 (Jay Bradbury), Heart of Darkness (Joseph Conrad), The Color Purple (Alice Walker), The Stranger (Albert Camus), dan sebagainya. Kita juga bisa mengenal karya interpretif atau karya serius seperti Merahnya Merah (Iwan Simatupang), Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), Orang-Orang Bloomington (Budi Darma), Balada Orang-Orang Tercinta (WS Rendra), Opera Kecoa (Riantiarno), dan masih banyak lagi.

Sekali lagi, pemerian semacam itu berdasarkan kacamata ahli sastra, yakni mereka yang merupakan pembaca berpengalaman (experienced reader) dan sekaligus menguasai ilmu sastra dan kritik sastra. Mereka menilai kualitas karya sastra juga berdasarkan kaidah-kaidah sastra yang pakem—meski kemampuan intuitif mereka pastilah dilibatkan. Jadi, bagi pembaca yang kurang berpengalaman seyogianya menerima adanya dikotomi yang mungkin kaku dalam menilai kualitas karya sastra. Jika ingin peka dalam menilai, ya silakan banyak membaca karya sastra.

Pertanyaannya, apakah dikotomi sastra pelarian dan sastra interpretif (serius) itu berlaku untuk semua genre-genre sastra (literary genres)? Genre-genre sastra hanyalah urusan bentuk yang mewadahi gagasan—dan kualitas gagasanlah yang lebih banyak menentukan pelarian atau interpretifnya karya sastra. Jadi, dikotomi itu berlaku untuk genre-genre utama dalam sastra: prosa/fiksi, puisi, dan drama. Kita akan membahas genre-genre ini secara terpisah.[diangkat dari: https://muchkhoiri.com/2021/02/mengenal-lagi-sastra/]


POSTING PILIHAN

Related

Utama 5687680349040822667

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item