Menyelami Kedung Buaya Dekat Tilas Majapahit Awal
Berburu ‘Buaya Putih’ di Pesisir Jawa Timur (4)


Catatan blusukan dan  ramban: Mashuri Alhamdulillah

Di Desa Kedung Bocok, Kecamatan Tarik, Sidoarjo, Jawa Timur, bertebaran situs-situs kuno. Selama ini, yang kondang adalah sebuah situs kuno di Dusun Kedung Klinter. Situs tersebut terkait dengan babad alas Majapahit awal, dianggap sebagai bagian dari Situs Medowo di Desa Gampingrowo, yang sepelemparan batu dari Kedung Bocok.

Penemuan situs itu bertumpu pada frase ‘alas wong Trik” yang termaktub dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi, sebagai cikal bakal Raden Wijaya membangun kekuatan untuk kembali ke pusar kekuasaan. Kalangan arkeolog menyebutnya sebagai Klaster Klinter. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa kawasan Desa Kedung Bocok santer dengan mitos Buaya Putih. Nah, ini dia!

Desa Kedung Bocok adalah gabungan dari enam dusun, yaitu Ngasem, Kedung Bocok Wetan, Kedung Bocok Kulon, Kedung Bocok Lor, Kedung Klinter, dan Kedung Ploso. Awalnya, begitu blusukan, saya pun plonga-plongo karena beberapa warga mengaku tidak tahu menahu situs kuno di sana. Bahkan, sebuah suara dari warga setempat yang dituakan mengatakan bahwa bahwa di Desa Kedung Bocok tidak ada situs kuno atau candi.

“Tetapi terdapat beberapa tempat yang menarik,” tegas lelaki yang karib disapa Pak Pri, yang nggedabrusnya layak dipercaya.

Ternyata, tempat-tempat itu mengandung situs kuno yang asolole. Dengan berbekal beberapa lembar khasanah lama, tradisi cangkeman, dan toponim, saya pun blusukan ke Desa Kedung Bocok. Alhasil dari sanalah saya dapat menarik benang simpul sementara bahwa desa ini sarat dengan situs kuno yang tidak mungkin dipisahkan dari Situs Medowo, yang saya yakini bukan sekadar pemukiman Majapahit pertama, tetapi Kraton Majapahit pertama sebelum hijrah ke Trowulan pada masa Tribuwana Tunggadewi, pasca Jayanegara, karena kraton ini cemar oleh pemberontakan Kuti.

Hal ihwal Kedung Bocok, mari kita gali satu persatu. Nama lain Kedung Bocok Kulon adalah Kedung Bocok Santren. Berdasarkan tradisi tutur setempat diyakini, di kawasan itu dulu sempat berdiri sebuah pesantren kuno, yang hilang ditelan waktu. Hal itu dibuktikan dengan adanya sebuah makam keramat di kawasan itu, yang sudah ada sejak zaman dulu, tetapi tidak diketahui namanya. Belakangan nama itu ‘ditemukan’ dan diberi ‘nama’ dengan nama Makam Makdum Sarpin. Juru kuncinya bernama K.A., yang diyakini masih keturunan sesepuh yang berada di makam itu.

Yeah, makam Makdum Sarpin merupakan makam lama yang ‘belum’ bernama kemudian diberi nama. Berdasarkan pembacaan fenomena mutakhir yang dipadu kitab-kitab lawas berjenis primbon, pemberian nama pada situs kuno merupakan kecenderungan di beberapa tempat, bahkan di antaranya banyak yang tak berupa makam tetapi hanya situs dari zaman kuno (Hindu-Buda), tetapi kemudian dibentuk makam. Hal yang sejenis dan fenomenal adalah keberadaan makam Syekh Subakir yang dibuat di situs Desa Watutulis, Prambon, dan makam Mbah Donoloyo di situs calon batu prasasti di Desa Gampingrowo, Tarik.

Dalam jagat mitos Jawa, Makdum Sarpin diyakini sebagai golongan wali pertama di Jawa, sebagaimana Syekh Subakir, karena namanya sering disebut dalam mantra-mantra sinkretisme Jawa-Islam. Namanya mashur dalam primbon-primbon Jawa.

Sementara itu, situs Klinter berada di Dusun Kedung Klinter. Lokasinya di dekat makam desa. Di sini pernah ditemukan benda-benda purbakala yang diduga kuat merupakan peninggalan Majapahit awal, sebagaimana yang sudah saya sebutkan di awal. Selanjutnya, dilakukan penggalian oleh tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta dan termasuk kawasan Situs Medowo, Desa Gampingrowo, dengan nama Kluster Klinter.

Sayangnya, situs yang dimaksud kini sulit ditemukan tilasnya. Tempat yang sudah digali sudah kembali seperti sedia kala, sebelum digali. Namun, sebuah perkembangan baru menyebut adanya temuan situs baru di Klinter. Sementara itu, nama klinter tidak ditemui dalam bahasa Jawa Kuno, tetapi dalam kamus bahasa Jawa berarti sebagai tempat yang berulang-ulang didatangi.

Lalu di mana habitat buaya putih? Hmmm. Kira-kira di kawasan Kalimati. Perlu diketahui, lingkungan Desa Kedung Bocok memang berada di simpang Kali Brantas yang menjadi Kalimas menuju Surabaya dan Kali Porong yang menuju Porong Sidoarjo. Dulu, terdapat sebuah cabang kali atau anak-anak sungai, tetapi seiring dengan perkembangan zaman anak kali itu mati dan meninggalkan tilas nama kedung. Kini, kawasannya disebut Kalimati.

Di Kalimati inilah terdapat begitu banyak kedung, yang airnya menggenang, meskipun letaknya di pojok atau mati. Tak heran, tradisi tutur menyebutkan, karena berlokasi di pojok, sehingga nama desa disebut dengan Kedung Bocok. Dengan demikian, kini cerita tutur inilah yang diyakini sebagai asal-usul desa, yakni kedung yang terletak di pojok atau buncit.

“Di beberapa kedung, yang masih tersisa, diyakini dihuni buaya putih. Pada malam Jumat Legi atau Jumat Kliwon, buaya putih itu akan muncul di permukaan. Dengan catatan orang bersangkutan melakukan pemancingan,” tutur Pak Pri.

Hop! Maaf, Saya tidak mampu mengulik lebih jauh ihwal pemancingan buaya putih. Mendengarnya saja bikin merinding dangdut. Sesama buaya dilarang saling bergoyang. Ehm! Saya cuma masih penasaran kenapa kedung-kedung desa itu kuyup dengan mitos buaya putih.

Alhasil, saya kemudian menelusuri toponim Kedung Bocok ke beberapa kamus, terutama kamus Jawa Kuno. Kedung Bocok terdiri atas dua kata Jawa Kuno, yaitu Kedung, yang berarti lubuk atau bagian sungai yang dalam. Adapun Bocok tidak ada dalam Jawa kuno. Yang ada adalah ‘Bocokok’. Dimungkinkan, seiring dengan laju waktu Bocokok mengalami semacam perubahan bunyi bahasa, entah itu asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi atau monoftongisasi sehingga menjadi Bocok, yang ternyata itu berasal dari nama jenis buaya (kuno).

Dengan melihat fenomena, tradisi cangkeman dan keyakinan yang masih hidup di kalangan warga, diduga kuat, kedung itu dulu dihuni banyak buaya jenis bocokok, sehingga disebut dengan Kedung Bocok, alias kedung buaya. Dengan demikian, jika toponim Kedung Bocok berasal dari kedung dan pojok, kiranya kurang tepat dan kurang mengena pada titik rangsang.

Sidokepung, 2021

Sumber: Akun FB Mashuri Alhamdulillah





POSTING PILIHAN

Related

Utama 3178676427505789572

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item