Hutan Belantara Adalah Buku Terbuka
- Belajar Tanpa Sekolah (2)



Catatan Henri Nurcahyo

Anggapan tentang hutan selama ini dikesankan sebagai daerah yang angker, menakutkan, dan banyak binatang buas yang siap menerkam manusia. Karena itu hutan juga dijadikan lokasi pembuangan orang-orang hukuman atau orang jahat. Meski pada saat yang sama hutan juga menjadi lokasi menyepi para pendeta untuk menjauhi kehidupan duniawi. Segala sesuatu yang amburadul (tidak tertata rapi) lantas diidentikkan dengan hutan. Padahal, sesungguhnya hutan belantara adalah buku terbuka. Bukan hanya sebuah buku melainkan perpustakaan dengan ratusan atau bahkan ribuan buku.

Saya tidak bermaksud menulis secara ilmiah perihal deskripsi hutan belantara, namun hanya mengudar pengalaman pribadi ketika saya bersentuhan dan mencoba mengakrabi hutan sebagai sebuah buku yang terbuka. Ketika berada di dalam hutan, saya mencoba membaca isi buku tersebut. Ada yang langsung saya pahami isinya, ada yang masih berupa dugaan, dan banyak hal-hal yang tidak langsung saya pahami. Ibarat perpustakaan, ada buku-buku dengan berbagai aksara dan bahasa yang tidak semuanya dapat dikenali. Proses mengakrabi hutan belantara itulah yang saya maksudkan dengan “belajar tanpa sekolah.”

Sekitar tahun 1989 – 1990, ketika saya mulai bekerja di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, Trawas Mojokerto, ada rombongan anak-anak sekolah dari Surabaya. Mereka rerata adalah anak-anak orang kaya, pinter-pinter dan kritis. Kebetulan sayalah yang mendampingi mereka sebagai pemandu. Dalam bayangan anak-anak itu, juga semua pengunjung, bahwa PPLH adalah tempatnya orang pinter yang menguasai lingkungan hidup. Karena itu, mereka sudah menyiapkan buku notes dan pulpen untuk mencatat apa saja yang diterangkan oleh pemandu.

Mereka saya ajak jalan-jalan di hamparan lahan seluas tiga hektar meski tidak semua sudut dijelajahi. Maklum, waktu itu lahan masih kelihatan sekali bekas tegalan, nyaris tidak banyak tanaman, kecuali perdu. Pohon-pohon besar yang tersisa adalah Randu, yang menyebarkan kapuknya kemana-mana ketika buahnya sudah kering.

“Ini namanya tanaman apa Pak,” tanya salah satu anak sambil menunjuk sebuah tanaman perdu.

“Tidak tahu,” jawab saya.

Seorang anak lain menunjuk sebuah pohon agak besar dan mengajukan pertanyaan yang sama. Jawaban saya juga sama. “Tidak tahu”. Jalan-jalan lagi, dan kembali lagi muncul pertanyaan yang sama dan jawaban saya juga masih sama saja. “Tidak tahu.” Padahal mereka siap mencatat jawaban yang akan saya katakan.

Lama-lama mereka protes. Dasar anak kota, pinter dan kritis.

“Bapak ini gimana. Ditanya bolak-balik kok jawabnya tidak tahu.”
“Lho, kalau saya jawab pertanyaanmu untuk apa?”
“Ya dicatat Pak”
“Kalau sudah dicatat?”
“Ya biar kita ngerti. Oo ini namanya pohon ini.”
“Kalau sudah ngerti, buat apa coba?”
Mereka bingung. Saling berbicara pelan dengan temannya. Lantas saya katakan:
“Saya bukan guru. Ini bukan sekolah. Di sini tidak ada ujian.”
“Trus, kita di sini ngapain Pak?”

Saya tidak menjawab, melainkan mengajak mereka untuk membagi kelompok, dan mengajak mereka berjalan-jalan di hutan kecil. Saya berikan tugas. Masing-masing kelompok harus ada ketuanya, ada yang bagian mencatat, dan semua anggota memberikan masukan apa saja yang perlu dicatat.

“Nah catatlah apa yang kamu lihat, kamu rasakan, kamu ingin tanyakan, atau yang ingin kamu komentari, selama kamu jalan-jalan di hutan. Nanti setiap kelompok menceritakan pengalamannya masing-masing yaa.”

Begitulah, mereka lantas asyik menikmati menelusuri jalan setapak di tepi sungai kecil menuju hutan. Sebagian malah memilih berjalan di dalam sungai dangkal yang berair jernih itu. Saya hanya mengawal dari belakang para kurcaci itu asyik melakukan pengamatan bak peneliti kecil. Perjalanan tidak jauh, hanya masuk hutan sebentar, keluar lagi ke hutan jati, melewati jalan raya, dan kembali naik ke lokasi semula.

Setelah istirahat dan makan siang, mereka lantas berunding menyusun presentasi. Beginilah kira-kira apa yang disampaikannya:

  • Ada sungai yang sangat jernih airnya. Kok bisa ya? Bening sekali. Dingin.
  • Ada binatang-binatang kecil menempel di batu dalam sungai. Seperti keong kecil banget.
  • Ada binatang yang bisa berjalan di atas air. Namanya apa?
  • Lho, kok ada pohon yang buahnya menempel di batang. Bukannya buah itu menggantung di dahan tinggi.
  • Ada tanaman yang merambati pohon besar, daunnya lebar-lebar, kok enak ya dia manjat. Yang dipanjati lho diam saja.
  • Tapi itu ada tanaman yang bertengger di dahan pohon besar. Bagus banget bunganya.
  • Eh aku tadi melompati batang pohon besar yang roboh. Kayunya sudah lapuk. Banyak jamurnya.
  • Lho, masuk hutan jati kok suasananya beda ya? Gak seperti hutan sebelumnya.
  • Di hutan jati gak banyak tanaman kecil. Banyak sampah daun-daun.
  • Dan sebagainya dan seterusnya.

Sebetulnya banyak sekali catatan mereka. Ketika kelompok yang satu menceritakan, kelompok yang lain melengkapi, malah ada yang membantah. Terjadilah perdebatan seru yang membuat saya tersenyum.

Eh ada juga seorang anak yang nyeletuk: “Sekarang giliran Bapak yang menjawab.”

Saya katakan, kalian sudah mendapatkan banyak sekali catatan tentang hutan. Mengapa masih meminta saya untuk menjawab? Apa yang kalian catat dan sampaikan itu adalah bahan-bahan penting yang suatu ketika bisa kalian ketahui apa namanya, apa manfaatnya, mengapa begini, mengapa begitu, bagaimana bisa terjadi dan sebagainya. Tidak perlu dijawab sekarang karena tugas kita hari ini adalah mengumpulkan pertanyaan dan pernyataan sebanyak-banyaknya.

Bahwasanya bertanya itu penting. Bahkan sangat penting. Ketika kita memasuki hutan namun sama sekali tidak mendapatkan pertanyaan, maka sesungguhnya kita tidak mendapatkan apa-apa. Seperti orang membaca buku tebal dengan asyik, selesai membaca, maka lupalah semua yang sudah dibacanya. Padahal dengan membaca buku akan melahirkan banyak pertanyaan yang bisa ditemukan jawabannya di buku itu, atau juga tetap menjadi pertanyaan yang mendorong kita untuk menemukan jawabannya di buku lainnya.

Bahwasanya mengetahui nama sesuatu itu memang penting. Tetapi kalau hanya tahu nama saja, lantas buat apa? Cobalah tengok daftar nama yang ada di hape kita. Ada sejumlah nama yang ternyata kita tidak tahu sama sekali dia siapa? Kenal dimana. Sudah ada fotonya sekalipun masih tidak menjamin bahwa kita benar-benar kenal dengan nama (dan foto) orang itu.

Sebaliknya, kalau misalnya kita kecopetan di sebuah keramaian. Ketika kita lapor polisi, kita tidak akan ditanya siapa nama pencopetnya. Tetapi lokasi kejadiannya dimana, jam berapa hilangnya, isi dompetnya apa saja, dan sebagainya. Namanya siapa, tidak penting bagi polisi, itu nanti saja.

Ini pengalaman pribadi, di terminal Bungurasih (saya kira juga di terminal lainnya) kalau ada orang kecopetan, bisa dilacak siapa yang melakukannya. Caranya, dimana lokasi persis kejadiannya dan jam berapa. Nah dari data ini bisa diprakirakan kelompok pencopet mana yang melakukannya. Sebab biasanya diantara para pencopet sudah memiliki wilayah kerjanya sendiri-sendiri. Juga jam kerjanya. Mereka biasanya juga kost di kawasan terminal itu juga. Nah bagi warga setempat, tinggal datangi saja ke tempat mereka tinggal, dan katakan: “Tolong kembalikan dompet atas nama si A, dia temanku.” Selesai.

Lantas, apa hubungannya dengan hutan? Yang saya ingin katakan adalah, bahwa dalam hidup ini banyak sekali hal-hal yang tidak kita ketahui namanya, tetapi kita bisa mengenal sifat-sifatnya, lokasinya, kondisi lingkungannya dan hal-hal terkait dengan objek tersebut. Ketika semuanya sudah kita pahami, maka soal nama tidak terlalu penting. Itu bisa apa saja. Itulah sebabnya nama suatu tanaman bisa berbeda-beda di tiap daerah dan juga antarnegara. Toh tanamannya itu-itu juga. Makanya supaya tidak salah identifikasi, dibuatlah nama latinnya. (sumber: akun FB Hendri Nurcahyo)

Bersambung ....




POSTING PILIHAN

Related

Utama 595331933816939411

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item