Asal-Usul “Padas Bajul” Sungai Keting di Jember
Berburu ‘Buaya Putih’ di Pesisir Jawa Timur (5-tamat)


Catatan ramban: Mashuri Alhamdulillah

Banyak sungai dan perairan di Jawa dipenuhi dengan keyakinan terhadap mitos buaya, terutama buaya putih. Yang paling kondang adalah kisah asal-usul aksara Jawa dengan tokoh utama Aji Saka. Konon, ketika pendatang dari Jambudwipa itu berhasil menyingkirkan Dewata Cengkar, penguasa aseli Jawa yang doyan ngudap daging manusia, ke Laut Selatan, Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih.

Sebagaimana nggedabrus yang sudah-sudah, mitos buaya putih tersebar di beberapa kawasan perairan di pedalaman dan pesisir utara Jawa Timur. Ternyata, selain di kawasan tersebut, keyakinan serupa juga berlaku untuk beberapa sungai yang bermuara di pesisir selatan. Salah satunya adalah Sungai Keting, di Desa Keting, Kecamatan Jombang, Jember.

Namun, terdapat fenomena berbeda di Sungai Keting, yang lain dibanding sungai-sungai lain yang dikangkangi keyakinan tentang mitos buaya. Di sana terdapat semacam ‘perwujudan’-nya berupa batu yang menyerupai buaya, yang disebut “Padas Bajul”. Kisahnya yang berupa legenda sudah turun-temurun ditularkan sebagai cerita cangkeman dari bibir ke bibir, eh dari mulut ke mulut.

Sungai Keting termasuk kategori sungai sedang apabila dibandingkan dengan sungai-sungai besar di Jawa. Meski demikian, air yang menjadi sumber kehidupannya tidak dapat disepelekan dan berasal dari dua aliran sungai. Sungai Jatiroto, sungai di wilayah Djember dan sungai Bondoyudo yang mengalir dari Lumadjang, menyatu di Sungai Keting. Dinamakannya sungai tersebut dengan nama Keting, tentu ada anggapan dulu sungai itu merupakan habitat ikan jenis keting, sejenis ikan lele yang memiliki ‘patil’ di pangkal kepalanya. Ikan ini bermarga Mystus dan tersebar di perairan air tawar di di Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Sementara itu, ihwal legenda Padas Bajul juga terkait dengan dua sungai yang mengalirkan airnya ke Sungai Keting. Sahdan, pada masa itu, Sungai Bondoyudo dikuasai oleh seekor buaya putih, sedang Sungai Jatiroto dikuasai seekor ular sakti, yang berukuran tubuh sangat besar. Kedua hewan yang hidup dari zaman purwacarita itu memiliki keinginan untuk mengabdi pada penguasa Laut Selatan. Penguasa laut tersebut menyatakan siapa yang datang lebih dulu menghadapnya, dialah yang bakal diterima.

Ada pula versi yang menyatakan bahwa kedua hewan tersebut ingin menjadi ikan. Dengan sebuah kesepakatan, mereka berdua berlomba menuju Laut Selatan, karena siapa yang lebih dulu sampai, dialah yang menang, alias pantas menjadi pembantu utama penguasa Laut Selatan. Menurut versi satunya, dialah yang bakal menjadi ikan.

Perlombaan pun dimulai dari pertemuan sungai Bondoyudo dan sungai Jatiroto, yang mengalir ke Laut Kidul. Alkisah, perlombaan itu mengakibatkan perubahan iklim dan alam yang dahsyat. Banjir terjadi di mana-mana. Awan gelap memayungi angkasa. Kilat menyambar-nyambar. Pemenangnya ternyata adalah ular sakti. Akhirnya, ular itulah yang menjadi pendamping utama penguasa Laut Kidul, dan kerap disapa dengan Blorong.

Adapun buaya putih tetap menjadi penguasa sungai dan tetap di wilayah daratan. Ia baru bisa menjadi pendamping penguasa laut dengan jalan tapa yang panjang. Karena waktu itu, ia baru sampai di sungai Keting, ia pun bertapa di sana sampai tubuhnya membatu. Diyakini, meski menjadi batu dan disebut Padas Bajul, tetapi ia masih bergerak ke Laut Selatan dengan merayap sangat pelan. Namanya juga mitos, tentu sedikit banyak memang mengkhianati logos.

Namun, versi lain menyebutkan secara berbeda, meskipun muaranya sama, yaitu Padas Bajul itu perlahan-lahan menuju Laut Selatan. Menurut versi ini, antara buaya dan ular itu sama-sama gagal. Begitu sampai Laut Selatan, ular tidak langsung menjadi ikan, tetapi dikutuk menjadi batu karena menyalahi kodrat sebagai ular. Hal yang sama juga berlaku untuk Buaya. Meskipun belum sampai di laut dan baru sampai di Desa Keting, ia disumpahi menjadi batu. Hingga kini, buaya tersebut masih belum menerima kekalahannya dari ular. Meskipun sudah berwujud batu, ia diyakini masih ‘hidup’ dan terus bergerak mengikuti arus ke Laut Selatan, meski sangat lambat.

Begitulah legenda asal-usul Padas Bajul. Wujud buaya yang membatu itu hingga kini masih dapat ditemui di tengah Sungai Keting. Berupa batu cadas di tengah arus yang sekilas tekstur dan bentuknya mirip dengan buaya dengan ukuran yang cukup besar. Disebut Padas Bajul, berasal dari padanan bahasa Jawa, yaitu padas berarti lapisan tanah yang keras, dan membatu, sedangkan dan bajul berarti buaya.

Mlaku-mlaku nang pesisir Watu Ulo
Lagi arep dirayu tiba’e dipek wong liyo

Demikianlah. Mudah-mudahan nggedabrus yang lain segera tersambung dengan ikatan yang lebih semlohai.

Sidokepung, 2021

Sumber: FB Mashuri Alhamdulillah




POSTING PILIHAN

Related

Utama 2361592683340340317

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item