Revolusi Industri: Menguak Pertarungan Global dan Lokal



Bintu Assyatthie*

Suatu hari, saya pernah disuguhkan pertanyaan lewat sebuah cerita oleh salah satu guru, saat saya sowan ke rumahnya. Ceritanya cukup menarik, singkatnya saya sampaikan di awal tulisan sini. “Nak, di dalam diri saya, tentu juga di dalam diri semua orang, sedang terjadi tertempuran dahsyat antara dua srigala, satu srigala hitam dan satunya srigala putih. Srigala hitam mewakili kemarahan, kesombongan, kedengkian, keegoisan dan lain-lain, sedangkan srigala putih mewakili kelembutan, kesabaran, cinta kasih, kedamaian dan seterusnya. Dari pertempuran tersebut, menurutmu srigala mana yang akan menang?” Pertanyaan sederhana tapi butuh kerja akal untuk mencari alasan dari jawaban yang akan saya pilih. Tanpa pikir panjang, saya menjawab “Srigala putih, karena kebaikan pada akhirnya akan selalu menang”. Guru saya menggelengkan kepala. Karena hanya ada dua pilihan, berarti srigala hitam yang menang dengan dalih kejahatan bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan kemenangan. Sang guru masih menggelengkan kepala.

Beberapa menit kemudian, setelah menghela nafas, guru saya menjawab “Yang akan menang adalah srigala yang senantiasa kau beri makan”.  Jawaban dari pertanyaan sederhana itu cukup membuat hati saya tersentuh. Saya jadi berpikir tentang revolusi industri 4.0 yang sering didengungkan sebagai bagian dari kemajuan zaman, ditambah lagi dengan sikap apatis sebagian besar masyarakat terhadap nilai-nilai lokal demi mencapai suatu kepuasan yang bersifat material. Lalu, jika dikaitkan dengan cerita di atas, srigala mana yang berhasil memenangkan pertarungan ini?   

Revolusi Industri dan Kemenangan Srigala Hitam

Di kampung tempat tinggal saya, pada mulanya bisa dibilang primitif jika dibandingkan dengan kampung-kampung sekitarnya. Namun, dinamika kehidupan secara evolutif, mau tidak mau, pasti menunjukkan progres dari keadaan sebelumnya. Hal itu diawali dengan masuknya lampu listrik sekitar tahun 2003, itupun masih belum normal, kemudian diikuti dengan kemajuan alat-alat teknologi yang saat ini sudah menyebar luas hingga seantero alam. Beberapa media sosial begitu sangat digandrungi oleh masyarakat dan menjadi tempat nongkrong paling nikmat sebagai aktualisasi dari kecenderungannya dalam melayani srigala hitam. Sehingga tidak heran jika srigala hitam lebih berperan aktif dalam mengatur gerak langkah masing-masing individu yang semakin menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai lokal sebagai identitas bangsa.

Pada perkembangan selanjutnya dapat dilihat dari masuknya beberapa investor asing yang berhasil mempengaruhi masyarakat Totale (nama kampung saya) dengan rupiah yang nominalnya cukup besar. Masyarakat tak juga mampu melihat persoalan ini dari berbagai sudut pandang. Beberapa tanah mereka rela disewakan untuk dijadikan lahan industri dengan membangun tambak udang yang saat ini sudah hampir memenuhi pesisir pantai Totale. Tanah pesisir yang seharusnya ditanami jagung, kacang dan biji-bijian yang bisa dikonsumsi secara turun terumun dari generasi ke generasi, kini telah berubah menjadi tambak udang yang semakin menyempitkan lahan pertanian. Bukan hanya itu, ekosistem laut pelan-pelan juga mengalami kerusakan yang merugikan para nelayan dengan menjadikan lautan sebagai salah satu lahan mencari nafkah.

Revolusi industri 4.0 telah merasuk pada semua dimensi kehidupan. Hal ini, memberikan concern yang cukup serius dari beberapa pihak terutama yang memiliki kepedulian dalam menjaga dan memelihara kearifan lokal. Kemajuan dari segi teknologi memang diakui telah berhasil merubah dunia yang semakin memperjelas nilai pragmatis dalam kehidupan sosial pada setiap aspeknya. Silaturrahim bisa dicukupkan dengan via telepon, whatsApp, facebook dan berbagai media sosial lainnya, tanpa bertemu, berjabat tangan lalu ngobrol dalam satu atap sebagai upaya menjalin dan mempererat ukhuwah islamiyah. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan belajar mengajar yang saat ini sudah serba online. Perkembangan teknologi semakin memperluas ruang untuk mencerdaskan intelektual anak bangsa dengan melupakan aspek lainnya, yaitu aspek emosional dan spiritual.

Seorang filosof mengatakan “Perjalanan paling jauh sepanjang kehidupan manusia adalah perjalanan antara akal dan hati”. Dua potensi besar (akal dan hati) hendaknya mendapat sentuhan secara seimbang agar dapat melahirkan sikap luhur sebagai generasi bangsa yang membanggakan. Bukan sebaliknya, justru menjadi generasi yang keberadaannya semakin menambah persoalan dan tentunya sangat memprihatinkan. Karena kecerdasan akal yang tidak diimbangi dengan kecerdasan hati, tidak akan mampu menjangkau eksistensinya sebagai manusia. Ada sebuah pepatah “Betapa mudah menjadi sarjana, tetapi betapa sulit untuk jadi manusia”. Hal ini berarti ada banyak kualitas yang bergantung pada kepribadian dan nilai seseorang (Murthadha Muthahhari, 2005: 26).

Pendidikan yang diakui sebagai ruh kehidupan sepanjang masa,  mengarahkan anak didiknya pada kebutuhan pasar yang setiap tahunnya melahirkan lulusan (pelajar, sarjana, magister, doktor maupun profesor) yang kurang aktif berperan dalam menyikap problematika sosial yang semakin rumit. Dalam aktivitasnya, ada jarak pemisah antara pendidikan dengan kehidupan sosial yang seharusnya saling melengkapi. Di era globalisasi kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan bagaimana mengaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis (Mansour Fakih, 2001: xii).

Di sinilah, think global act local memiliki peran penting agar kita dapat memesrai setiap keadaan dengan tetap berpegang teguh pada kearifan lokal. Srigala putih sepertinya perlu dikasih nutrisi agar global community (masyarakat global) dengan local wisdom (kearifan lokal) dapat bersanding mesra di tengah hiruk pikuk dunia yang terus meningkatkan persentase problematika dalam kehidupan sosial.


Srigala Putih: Think Global Act Local

Kemenangan srigala hitam menjadi persoalan yang bersifat global karena menyangkut semua aspek kehidupan. Kesenjangan dalam sektor ekonomi, sosial, politik dan pendidikan menunjukkan bahwa keberadaan srigala putih benar-benar sangat dibutuhkan. Kehidupan global yang tidak bisa dihindari pengaruh positif dan negatifnya, bisa disikapi secara kritis dengan menjadikan karakteristik bangsa ini sebagai pegangan hidup. Hal ini barangkali memiliki titik korelasi dengan kaidah ushul fiqh yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita, yaitu “al-muhāfadlatu ‘alā al-qadīmi al-shālihi wa al-akhdzu bi al-jadīdi al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Kaidah tersebut agaknya mengandung makna yang tidak jauh beda dengan ungkapan think global act local.

Berpikir global merupakan upaya yang hendaknya dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi setiap persoalan. Orang yang biasa berpikir secara global, ia akan terbiasa memahami suatu keadaan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Karena, sebelum keadaan itu hadir di hadapannya pasti ada insiden yang perlu ditelusuri agar tidak terperangkap dalam remang-remang kapitalisme yang secara evolutif maupun revolutif telah mengikis nilai-nilai lokal masyarakat setempat. Ketika darurat agraria melanda negeri ini, maka think global-nya ialah mempelajari keadaan isu-isu pertanian pada negara-negara lain dengan maksud mengambil hikmah secara arif dan bijaksana. Begitupun pada dimensi kehidupan yang lain, seperti sosial budaya, ekonomi, politik maupun pendidikan hendaknya mengerahkan kerja akal untuk menganalisis secara global melalui alat-alat teknologi agar dapat memetik ibrah dengan tegas dan cerdas.  

Sikap-sikap seperti itulah yang semestinya tetap dijaga sebagai upaya melestarikan kearifan lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang menjadi ciri khas bangsa kita, Indonesia. Namun, kira-kira siapa atau pihak mana yang paling berperan dalam melahirkan generasi yang memiliki kemampuan think global act local ini? Ketika globalisasi telah menjamah seluruh kehidupan manusia, lalu sisi kehidupan yang mana yang seharusnya bertanggung jawab dalam menciptakan generasi gemilang yang mampu berpikir global dan berindak lokal? Zamroni menegaskan, pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan global community. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan ialah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global dengan cara meningkatkan kesadaran bahwa kita dapat memahami keadaan dengan baik, apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat dan isu-isu global (Zamroni, 2000: 90-91).

Kesadaran yang dimaksud oleh Zamroni adalah wajah lain dari srigala putih yang senantiasa memberikan energi positif dalam mengembalikan eksistensi pendidikan sebagaimana mestinya. Think global act local menjadi jalan terjal yang harus ditempuh untuk menetralisir krisis demi krisis yang melanda bangsa ini. Namun, pertarungan dua srigala tersebut masih terus berlangsung bahkan dari hari ke hari akan bertambah sengit dari pada sebelumnya dan hari ini. Lalu, srigala mana yang akan kita menangkan? Wallahu a’lam!  


* Penulis adalah perempuan pesisir yang memiliki nama asli Dawiyatun, sekarang aktif ngedosen di IAIN Madura.
 
 


POSTING PILIHAN

Related

Utama 8541076311170068241

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item