Celoteh Budaya, D. Zawawi Imron
Tasyakuran Empat Tahun Rulis
![]() |
Pak De saat diajak selfie bersama aktivis Rulis |
Salah satu yang memberikan pencerahan pada acara Tasyakuran 4 Tahun Rumah Literasi Sumenep (Rulis), di pendopo Atas Taman, Pajagalan Sumenep, Minggu (15/11/20), yakni ketika budayawan D. Zawawi Imron “berceloteh” tentang puisi yang berjudul “Mengekalkan Puisi pada Kopi”
Pak De, demikian panggilan dekatnya, mengurai tentang filosofi “mengekalkan puisi pada kopi” dengan cara lugas dan sederhana beliau berkisah. “Bukan kopi pada puisi,” katanya.
Sebabnya, tak ada minum puisi. Puisi selalu melahirkan penyair yang dapat memaknai setiap momentum kehidupan. “Mengekalkan Puisi pada Kopi.” Merupakan salah satu buku yang ditulisnya dan akan diluncurkan Januari 2021 itu disusul dua buku berikutnya berjudul “Bercak di Dasi Sutra” dan “Sukma yang Berkibar”.
D. Zawawi Imron merupakan sosok yang luar biasa. Beliau panutan banyak pihak. Budayawan dan penyair yang bersahaja itu telah banyak melakukan perjalanan budaya yang cukup dahsyat dan bahkan sejumlah negara telah disinggahinya. Ia juga telah banyak menerima penghargaan dari sejumlah institusi, baik pemerintah maupun non pemerintah. Dedikasinya terhadap budaya Madura kerap menjadi acuan oleh sejumlah pihak.
Saat foto bareng bersama para aktivis Rulis, ia berkata dalam gurauan bahwa ia menobatkan diri menjadi tua, “tetapi remaja,” selorohnya. Usia menua tetapi remaja berkarya.
Karya harus menyangkut persaudaraan dan kemanusiaan, tidak cukup puisi bagus, tetapi bila orangnya tidak bagus, ya percuama. Ia bercerita bahwa dan pnyair di suatu negara sampai mencapai puncak di usia muda. Tetapi, dia menjadi pedagang budak.
Bicara tentang wanita, Zawawi punya kiat tersendiri. Ia, katanya, pernah menciptakan puisi untuk seorang wanita Ambon. “Judulnya Amboina,” ucapaknya.
Tersenyumlah Sonya dengan bibir rekah kembang pala
Agar langit sempurna birunya
Tersenyumlah sekali lagi
Aku ingin berbisil di telingamu
Dan ingin mengatakan cinta
Kepada Indonesia
Dalam ceramah budayanya selama lebih satu jam itu, ternyata ada sejumlah topik yang ia angkat, termasuk kisah sejarah dan budaya Sumenep. Ia menyebut bahwa sejak 200 tahun lalu masyarakat Sumenep telah mengenal multikulturalisme dan pluralisme. Hal ini terkait dengan keberadaan Panembahan Sumolo masa lalu telah memahami persoalan itu secara mendalam.
Panembahan Sumolo merupakan Raja Sumenep pada tahun 1762-1811 M. Beliau menduduki tahta kerajaan Sumenep menggantikan ayahandanya, Bindara Saut, yakni seorang raja (adipati) penggagas dan pendiri Masjid Jamik (Agung) Sumenep.
Pembuktian ini ia tunjukkan keberadaan kampung, tepatnya di Panglegur desa Pabian, wilayah timur kota Sumenep. “Disitu terdapat Masjid, Gereja, dan Kelenteng berada dalam satu area. “Ini pertanda bahwa pada jaman dulu kerukunan ummat beragama telah terjaga.
Telah diakui, di Sumenep terdapat banyak lahir penyair dari ujung timufr Pula Madura ini. Tumbuhnya para penyair di Sumenep, ia mengumpakan melalui bahasa folosofi pohon siwalan.
“Filosofi pohon siwalan itu ia tambah kering pada musim kemarau, namun juga airnya tambah manis (sebut: legen). Artinya makin ia tertekan hidup seorang sastrawan, ia tambah kreatif,” jelasnya. Sebab dibalik itu terdapat jiwa Madura “abhāntal ombā’ asapo’ angèn,(berbantal ombak berselimut angin) atau sekali layar terkembanng ombak menerjang pantang mundur badai menghadang.
Kalau mau jadi penyair, jadilah penyair, novelis namun untuk Indonesia. Menurutnya Imam Syafii mengatakan bahwa Jika ada anak muda malas belajar, berkarya. “takbirlah empat kali sebagai tanda salat jenazah untuknya,” selorohnya dalam kalimat sarkastis.
Ia juga berkesan, dalam kondisi tertentu kita harus punya sikap, semisal, kalau mengahdapi orang sombong Zawawi punya kiat, menyombongi orang yang sombong adalah sedekah. Artinya, tidak boleh sombong saat kita berjaya. “Tetapi, jika ada orang sombong,. Sadarkanlah ia dengan sedikit kesombongan kita di depannya,” ungkapnya.
Dalam mengakhiri ceramah budayanya, Zawawi sempat berpantun dalam bentuk kidungan:
Jhuko’ bulus macem bārna
Mellè bhāndhāng ka Ghersè’ Pote
Rèng sè bhegus tata kramana
Mon èpandhāng macellep atè
Ikan bulus macam warna
Beli bandeng ke Gersik Putih
Orang yang bagus tata keramanya (sopan santun)
Apabila dipandang mendinginkan hati
(Redaksi Rulis)