Potret Buram Pemuda Indonesia

Siswi MA 1 Annuqayah Putri, seusai mengikuti pelatihan menulis oleh Rumah Literasi Sumenep

Oleh: Maimun Main

"Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda" (Tan Malaka).

Sebelum meninggal ia masih sempat memberikan petuah bijaknya untuk para pemuda. Bukan perkara yang mudah menjaga idealisme di zaman ini. Butuh niat dan kiat agar tidak terjebak ke dalam idealisme semu.

Pemuda memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Oleh Soekarno sudah dinarasikan bahwa pemuda adalah generasi yang memiliki potensi untuk mengubah dunia. "Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”.

Soekarno berkata demikian, melihat pemuda di masanya. Akankah Soekarno akan berkata hal yang sama, jika beliau diberitahu bahwa pemuda hari ini jauh panggang dari api untuk mengubah dunia drngan hanya formasi sepuluh orang.

Pemuda hari ini tdidak sekualitas pada masa beliau. Pemuda hari ini hanya sebatas memenuhi rotasi waktu. Jadi tidak ada fase unggulan dari proses anak-anak ke masa mudanya. "Happy birthday to you" sebatas seremonial milenial yang sama sekali tidak ada korelasinya dengan bertambahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Ada pernyataan dari seorang pendidik: “pendidikan sekarang ini semakin rendah kualitasnya. Jebolan S1 setara keilmuannya dengan lulusan SMA bahkan ada yang setara dengan lulusan Tsanawiyah," Berangkat dari mana Natijah diatas? Entahlah, kami tidak bisa memastikan. Apakah hasil dari metode berpikir deduktif atau induktif.

Coba saja kita lakukan eksperimen kecil-kecilan. Caranya mengajak mereka yang sarjana atau yang pasca untuk berbicara soal tema-teman yang aktual, yang berkaitan dengan spesifikasi jurusan akademisnya. Ajak mereka adu argumen. Setajam apa analisa dan bagaimana dialektikanya. Jangan lupa perhatikan cara dia berbicara. Apakah "speak with data" atau hanya opini murni. Kalau mereka tidak mau?

Jalankan "Plan B". Sharing tema-tema yang populer tapi masih cukup relevan untuk dibahas. Dengan cara ini, dapat dinilai kualitas keilmuannya. Seberapa aktif mereka mengikuti perkembangan wacana terkini dan apa sumbangsihnya terhadap persoalan yang ada. Mereka tidak mau.

Laksanakan "Plan C". Sowan kerumahnya. Lihat kamarnya. Pandangi semua sudut kamar. Adakah kitab, buku, Jurnal dan majalah atau koran yang berserakan disitu. Atau ada rak kitab yang berjubel dengan jumlah yang tak terhitung. Kalau itu didapati, langsung angkat topi. Beri jabatan tangan yang hangat sebagai bukti apresiasi. Ia termasuk tipikal pemuda yang tidak mau mengeksplorasi kealimannya ke publik.

Tak ada rak, kitab, buku dan jurnal disana. Eksekusi "Plan D". Liat temannya. Berteman dengan siapa mereka. Sebab teman cerminan dari kawannya. Kata pepatah: “jika kau berteman dengan pedagang parfum, maka kau akan terikut harum walau tak memakainya". Temannya sangat banyak sekali dan beragam. Ada yang berlatar belakang pelajar dan ada yang bukan.

The next, pancing ia dengan pertanyaan, siapa Maria Ozawa? Kalau ia bisa menjawab, habis perkara. Jika sebaliknya, sodorkan pertanyaan: Apa bedanya Vibrator dengan Regulator? Ternyata ia hanya bisa menjawab Regulator. Berarti dia bercita-cita ingin menjadi Master Chef tapi tidak mendapat dukungan keluarga.

Tambah pertanyaan, kalau film Indonesia, lebih suka genre horor apa film Epik? Kalau jawabnya HOROR. Dia memiliki potensi untuk dagang "daging mentah". Kok bisa? Ramalan saja.

Pemuda hari ini hanya menikmati perjuangan yang telah usai. Pemuda hari ini tidak diminta untuk melawan para penjajah. Tak ada imperelis dimuka bumi. Secara de jure, entah secara de facto.

Jangan bilang tak ada waktu tuk menjadi pemuda yang berkualitas. Ketika masih menjadi siswa aktif, mereka tidak diminta tuk membantu pekerjaan ayah dan ibunya. Dengan harapan, anaknya menjadi pemuda yang berbeda dari orang tuanya. Menjadi pemuda yang terdidik.

Bantuan tenaga sangat tidak dibutuhkan. Agar anak fokus dengan materi pelajarannya. Ketika akan berangkat ke sekolah, uang saku pasti sudah disiapkan. Anak tidak perlu tahu dengan cara apa dan bagaimana sulitnya untuk mendapat uang tersebut tetap menjadi rahasia orang tua. Yang penting anak tetap bisa jajan disekolah. Terkadang tidak jarang orang tua melanggar aspek "halalan thayyiban" tuk hanya melihat anak juga bisa makan di sekolah. Tapi kenyataannya, tidak jarang pemuda mewarnai pemberitaan yang kurang elok.

Pelajar terlibat pencurian. Pelajar terlibat tawuran massal. Pelajar terlibat narkoba. Dekadensi moral bukan hal baru lagi. Pelajar tertangkap warga kumpul kebo. Mengekspos dirinya yang lagi mesum, vulgar dan tindak-tanduk tak senonoh lainnya. Miris sekali. Jika Soekarno masih hidup, pasti beliau mencabut kalam spiritnya itu. Mungkin akan diganti "beri aku 10 kakek-kakek akan aku goncang dunia ".

Lantas, salah siapa jika melihat potret buram diatas? Bisanya, saling menyalahkan. Saling cuci tangan agar muka tetap cemerlang. Padahal dlm konsep pendidikan ada tripusat pendidikan. Orang tua, sekolah dan masyarakat. Jika ketiganya turut ikut memperhatikan dan saling bergandeng tangan, maka potret sindrom patologis kemanusian tidak akan menjadi sebuah kelaziman.

حب الوطن من الايمان

Mencintai tanah air sebagian dari iman. Seberapa sering redaksi Arab di atas dilontarkan di forum ilmiah dan kepemudaan. Sayang seribu sayang, kalam nasionalisme itu hanya dijadikan "ornamen" yang sama sekali tidak memiliki efek apa2. Mereka hanya ingin terlihat "sexy" dengan kalam tersebut. Realitanya, bahasa Indonesia mereka masih belepotan. Ini kaum pemudanya. Maklum kalau yang lansia, karena mereka tidak tersentuh program memberantas buta aksara dr pemerintah.

"Happy Internasional Literacy Day" jatuh pada tanggal 8 September. Sangat jarang ada pemuda yang merayakan hari ini, walau hanya dengan sepatah dua kata. Kenapa? Kurang bergengsi, jawabnya. Coba kalau hari Valentine' Day yang bertepatan pada tanggal 14 Februari. Hampir semua semarak tuk merayakannya. Tempat destinasi penuh pengunjung. Hotel pada full di booking. Spot tuk berswafoto dengan back round Valentine's day disentuh dengan kreatifitas yang cukup Amazing.

Pemuda hari ini idol-nya bukan kiai, tapi selebriti. Coba mereka ditanya, siapa Bapak pesantren? Pasti geleng kepala. Coba diganti dengan, Artis si A sekarang lagi dekat dengan siapa? Jawabannya dari ba'da dhuhur ke ba'da isya' belum selesai. Apakah salah dengan mengidolakan para selebriti. Bukan soal salah atau tidak. Takutnya, memori kalian penuh dengan para selebriti, maka ketika dimasukkan satu tokoh kiai, langsung Yamut...!! Ibarat kaidah ini:

اذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام

Jika berkumpul yang halal dengan yang haram maka yang dimenangkan adalah yang haram. Apakah Selebriti termasuk yang entitas yang haram? Siapa bilang demikian. Lalu? Pikir sendiri sambil ngaji.

Apakah tidak ada pemuda yang justru lebih memilih ikut seminar jurnalistik dari pada hanya sekedar memoles wajah dengan lipstik? Tentu ada. Foto dibawah salah satu bentuk sikap dr pemuda untuk berjuang dijalur literasi. Mereka mungkin tidak kècè dalam penampilan, tapi otak mereka cukup Okè.

Warning....!!
Ketikan ini tidak dalam generalisasi (semua lulusan S1 sekualitas anak MA dst demikian hal lainya) hanya bagian kecil PEMUDA sebagaimana yang dinarasikan diatas. Selebihnya insyaAllah Top Markotop....!

POSTING PILIHAN

Related

Utama 5437964313450944781

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item