Budaya Prank, Masih Perlukah?

Oleh : Fataty

Istilah “Prank” baru saya kenali dan pahami setelah sering melihat konten youtube milik selebgram yang berseliweran di beranda media sosial saya. Sepintas memang cukup menghibur. Salah satunya tentang pasangan muda yang aktif membagikan kegiatan harian mereka sejak pacaran sampai menikah bertajuk 
“Our Journey”. Memang menarik mengikuti mereka. Melihat perkembangan kehidupan mereka melalui hari-hari dengan segala kegiatannya serta aksi-aksi mereka berdua saling "prank”.
Kadang si suami yang prank istri hingga menangis, marah dan ngambek. Begitu pula sebaliknya, ketika istri nge-prank suami. Drama kericuhan karena prank justru menjadi hiburan bagi para netizen dan subscribers. Alih-alih sebagai hiburan semata, skenario prank-pun kadang datang dari para penikmat konten mereka.

Di jaman saya sekolah sekitar tahun 1990 an. Budaya prank ini sebenarnya sudah lazim terjadi. Seperti menempel kertas di punggung teman dengan bertuliskan “Aku Gila”, memasang lem di kursi kelas, atau memberikan kado berisi kodok hidup. Memang ketika hal itu terjadi banyak yang tertawa dan merasa terhibur.

Tak hanya masa sekolah. Masa di mana saya sebagai pengajar pun pernah kena prank siswa-siswa saya. Waktu itu saya tidak menyadari hari kelahiran saya . siswa – siswa saya rupanya sudah mempersiapkan kejutan.. Ketika saya sedang mengerjakan tugas di kantor, salah seorang siswa melaporkan bahwa sedang terjadi baku hantam dalam kelas yang saya bina. Mereka mengatakan ada yang luka dan berdarah-darah.

Tentu saja saya langsung panik, berlari bergegas menuju kelas dan hampir menangis, setelah masuk kelas, ternyata saya disambut dengan letusan balon dan lagu “selamat ulang tahunnya” band Zamrud. Saya di kejutkan dua kali oleh mereka. Kabar perkelahian dan kejutan ulang tahun saya. Saya tidak jadi jengkel sebab mereka hanya bermaksud baik memberikan kejutan itu.

Saya pikir prank hanyalah salah satu metode menggiring ke arah kejutan manis itu.

Dalam test psikologi atau sekedar Ice Breaking sebuah kelaspun, kadang Guru nge-prank siswa-siswanya. Seperti memberikan sederet instruksi pertanyaan namun pada akhirnya instruksi yang terakhir hanya sekedar di suruh menulis nama dan alamat saja. Pernahkan Anda mengalaminya ?

Di sebuah program TV sekitar tahun 2000 an masihkah anda mengingat slogan, “ Spontann,,Uhuuyyyy”. Nah ! bahkan saat itu prank , jebakan batman atau sejenisnya sudah menjadi bisnis basah dunia hiburan. Namun tetap saja tujuannya, ngerjain orang buat lucu-lucuan.

Kini, aksi prank makin menjadi trend generasi muda dan rasanya sudah mengarah pada aksi yang kebablasan. Masih ingat kan , seorang youtuber ternama yang nge-prank sumbangan sampah dalam kardus dan berujung hukuman penjara?. Atau kisah gurauan anak sekolah yang menyeret kursi temannya hingga ia jatuh dan berakibat kelumpuhan ?

Banyak yang menyoroti hal ini sebagai suatu aksi yang tidak membawa manfaat, sama sekali tidak lucu bahkan merugikan orang lain baik secara material , moral termasuk secara psikis terutama adalah bagi pihak korban prank.

Dengan makin banyak penikmat prank , memang makin pula mendorong penyedia konten menaikkan frekuensi pembuatannya. Semakin banyak like, subscriber semakin gencar pula konten-konten prank menginjeksi kehidupan kita dan mungkin cepat atau lambat aakan menjadi budaya yang di maklumi oleh generasi kita di masa yang akan datang.

Bagaimana jika peristiwa prank itu justru menjadi trauma seumur hidup bagi si korban ? Atau menjadi sebab turunnya rasa kepercayaan diri, paranoid sehingga ia kehilangan kesempatan-kesempatan baik di masa depannya ? maka itu saya rasa perlu kita pahami kembali makna sebenarnya dari istilah Prank.

Dalam terjemahan bebas yang saya ambil dari berbagai sumber termasuk KBBI Online, Prank artinya gurauan, jahil, seloroh, olok-olok. Atau dalam istilah lain adalah perbuatan menjahili atau ngerjain orang lain. Tidak ada tujuan khusus sebenarnya selain hanya sebagai hiburan atau selingan.

Dalam kamus terjemahan Bahasa Inggris – Indonesia, ada 5 terjemahan istilah Prank: 
  1. Senda gurau
  2. Menipu atau mengibuli
  3. Kelakar
  4. Seloroh dan
  5. Guyonan atau gurauan.
Jika prank hanyalah sebuah guyonan, hiburan semata untuk sekedar memecah hubungan yang beku atau sekedar menyairkan suasana. Tentunya nge-prank harusnya jauh dari hal-hal yang berakibat buruk. Menyinggung perasaan, memberikan tipuan, membingungkan orang, menambah susah orang yang sedang susah, mempermainkan keseriusan dan kesungguhan, apapun yang malah menimbulkan masalah juga merugikan orang lain.

Saya hanya tidak bisa membayangkan jika pada akhirnya dengan massifnya budaya prank ini, generasi yang akan datang menjadi generasi yang mengabaikan etika dan kesantunan terhadap orang lain, orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, mungkin juga pada orang – orang yang seharusnya di hormati.

Jadi sah – sah saja melakukan prank. Asal kita sendiri yang bisa mengira-ira, sejauh mana batasan-batasannya agar kita menjadi orang yang tetap di senangi dan sekedar menghibur orang lain. Bukan sebaliknya.

Mojokerto, September 2020



POSTING PILIHAN

Related

Utama 1013844438906916803

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item