Catatan Harian Tentang Putih


Cerpen: Kinanthi Yuaryanda Kh.

3 Oktober

Siang ini bukanlah siang yang cerah, awan hitam pekat menggantung di langit, sesekali kilat menyambar. Rintik air mulai berjatuhan ke permukaan bumi. Aku berlari-lari kecil sepanjang jalan hingga tidak lama berselang aku sudah sampai di depan pagar rumah. Tiba-tiba, saat aku memasuki, hujan tiba-tiba berubah sangat deras. Aku berlari sambil menutupi kepalaku dengan tas sekolah. Setidaknya tubuh bagian atasku kering, pikirku.

Tepat sebelum menginjakkan kaki di teras, aku melihat seekor kucing berbulu putih kotor meringkuk di sudut. Aku kasihan melihatnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung membawanya masuk ke dalam rumah. Tidak peduli kalau seragamku bertambah kotor.

Aku menjatuhkan tas di ruang tamu lalu berlari kecil ke kamar mandi sambil membawa kucing itu tanpa mengganti seragamku. ‘Toh, besok memakai seragam lain.’ pikirku. Kumandikan kucing kecil itu dengan cepat. Kasihan karena kucing itu masih anakan, mungkin masih berusia tiga bulan. Dia mengeong-ngeong lemah.

Setelah kumandikan anak kucing itu kumasukkan ke dalam kardus yang sudah kulapisi handuk kecil agar tubuh kucing tetap hangat.  Bulu kucing itu menempel karena basah. Meski begitu, aku berdecak kagum melihat keadaannya sekarang. Bulu yang sebelumnya kotor oleh lumpur, kini berwarna putih. Matanya yang awalnya terlihat redup kini tampak cerah. Dan aku baru sadar kalau mata kucing itu berwarna merah darah. ‘Mungkin jenis Persia medium albino?,’ pikirku sambil bertopang dagu.

Setelah mandi dan ganti baju, aku kembali melihat keadaan kucing itu. Kucing itu  sibuk menjilati bulunya yang basah. Aku mengulurkan tangan untuk mengelusnya. Kucing itu mengangkat kepalanya seolah memintaku mengelus lehernya. Ia mengendus jemariku dan menggigitnya. Terasa geli. Aku berpikir mungkin kucing ini lapar, aku pun beranjak mencari sepotong ikan di dapur. Awalnya ia hanya mengendusnya, tapi karena aku terus memaksa akhirnya ia memakan ikan itu.

Kelak, bunda menamai kucing itu Putih.  

    “Bunda, tadi adik lihat ada anak kucing kehujanan di depan rumah. Karena kasihan, Adik membawa masuk dan kumandikan. Bulunya bagus loh! Kucing albino!” Tidak perlu menunggu lama, bunda menjawab smsku tentang ditemukannya kucing terkirim.

    “Hm... masa? Coba foto kucingnya.” balas bunda dari seberang sana.

Segera kufoto kucing itu dan kemudian hasil fotoku kukirim ke bunda.

    “Wuah... lucunya Dek. Dikasih siapa?”

“Yeeey, berarti bunda setuju,” sorakku dalam hati.

    “Belum Adek kasih nama bunda.”

    “Hm, kasih nama ‘Putih’ aja, biar simpel.”

“Oke deh, Bunda.” balasku mengakhiri pesan singkat itu.

Tatapanku beralih pada anak kucing yang tengah makan dengan lahap, tapi terkesan terpaksa.

***
14  November

Sudah satu bulan lebih Putih tinggal di rumah. Tubuhnya bertambah besar. Ia jauh lebih besar daripada kucing seusianya. Selama satu bulan juga tidak ada sesuatu yang aneh dari kelakuannya. Tapi entah kenapa toiba-tiba di suatu hari mulut putih berlepotan percikan darah. Firasatku mulai menyadari ada sesuatu yang aneh.

***

15 November

Firasatku benar. Aku melihat burung kenari tetanggaku mati dalam kondisi kehabisan darah dan tanpa daging. Aku mulai curiga. Kandangnya utuh, tetapi bulu Putih kini terdapat noda kemerahan. “Jangan-jangan Putih melakukannya?” kutepis pikiran burukku terhadap apa yang dilakukan Putih terhadap burung kenari milik tetanggaku.

Kcurigaan itu kutepis dari pikiranku, kata bunda Putih tidur di halaman belakang semalam. Aku pun berlalu saja di depan Putih yang menjilat kaki dan bibirnya. Sesaat aku merasa ada yang aneh dengan kucing Persia albino. aku memilih tidak peduli. Saat aku lewat di depannya, aku melirik dan mendapati Putih tersenyum padaku. “Kucing tersenyum?,” gumamku. Aku tahu itu bukan pertanda baik.

17 November

Dua hari berlalu. Kelinci tetanggaku mati. Kondisinya mengenaskan. Noda merah di tubuh Putih semakin banyak. Bunda berkilah bahwa itu hanya noda tanah. Para tetanggapun tidak menaruh curiga.

“Bunda, coba lihat, Bulu si Putih kok merah-merah gitu?”

“Mana, Dik?”

“Itu tuh!” Aku menunjuk Putih yang tiduran di keset teras.

Putih mengeong agak keras. Dia berjalan ke arah kemi.

“Nggak tuh, Dek. Mungkin Putih habis guling-gulingan di tanah merah. Jangan mikir yang aneh-aneh,” kata bunda sambil berjalan ke arah dapur.

“Hahh, gak percaya kan.” desahku sambil mendekati Putih. Aku menatap mata merahnya. Tatapan polos yang menurutku hanya topeng itu berkedip-kedip ke arahku. Seolah berkata, ‘ayolah, tidak akan ada yang percaya ceritamu. Menurutmu ada yang percaya kucing lucu dan manis sepertiku melakukannya?’

Argghhh, aku kesal dengan tatapan sok polos dan mengejek itu. Sementara kucing aneh itu menyeringai ke arahku sambil meregangkan tubuhnya. Putih melompat ke pagar samping lalu dengan gesit melompat ke atap rumah. Putih berjalan pelan, memandangku seakan mengejekku, ‘sampai nanti, orang bodoh.’ Hatiku mendadak panas. Aku tidak tahu bahasa kucing, tapi aku merasa dia mengatakannya seperti itu.

Aku bertekad untuk mengawasi kucing yang tak tahu terima kasih itu.

***

18 November, 21.00

Malam ini aku berencana mengamati gerak-gerik Putih. Biasanya dia bermain di halaman belakang. Aku memutuskan untuk memastikan apa benar dia tidur di halaman belakang atau di pagar rumah. Aku terkejut melihatnya berdiri di atap rumah tetanggaku. Putih tidak melihatku karena terhalang atap teras dan daun-daun lebat. Ia melompat turun ke halaman tetanggaku tanpa suara. Segera aku juga berlari tanpa suara ke halaman depan untuk melihat apa yang dia lakukan di sana.

Sesampainya di halaman rumahku, aku mencari-cari keberadaan Putih. Aku melihatnya ada di halaman tetanggaku yang berjarak tiga rumah dari rumahku. Aku bisa melihatnya dengan jelas walaupun malam hari. Dari kejauhan, aku melihatnya membuka selot kandang Lovebird dengan cakar-cakarnya.

Aku tidak mengerti kenapa seekor kucing bisa membuka gembok dan selot kandang dengan mudah. Ini luar biasa. Aku bergegas mendekat untuk melihat lebih jelas. Sepertinya tetanggaku sudah tidur. Tidak ada reaksi dari penghuni rumah tentang suara burung yang menjadi riuh.

Asytaga, Putih memangsa sepasang burung itu. Hap... Putih mengigit salah satu burung kemudian menangkap burung satunya dengan menggunakan cakarnya yang tiba-tiba memanjang. Dengan gesit Putih melompat ke tengah-tengah halaman. Sontak aku bersembunyi di balik pohon mangga di depan rumah tetanggaku itu.

Cras... Kulihat Putih tengah asyik melahap makan malamnya. Mungkin karena tikus di kompleks perumahan kami habis, ia jadi rakus memakan peliharaan warga sekitar. Samar tapi pasti, aku melihat tubuhnya menjadi makin besar dari sebelumnya. Darah burung bercipratan kemana-mana. Suara cicitan burung betina terdengar pilu di telingaku.

Aku langsung terpikir untuk memotret kejadian itu dengan ponselku. Kutekan tombol. Aku menyesalinya seumur hidupku, karena apa yang kulakukan dengan kameraku menjadi awal petaka untukku.

Cekrek...

‘Astaga. Suaranya keras sekali.’

Awalnya aku memang bernapas lega. Karena sepertinya Putih tidak mendengarnya, tapi aku langsung ketakutan begitu melihat Putih menoleh dan menyeringai ke arahku. Tampak darah menetes dari mulutnya, dan bulu yang kotor oleh darah burung itu.

Aku tak kuasa menahan rasa takutku. Aku langsung lari tanpa menoleh lagi ke belakang. Tanpa sadar, aku membanting pintu rumah. Ayah sampai terbangun karena ulahku.

“Adik kenapa?”

“Ah, nggak kok, Yah. Cuma kepeleset.” jawabku asal. Aku berusaha melupakan si seringai Putih. Seringai yang seolah membuatku menjadi target. Aku tidak ingin orang tuaku heboh di tengah malam itu.

“Ya, sudah. Tidur sana! Biar besok tidak telat bangun.” kata ayah sambil masuk kamar.

“Oke, Yah.” Ekor mataku mengikuti gerak ayah ketika menutup pintu kamar. Aku bernapas lega. Tapi, begitu aku berbalik untuk mengunci pintu rumah, aku kembali takut setengah mati. Aku melihat wajah Putih yang penuh darah menyeringai kepadaku di balik jendela. Aku berlari ke pintu belakang lalu cepat-cepat menguncinya. Setelah itu, aku langsung berlari memasuki kamar, menguncinya dari dalam, dan memasang selot. Aku melemparkan tubuh ke atas kasur dan mencoba tidur.

***

29 November

Selama satu minggu lebih aku tidak berani melihat Putih, Aku selalu manghindar begitu meihatnya. Meski begitu, kasus hewan mati semakin marak di kompleks perumahanku. Karena itu aku memberanikan diri untuk kembali mengikutinya. Tentu saja seorang diri.

Pukul 21.30 aku mulai mengawasi Putih. Seperti pertama kali, kejadian dimulai di halaman belakang. Sampai halaman depan, ia menghilang. Aku berjalan keluar penuh waspada dan mencoba mencari di sekitarku. Aku berjalan sambil berputar-putar pelan ke tengah halaman. Saat menoleh ke belakang, aku melihat ada bayangan kucing yang sangat besar bertengger dia atap rumah. Reflek aku melihat ke atas. Putih tersenyum. Ah tidak, ia menyeringai ke arahku. Aku kembali teringat dengan seringai berdarah waktu itu. Seringai yang sama, hanya saja sekarang putih dalam keadaan bersih tanpa darah. Aku melihat lidahnya terjulur menjilati bibirnya. Mata merah darahnya berkilat-kilat mengerikan. Aku merasa, akulah mangsanya berikutnya.

Seketika tubuhku kaku, lidahku kelu melihat Putih mengambil ancang-ancang akan melompat menerkam ke arahku. Aku memberikan perlawanan, tapi entah mengapa kekuatan kucing itu sama seperti kekuatan manusia dewasa. Aku benar-benar menyesal telah menolongnya waktu itu. Aku bisa merasakan cakar depan Putih menancap di lenganku. Darah sudah mengalir deras dari lukaku.

Aku merasakan ada sesuatu yang runcing menusuk leherku. Ya, Putih mengigit leherku. Aku merasa ada cairan di tubuhku tersedot. Tubuhku semakin melemas, pandanganku memburam, indra-indraku mulai mati rasa. Bruk... tubuhku ambruk. Aku merasakan ada sesuatu yang tajam merobek perutku. Sakit, itu yang kurasakan terakhir kali. Lalu semuanya menjadi gelap.
***
30 November

Pagi ini aku melihat tubuhku tergolek mengenaskan di halaman rumah. Dengan leher hampir putus dan perut robek. Serta darah berceceran di sekelilingnya. Di dekat tubuhku ada seekor kucing berbulu putih dengan mata merah darah diikat dengan tali.

Ideku berhasil dengan meletakkan ponselku dengan keadaan kamera video menyala yang merekam kejadian semalam. Sengaja kuletakkan di depan jendela agar kejadiannya terlihat jelas.
Kali ini, aku yang menyeringai di depan kucing itu.

 ✳✳✳✳

Kinanthi Yuaryanda Kh., kahir di  Sumenep, 20 Februari 2020, bertempat tinggal di  Desa Banasareh – kec. Rubaru – kab. Sumenep

Anak ke dua dari dua bersaudara ini suka pelajaran science dan menjuarai berbagai lomba serta olimpiade. Suka menari sejak kecil juga suka menggambar doodle, manga. Suka catur juga. Prestasi menulis sebelumnya belum ada . Kinan suka menulis tapi belum terpupuk dengan baik. Waktu SD pernah ikut lomba menulis cerpen tapi tanpa bimbingan .

Prestasi literasi pertama diperoleh saat kelas Dua SMP, sebagai :
a.    juara 2 lomba menulis puisi jenjang SMP tingkat kab sumenep
b.    20 karya terbaik lomba penulisan cerpen tingkat nasional
c.    Kontributor karya menulis cerpen oleh Penerbit Anlietera
d.    Juara 3 festival dalang remaja

Prestasi yang pernah diraih :
1.    Juara VI lomba komputer kategori TK 2010
2.    Peserta pagelaran Budaya Lokal di pendopo Agung Sumenep 2011
3.    Juara Harapan III Lomba Komputer kategori SD kls 2 2012
4.    5 Penyaji terbaik Non Rangking Apresiasi Seni Pelajar se JATIM jenjang SD 2012
5.    Penari dalam pergelaran Seni Pertunjukan Jenjang SD dalam Gelar Seni Padang Rembulan 2012 prop. JATIM
6.    5 Penyaji terbaik Non Rangking Apresiasi Seni Pelajar se JATIM jenjang SD 2013
7.    Peserta Parade Tari Kreasi Pekan Seni Madura V 2013
8.    Semifinalis Asah Kreativitas Sains tingkat SD/MI 2015
9.    Juara III Asah Kreatifitas Sains Tingkat SD/MI se kab.  Sumenep – Pamekasan 2015
10.    Juara II Kompetisi IPA tingkat SD 2016 Se kab. Sumenep
11.    Semi finalis Kompetisi Pelajar tingkat SD bidang IPA se kab. Sumenep 2017
12.    Juara II IPA New Era mencari bintang ke – 2
13.    Juara II Bahasa Inggris New Era mencari Bintang ke – 2 tour go to Bali 2016
14.    Juara harapan II Bahasa Inggris Model of the year 2017 Royal Plaza Surabaya
15.    Juara harapan III IPA Model of the year 2017 Royal Plaza Surabaya
16.    Juara II IPA New Era Mencari Bintang ke -2 Tingkat Jawa Bali 2017
17.    Semi finalis KOMET Plus 17 antar SSD 2017
18.    Semifinalis Olimpiade Matematika dan IPA HIMSO tingkat SD se JATIM 2017
19.    Semi finalis AKS tingkat SMP/MTS Se Madura 2019
20.    Peserta KEJURPROF Catur Jatim ke – 51 2018
21.    Juara I lomba fotografi SMKN Sumenep 2018
22.    Juara II lomba cipta puisi tingkat SMP se kab. Sumenep 2018
23.    Semifinalis PHYTAGORAS 2019
24.    Juara I Olimpiade Bahasa Indonesia Tingkat SMP/MTS se Madura 2019
25.    Juara III FLS2N Cabang seni kreativitas seni tari jenjang SMP 2019
26.    Juara III Festival Dalang Remaja tingkat kab. Sumenep 2019
27.    20 Peserta Terbaik lomba cerpen pelajar/mahasiswa tingkat nasional UKMP UNM 2019
28.    Kontributor karya lomba menulis tingkat nasional 2019 anlitera


POSTING PILIHAN

Related

Utama 4192235442352175356

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item