Sajak-Sajak Faisal Er
http://www.rumahliterasisumenep.org/2020/06/sajak-sajak-faisal-er.html
![]() |
Faisal Er |
Faisal Er, Lahir di Rombiya Barat 6 Februari 1979 Madura. Karir
bersastranya di mulai sejak nyantri di Annuqayah (Lubsel) dan aktif di
Sanggar Andalas Annuqayah (Lubra, 1996) Ketua Kelompok Baca Puisi
Annuqayah (KBPA, 1997) Aktivis Kembara 7 (1997-2000) Ketua Perpustakaan
Pusat Annuqayah (1999-2000)
Puisi-Puisinya pernah diantologikan bersama; Olle Ollang, (1998) Perbani 13 (1999) Pertemuan Sufi (2000) Bandung Dalam Puisi (2001) Diatas Viaduct (2009) Tzunami Nangro Aceh (2008) Sajak Kemerdekaan (2009) Antologi Puisi 100 Penyair Nusantara Cimanuk, Ketika Burung-Burung Telah Pergi (2016)
antologi tunggalnya Nyanyian Sebelum Subuh (2002) Sertifikat Cinta (2006), Kerinduan Sampai Ke Bulan ( 2012) Dan beberapa karyanya dimuat di Majalah Suaka, Seni Budaya, Hu.Pikiran Rakyat, Galamedia, Radar Madura, Jendela Newssletter, dll.
Setelah tamat Madrasah Aliyah (MA I Annuqayah) penulis melanjutkan studinya ke kota kembang Bandung dan bergabung dengan anak-anak Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, (2000-2012)
Pernah menjadi Sutradara terbaik III tingkat Jawa Timur di Depot Akura Unira Pamekasan (2005). Berkali-kali memenangkan lomba menulis Puisi Se-JABAR, yang di adakan oleh Yayasan Jendela seni (YJSB) Bandung, dan pada akhirnya bergabung sebagai komunitas/koresponden pada yayasan tersebut, ditahun (2001-2012)
Selain berkarya, penulis pernah bekerja sebagai Pimpinan Produksi Sanggar Sastra Siswa Indonesia Bandung (YJSB bekerjasama dengan Majalah Horison, The Ford Foundation Jakarta (2002) Juga sebagai Ketua Pelaksana kegiatan Forum Penulis “International Media Network, Pt Kaba Media Bandung (2006) kerapkali terlibat sebagai PIMPINAN Produksi Di kegiatan Teater Asuhan Poernomo Arek Bandung. Diundang ke TIM Jakarta dalam rangka Ulang Tahun KSI ke- V di Pusat Dukumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin Jakarta bersama Erwan Juhara (2001)
Profil Faisal ditulis Kang Unay di Majalah Mangle dan Abah Wawan di koran TADJUK keduanya koran terbit di Jawa Barat.
Puisi-Puisinya pernah diantologikan bersama; Olle Ollang, (1998) Perbani 13 (1999) Pertemuan Sufi (2000) Bandung Dalam Puisi (2001) Diatas Viaduct (2009) Tzunami Nangro Aceh (2008) Sajak Kemerdekaan (2009) Antologi Puisi 100 Penyair Nusantara Cimanuk, Ketika Burung-Burung Telah Pergi (2016)
antologi tunggalnya Nyanyian Sebelum Subuh (2002) Sertifikat Cinta (2006), Kerinduan Sampai Ke Bulan ( 2012) Dan beberapa karyanya dimuat di Majalah Suaka, Seni Budaya, Hu.Pikiran Rakyat, Galamedia, Radar Madura, Jendela Newssletter, dll.
Setelah tamat Madrasah Aliyah (MA I Annuqayah) penulis melanjutkan studinya ke kota kembang Bandung dan bergabung dengan anak-anak Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, (2000-2012)
Pernah menjadi Sutradara terbaik III tingkat Jawa Timur di Depot Akura Unira Pamekasan (2005). Berkali-kali memenangkan lomba menulis Puisi Se-JABAR, yang di adakan oleh Yayasan Jendela seni (YJSB) Bandung, dan pada akhirnya bergabung sebagai komunitas/koresponden pada yayasan tersebut, ditahun (2001-2012)
Selain berkarya, penulis pernah bekerja sebagai Pimpinan Produksi Sanggar Sastra Siswa Indonesia Bandung (YJSB bekerjasama dengan Majalah Horison, The Ford Foundation Jakarta (2002) Juga sebagai Ketua Pelaksana kegiatan Forum Penulis “International Media Network, Pt Kaba Media Bandung (2006) kerapkali terlibat sebagai PIMPINAN Produksi Di kegiatan Teater Asuhan Poernomo Arek Bandung. Diundang ke TIM Jakarta dalam rangka Ulang Tahun KSI ke- V di Pusat Dukumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin Jakarta bersama Erwan Juhara (2001)
Profil Faisal ditulis Kang Unay di Majalah Mangle dan Abah Wawan di koran TADJUK keduanya koran terbit di Jawa Barat.
*****
AIR MATA ITU DO’A
(Mengenang KH. Ishomuddin Abdullah Sajjad)
Di tepi kuburmu,
serampai bunga menebar wewangi cinta,
luruh hatiku dalam kerinduan yang sunyi
Pandanganku menembus senja
Mengantarkanmu kelangit menjumpai para Nabi
Sementara doaku berterbangan liar
Mengembara dalam sujud yang haru
Sendiri tanpa jejakmu disini,
Kerinduanku bagai bayangan semu
Menapaki jejak jalanku menujumu
Aku benar-benar sendiri ditepi kuburmu,
Mengaji perjalanan waktu, tentang rasa yang sendiri, sepi, hening, jauh dari segala rasa, bayangmu bertautan bagai percakapan sunyi, mengetuk pintu kosong yang terbuka, perjalanan panjang itu adalah Jiwaku yang kekal bersamamu
Di tepi kuburmu
Bunga-bunga bertangkai doa menjalar kelangit
Memerdekakan jiwa-jiwa yang terluka
Air mata dan doa bermuara dalam satu jiwa,
Aku tengadah ke langit dan menunduk ke bumi,
jiwaku menahan aliran darah ditubuh di atas segala sujudku yang rapuh
" doa adalah jihad kita bersama, katamu
Sesaat hening berganti sunyi dalam dekap malam
Mengembaralah jiwa-jiwa terluka
Dan jeritan anak yang bodoh tidak tahu apa-apa
Menangis di tengah malam yang buta
Suaramu terdengar lirih mengelitik
menyadarkan kata dari percakapan sepi
Berganti lagu sedih-menghantarkan jiwaku
Pada persetubuhan tanah yang sunyi,
Doaku kian merintih
-diatas segala derita yang perih
Dalam jiwa yang sendiri dan mati
Engkau telah pergi setelah dirindukan
Anak-anak zaman yang kebingungan
Madura, 2009
SEPI
Kau tak pernah menciptakan puisi lagi
Membiarkan angin dingin mengecup bibirmu
Dan tidur dalam mimpimu bergegas pergi
Seperti huruf –huruf biru dalam patahan sajakmu
Dikamar ini, terasa sangat sepi
Tanpa suara angin, dan nafasmu mengundang birahi
Aku sama seperti manusia mengundang luka dari peristiwa
Kenangan tentangmu telah pergi digilas angin kering dari pekuburan
Jiwaku terbaring didalamnya, mengekalkan kerinduan
Tapi tak ada suara, hanya tangisku yang belum reda
Mencari persinggahan dari sisa cinta yang semakin buram
suara angin dan deru gelombang menghitung langkah menujumu
Pikiran hitam, pertentangan yang abadi,
Samar-samar ku baca kesunyian dalam kamarku
Sesaat aku percaya pada gelombang,
tentang keinginan yang bertubi-tubi
Lorong-lorong panjang menjelma tubuh dingin
Dalam kerinduan yang tak sempurna
Di tepian danau itu, kau berdiri menjadi sejarah
Melukis kesederhanaanku pada lautmu
Pada kerinduanku yang tak terbatas
Kiaracondong, 2003
BERBISIK PADA DEDAUNAN
Berbisik pada dedaunan, angin di rambutmu menghelaikan rindu
Menemukan duniaku yang lain,
sebuah peristiwa yang lebih tua dari kesedihan
menamparku dan melemparkannya ke perkampungan yang kumuh
tubuhku tergeletak, mengumpulkan cahaya wajahmu di pesakitan
Aku telah menemukan duniamu yang baru
Sebuah keajaiban telanjang diantara kabut dan batu
Kedua matamu, dan tanganmu mengepal dingin di jemariku
Tapi wajahmu semakin jauh meninggalkanku
Aku belum sempurna mencintaimu dengan penuh perasaan
adakah kerinduan pada kedua matamu?
Sepanjang perjalanan yang kupelajari jiwaku mengental
Seperti angin tak bertenaga mengorek sembilu luka
Mengusap rambutmu yang terberai, dan kecintaanku semakin murung
Melepaskan ingatanku kepada senja yang rapuh
Kau pun ada di sana, tubuhmu tak bergairah menyambut malam
Matamu mengawasi kenangan dari pintu terbuka
Aku gagap menyebut namamu,
kerinduan menjadi permainan perasaan
Madura, 2007
CINTA LUKA DAN AIR MATA
27 tahun kutulis sajak ini untukmu
Gelombang dengan ramah membimbingku kekedalaman
Wajahmu menyalakan matahari dalam redup hatiku
Jiwa yang terbiasa berputar dalam lingkaran angin
Mengamini kesedihan dan ketabahan
Kau masih saja bersyair, menelusuri jalanan sunyi
Menciptakan lirik liar meronta pemilik hati
Simpanlah, kenanglah keabadian airmataku
Sungai-sungai mengalir, batu-batu pecah
Begitu mudah memecahkan wajahmu dilinangan air keruh
Hanya kepada pagi kegelisahan teramat mudah dipecahkan
Sebab tak kupahami kedatanganmu dalam gelap tersembunyi
Dan dzikir namamu tak mengenal musim atau pun rahasia
Hatiku mengembara dalam gelap dan sunyi
Mencari hati yang tersakiti dari jiwa yang perih
Cinta adalah bangunan tua di bumi manusia
Di pulau yang sepi, di laut yang bergelombag
Sebuah nyanyian meredakan keinginan
Mencari kesucian cinta yang terpendam
Madura, 2005
POSTING PILIHAN
Wajahmu menyalakan matahari dalam redup hatiku
Jiwa yang terbiasa berputar dalam lingkaran angin
Mengamini kesedihan dan ketabahan
Kau masih saja bersyair, menelusuri jalanan sunyi
Menciptakan lirik liar meronta pemilik hati
Simpanlah, kenanglah keabadian airmataku
Sungai-sungai mengalir, batu-batu pecah
Begitu mudah memecahkan wajahmu dilinangan air keruh
Hanya kepada pagi kegelisahan teramat mudah dipecahkan
Sebab tak kupahami kedatanganmu dalam gelap tersembunyi
Dan dzikir namamu tak mengenal musim atau pun rahasia
Hatiku mengembara dalam gelap dan sunyi
Mencari hati yang tersakiti dari jiwa yang perih
Cinta adalah bangunan tua di bumi manusia
Di pulau yang sepi, di laut yang bergelombag
Sebuah nyanyian meredakan keinginan
Mencari kesucian cinta yang terpendam
Madura, 2005