Memelihara Budaya Empatik



Aprinus Salam
 
Ada sejumlah indikasi bahwa “tanpa disadari” kita adalah makhluk-makhluk rasis, hierarkis, dan diskriminatif, yang berimplikasi pada sikap-sikap tidak simpatik dan saling bermusuhan. Dalam percakapan sehari-hari, tidak jarang kita mendengar ungkapan seperti; “dasar tukang becak”, “dasar negro”, “dasar pembantu”, “seperti tukang parkir saja kamu”, “dasar orang desa, kampungan”, dll. Belum lagi ungkapan seperti “bodoh, tolol, idiot”, dsb. Atau ungkapan gabungan yang lebih pahit, “dasar tukang becak bodoh”. Itu hanya beberapa contoh.

Menarik menjelaskan mengapa, kasus tukang becak misalnya, menjadi salah satu ungkapan keseharian yang memojokkan. Apa salah tukang becak dalam kehidupan kita? Ungkapan “dasar tukang becak bodoh”, secara ideologis menyimpan stigma bahwa pekerjaan itu hina dan rendahan. Pekerjaan itu hanya cocok untuk orang bodoh. Pekerjaan itu hanya mengandalkan otot. Pekerjaan itu murahan, maka orang becak itu pasti miskin. Dan saya bukan tukang becak, jadi saya tidak hina, tidak rendahan, pandai, dan tidak miskin.

Tulisan bersambung:
  1. Kebudayaan Sebagai Perspektif
  2. Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan
  3. Memelihara Budaya Empatik
  4. Kebudayaan Sebagai Tersangka
  5. Kebudayaan Itu Tergantung
  6. Hibriditas Kebudayaan
  7. Matinya Mesin Pemikiran
 Misal lain, ungkapan “dasar orang desa, kampungan”. Ungkapan itu menyimpan anggapan bahwa orang desa itu bodoh, tidak punya pengetahuan, miskin, tidak punya etika seperti orang kota, ketinggalan zaman. Bahkan mungkin mengandung anggapan lain seperti bau, kotor, dan sebagainya. (Saya menduga ini semacam kekonyolan massal yang kita idap).

Yang berdimensi rasis misalnya, maaf, saya terpaksa mengambil contoh,  “dasar negro”. Di balik ungkapan itu mengandung makna, orang negro itu hitam, bau, tidak pernah mandi, miskin, bodoh, dan tukang buat kriminal. Saya bukan negro, maka saya tidak bau, rajin mandi, tidak miskin dan tidak bodoh, dan tidak pernah berbuat kriminal. Saya berbeda dengan orang negro, saya bukan mereka. (Apa kesalahan “orang negro” terhadap kehidupan kita? Ini jelas konstruksi kolonialis).
Yang tidak kalah berbahayanya adalah pernyataan “Mereka itu pendatang”. Di balik ungkapan itu terkandung makna bahwa pendatang tidak sama dengan penduduk asli/pribumi. Mereka pendatang harus menyesuaikan diri dengan penduduk asli kalau tidak para pendatang boleh dimusuhi, boleh tidak dijadikan teman. Bahkan ini pula yang sebetulnya membuat kita tidak bisa menerima orang lain apa adanya, orang lain berbeda dengan kita, kita bukan mereka. Perbedaan tersebut menyembunyikan bahaya laten konflik.

Agak sulit untuk membantah bahwa hal tersebut masih kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat konstruksi sosial yang rasis, hierarkis, dan diskriminatif yang kita tanggung sebagai akibat peninggalan sejarah kebudayaan kita.

Bara Prasangka

Munculnya perbedaan ini terutama dalam konteks ada yang merasa mayoritas, di satu pihak, dan ada yang dianggap minoritas. Kelompok mayoritas akan mendominasi, atau bahkan menghegemoni, minoritas agar si minoritas tidak mengganggu dominasi mayoritas. Hal ini tentu juga berkaitan terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politik, juga sosial dan budaya.

Pemeliharaan stigma tersebut secara terus menerus menimbulkan perbedaan. Adanya perbedaan akan menimbulkan jarak dan menyulitkan komunikasi. Jika komunikasi tidak terjalin, maka tidak akan ada saling pemahaman. Bila tidak ada saling pemahaman, maka perbedaan akan berpotensi menjadi musuh dalam selimut. Perbedaan memelihara bara prasangka. Prasangka akan mengalami berbagai pemelintiran dan membengkak menjadi penyakit sosial dan budaya. Inilah yang terus menerus terjadi. Saya menduga, politisasi agama memainkan peranan penting terhadap bara prasangka ini.

Yang merasa di-liyan-kan juga tak kunjung bisa hidup wajar karena dianggap berbeda dan dijauhi. Dalam situasi itu, akan selalu muncul resistensi karena yang di-liyan-kan akan berusaha hidup layak dan normal. Berbagai konflik selalu membayang. Saya tidak ingin mengatakan bahwa hal rasis, hirarkis, dan diskrimintif ini sebagai semata-mata konstruksi kolonial. Karena hal itu sudah ada jauh sebelum kolonial masuk ke Indonesia.

Perlunya Empatik

Masalahnya adalah bahwa kita tidak pernah tahu dilahirkan di mana, kapan, sebagai anak siapa, dan kelak hidup di mana. Kita tidak tahu spakah kita  bodoh atau pintar. Membangun kesadaran ini penting, bukan saja dalam konteks religius, spiritual, atau etik, tapi lebih-lebih dalam konteks sosial. Kesadaran itu juga sangat penting untuk ditumbuhkan dan dipelihara sebagai satu pemahaman bahwa manusia itu kodratnya sama, dalam ketidaktahuan dan ketidakberdayaan.

Siapa orang yang mau lahir bodoh, atau kelak hidup miskin, tidak ada. Siapa yang mau jadi tukang becak, atau bercita-cita jadi pekerja rumah tangga (kita biasa menyebutnya pembantu), tidak ada. Siapa penduduk asli di muka bumi ini yang bisa mengklaim dirinya sebagai tidak pendatang. Semua pendatang, cuma ada yang lebih dulu, ada yang lebih belakangan. Manusia berhak hidup di mana saja di muka bumi ini dengan aman dan nyaman. Menyadari itu, sikap empatik menjadi sangat penting.

Ibu saya pernah memberi resep kepada saya kalau saya mengalami rasa kesal, atau kecewa, atau mungkin sedikit marah karena suatu hal yang tidak sesuai dengan harapan. Ibu mengajarkan bahwa mengumpat itu tidak ada gunanya. Justru kalau bisa membalasnya dengan ungkapan, “Mudahan-mudahan tambah rezekimu”, atau “Aku berharap kamu selalu sehat” atau “Doaku agar engkau diampuni yang Maha Kuasa”, atau “Mudah-mudahan dilapangkan dadamu”, dan sebagainya.

Kayaknya sulit, di tengah rasa kecewa atau marah kok malah “mendoakan” kebaikan kepada orang lain. Tapi ternyata, tidak sulit-sulit juga kok. Coba saja. * * *

Tulisan bersambung:
  1. Kebudayaan Sebagai Perspektif
  2. Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan
  3. Memelihara Budaya Empatik
  4. Kebudayaan Sebagai Tersangka
  5. Kebudayaan Itu Tergantung
  6. Hibriditas Kebudayaan
  7. Matinya Mesin Pemikiran
POSTING PILIHAN

Related

Utama 8386350529771034167

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item