Kebudayaan Sebagai Tersangka



Aprinus Salam

Pada masa Orde Lama, politik menjadi instrumen utama. Waktu itu, politik gagal menyelamatkan Indonesia dan Indonesia terjerumus menjadi negara miskin. Pada masa Orde Baru, ekonomi menjadi aktor paling penting. Pada awalnya, Indonesia sukses membangun perekonomian, tetapi ternyata ekonomi gagal menjayakan Indonesia. Indonesia kembali terjerembab menjadi negara amburadul.

Pada masa reformasi ini, tampaknya politik kembali diusahakan menjadi pemain penting. Akan tetapi, masyarakat Indonesia seolah masih trauma dan penuh keraguan. Hal itu diperlihatkan dengan gugup dan groginya masyarakat Indonesia memainkan instrumen politiknya. Kekacauan terjadi di mana-mana, sementara ekonomi tidak memperlihatkan tanda perbaikan.
Tulisan bersambung:
  1. Kebudayaan Sebagai Perspektif
  2. Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan
  3. Memelihara Budaya Empatik
  4. Kebudayaan Sebagai Tersangka
  5. Kebudayaan Itu Tergantung
  6. Hibriditas Kebudayaan
  7. Matinya Mesin Pemikiran
Di masa sulit dan putus asa ini, masyarakat mulai berpikir bagaimana jika kebudayaan mengambil peran untuk menyelamatkan Indonesia. Selama ini, kebudayaan tidak mengambil peran sebagai operator penting, tetapi sekarang diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia. Pertanyaannya, kenapa politik dan ekonomi gagal di Indonesia, dan apakah kebudayaan bisa mengeluarkan Indonesia dari situasi runyam.

Tidak Terintegrasi

Politik gagal di Indonesia karena politik tidak terintegrasi atau tidak dintegrasikan dengan kebudayaan. Dalam sejarahnya, Nusantara memang memiliki tradisi panjang bagaimana politik berjalan di setiap lokalnya. Akan tetapi, ketika menjadi Indonesia, masyarakat tidak memiliki satu pemahaman tentang kebudayaan sehingga politik lepas dari kebudayaan. Hal itu terlihat dari kebingungan dalam menentukan strategi dan arah kebudayaan. Politik tidak lebih menjadi ajang merebut, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan dalam berbagai cara.
   
Ekonomi juga gagal karena tidak terintegrasi dengan kebudayaan. Sama halnya dengan politik, tradisi perekonomian yang panjang di Nusantara tidak bisa dijadikan sumber acuan untuk mengelola Indonesia. Setiap lokal memiliki cara-cara ekonomi sendiri. Alhasil, ketika menjadi Indonesia dan ekonomi modern, ekonomi tidak lebih hanya sebagai satu cara mendapatkan, mengelola, dan mempertahankan, atau menambah keuntungan dan kekayaan.
Dalam dua kondisi tersebut, banyak juga yang kemudian menyalahkan seolah kebudayaan menjadi salah satu faktor penghambat dalam mengembangkan Indonesia menjadi negara berkualitas. Kebudayaan dianggap mengambil peran negatif karena tidak bisa diintegrasikan dengan politik atau ekonomi. Padahal, persoalannya adalah bahwa ekonomi atau politik tidak akan pernah bisa diintegrasikan dengan kebudayaan jika yang menjadi faktor dominannya politik atau ekonomi.

Prinsip Etis-Kemanusiaan

Lantas apa seharusnya yang dimaksud dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah bagaimana mempraktikkan, mengelola, memperjuangkan, dan mempertahankan prinsip-prinsip etis-kemanusiaan, yang meliputi nilai-nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Jika kita memenuhi persyaratan tersebut, kita biasa menyebutnya sebagai masyarakat yang berbudaya. Jika tidak, berarti belum berbudaya.

Dengan demikian, jika kebudayaan menjadi payung besar dalam mengelola politik atau ekonomi, maka politik dan ekonomi harus tunduk pada prinsip kebudayaan tersebut. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masa politik menjadi aktor, kebudayaan tunduk kepada prinsip-prinsip politik. Itulah sebabnya, kemudian Indonesia tidak akan pernah sukses mengelola politik karena bukan saja tidak terintegrasi dengan kebudayaan, lebih dari itu prinsip-prinsip budaya juga menolak prinsip politik yang diberlakukan.
   
Hal yang sama terjadi pada masa Orde Baru ketika ekonomi menjadi payung dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip dan paradigma ekonomi tidak akan pernah bisa terintegrasi berkaitan dengan prinsip dan nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Kita tahu, negeri Indonesia terbukti terjerembab menjadi salah satu negeri paling korup di dunia, tidak ada keadilan ekonomi, tidak ada kemandirian, kemerosotan terjadi di mana-mana.

Apakah jika kebudayaan menjadi paradigma utama, kebudayaan bisa mengitegrasikan banyak hal? Mungkin juga tidak jika kebudayaan hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang “berbau kesenian” atau “puncak-puncak kebudayaan daerah”, atau sebagai cara-cara hidup bermasyarakat yang diterima begitu saja yang biasa disebut sebagai tradisi. Kebudayaan hanya menjadi objek pasif yang tidak akan bisa berperan apa-apa. Dalam kondisi itu, kebudayaan tidak layak diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia.

Akan tetapi, jika memposisikan paradigma dan definisi kebudayaan sebagai nilai etis-kemanusiaan seperti disinggung di depan, maka sangat mungkin kebudayaan memiliki kekuatan untuk berintegrasi dengan ekonomi dan politik atau instrumen sosial lainnya. Dengan demikian, berbagai kesalahan kita dalam memahami kebudayaan tidak terus menerus menjadikan kebudayaan sebagai tersangka. * * *

Tulisan bersambung:
  1. Kebudayaan Sebagai Perspektif
  2. Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan
  3. Memelihara Budaya Empatik
  4. Kebudayaan Sebagai Tersangka
  5. Kebudayaan Itu Tergantung
  6. Hibriditas Kebudayaan
  7. Matinya Mesin Pemikiran
POSTING PILIHAN

Related

Utama 967066253550606478

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

LSB Eksaina

LSB Eksaina
Program kerjasama Pro 1 RRI Sumenep dengan Rumah Literasi Sumenep, dalam bentuk siaran ramah anak dengan penampilan lewat siaran radio untuk siswa SD/MI/SMP/MTs. Silakan daftarkan siswa sekolah Anda.

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

item