Kebudayaan Itu Tergantung




Aprinus Salam
   
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk mengevaluasi rancangan Perdais DIY tentang Kebudayaan di DPRD Yogya. Salah satu yang paling bermasalah dalam Perdais itu justru difinisi tentang kebudayaan. Dalam Ketentuan Umum Perdais itu kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat-istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur meliputi benda dan tak benda yang mengakar dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
   
Seperti diketahui, difinisi tentang kebudayaan itu ada ratusan. Hal itu dapat dilihat dalam buku legendaris karya Koentjaraningrat, buku yang hampir menjadi buku putih tentang kebudayaan bagi masyarakat Indonesia. Definisi di atas, dapat dikatakan masih dalam pengaruh tersebut. Dalam definisi itu kebudayaan merupakan suatu hasil, bukan proses, dan didefinisikan lebih dalam pengaruh para orientalisme ketika mendefisikan kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di “Timur”.

Tulisan bersambung:
  1. Kebudayaan Sebagai Perspektif
  2. Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan
  3. Memelihara Budaya Empatik
  4. Kebudayaan Sebagai Tersangka
  5. Kebudayaan Itu Tergantung
  6. Hibriditas Kebudayaan
  7. Matinya Mesin Pemikiran
Bilamanakah Kebudayaan

Dalam perjalanannya, konsep kebudayaan terus menerus dikritisi dan dikembangkan sesuai dengan kemajuan peradaban manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Raymond Williams, dalam bukunya Culture and Society, menyimpulkan bahwa paling tidak ada tiga definisi tentang kebudayaan. Pertama, kebudayaan sebagai proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetik pada umumnya. Kedua, kebudayaan sebagai suatu cara hidup, dalam suatu periode, suatu kelompok/komunitas, dan ketiga, kebudayaan sebagai karya-karya dan praktik intelektual, khususnya estetik, dan sebagai satu proses memproduksi makna.
   
Pesan penting dari pembagian definisi tersebut adalah bahwa kebudayaan itu bermacam-macam, mengandung implikasi dan dampak politis tertentu. Definisi pertama, misalnya, tampaknya sesuatu yang dipahami dan “diikuti” Ki Hajar Dewantara, yakni dengan bahwa kebudayaan merupakan puncak dari proses perkembangan intelektual dan spritualitas manusia. Dengan konsep ini, kebudayaan mengeluarkan, atau tidak menganggap bahwa aktivitas manusia yang biasa-biasa saja, yang tidak estetis, tidak dianggap kebudayaan.
   
Sementara itu, definisi kedua menganggap tidak penting/tidak ada suatu dimensi makna dari aktivitas mannusia, dan definisi ketiga justru menganggap penting pemaknaan itu sendiri, yang lain tidak penting. Masalah ini kemudian dicarikan jalan keluarnya oleh Mark Hobart, yang bahkan studinya berangkat dari siaran TV di Bali. Hobart menemukan begitu banyak difenisi kebudayaan, demikian beragam, bahkan membingungkan. Ia menemukan paling tidak 15 definsi kebudayan seperti kebudayaan itu adalah tarian, adalah warisan, adalah sesuatu yang perlu dilestarikan, adalah potensi, adalah modal, dan sebagainya (lihat juga Faruk, 2013).
   
Hobart memberikan saran penting bahwa kita tidak perlu membuat definisi kebudayaan yang berpretensi “mengatasi“ segala definisi. Hobart berkesimpulan bahwa pada akhirnya definisi kebudayaan itu serba bergantung, berdasarkan konteks penggunaannya, luwes, dan mungkin sangat kontestual yang berhubungan langsung dengan sistem kebudayaan yang ada. Pernyataannya yang paling penting adalah bukan apa itu kebudayaan, tetapi kapan atau bilamanakah kebudayaan itu.
   
Tergantung Keperluan
   
Kembali ke persoalan semula, dalam posisi dan keperluan apa Perdais Kebudayaan DIY dalam mendefinisikan Ketentuan  Kebudayaan. Secara cepat para anggota DPRD menjawab bahwa definisi itu diambil dai peraturan yang lebih tinggi, yakni definisi yang terdapat dalam UU RI No. 13 tahun 2021 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
   
Definisi tersebut jelas bermasalah karena menganggap berbagai aktitivitas manusia sehari-hari, yang dianggap biasa-biasa saja, yang tidak luhur, yang tidak seni, bukanlah kebudayaan. Hal ini terlihat bahwa definsi kebudayaan yang diikuti Perdais DIY itu adalah definsi yang dikembangkan oleh ideologi para elite, oleh para yang berkuasa yang merasa memiliki kebudayaan dan yang paling berhak mendefinisikannya. Konsep itu sekaligus menimbulkan dikotomi ada yang beradab dan ada yang tidak beradab/berbudaya.
   
Kalau kita percaya bahwa struktur sosial itu adalah sebuah konstruksi, maka struktur dikotomis tersebut tentu saja memproduksi struktur sosial yang timpang, melegitimasi ketidakadilan, melegitimasi bahwa kebudayaan itu hanya milik para elite, atau katakanlah bahwa kebudayaan itu milik para kelas atas, yang memiliki otoritas, kelas berkuasa.    
   
Penempatan konsep kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa juga memposisikan manusianya sebagai sesuatu yang pasif, kebudayaan bukan sebagai proses yang aktif. Itulah sebabnya, semangat kebudayaan kita di atas adalah semangat pelestarian, semangat pelindungan, melindungi hasil kebudayaan yang elitis. Kita memang perlu meletakkan konsep kebudayaan yang tergantung keperluannya. Persoalannya, kita perlu tahu bahwa saat ini apa yang paling kita perlukan sehingga pengertian kebudayaan menjadi basis bagi perbaikan mutu kehidupan kita. * * *

Tulisan bersambung:
  1. Kebudayaan Sebagai Perspektif
  2. Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan
  3. Memelihara Budaya Empatik
  4. Kebudayaan Sebagai Tersangka
  5. Kebudayaan Itu Tergantung
  6. Hibriditas Kebudayaan
  7. Matinya Mesin Pemikiran
POSTING PILIHAN

Related

Utama 3207146699190875593

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item