Tamu dari Masalalu
http://www.rumahliterasisumenep.org/2020/02/tamu-dari-masalalu.html
Cerpen: Zaa Nizara
Kejadiannya tepat sepuluh tahun yang lalu saat aku mendapat beasiswa di kampus kenamaan Indonesia, UI. Siapa tak senang. Bahkan dengan bangga, bapak bercerita banyak hal tentang bagaimana cara aku mendapatkannya pada semua orang di sekitar rumah. Namun yang jelas, aku tahu Nadzir tidak akan suka itu. Sebagaimana malam-malam biasanya, ia menemuiku diam-diam dibelakang rumah dan mengeluhkan keputusanku yang menurutnya akan membatasi hubungan kami. Dia tunanganku. Sejak saat aku masih berusia lima tahun kalau tidak salah.
Setelah melalui berbagai macam pertimbangan. Akhirnya beasiswa itu terpaksa ditolak. Bukan inginku. Nadzir dan keluarganyalah dalang dari semuanya. Diam-diam, ia menghasut bapak agar menolak beasiswa yang jelas aku tunggu-tungu. Aku tahu, bapak amat sangat tidak senang dengan keputusan ini. Namun mau bagaimana lagi. Ia juga tidak mungkin menolak permintaan secara tidak langsung dari calon besannya. Apalagi, hubungan ini sudah berjalan sekitar tiga belas tahun lamanya. Opsinya memang hanya satu. Takut-takut, aku terpikat dengan lelaki lain di luar sana dan tidak bisa menjaga diri dari dunia yang luar biasa buas. Toh, Jakarta kota metropolitan.
Dengan berlapang dada, bapak membesarkan hatiku. Menawarkan banyak hal yang tidak biasa bagiku. Salah satunya dengan kesediaannya membelikanku Laptop. Sudah sejak lama aku menginginkannya. Memang. Mau apa lagi? Maka kepura-puraan, menjadi satu-satunya tempat aku berlindung. Aku tak ingin bapak menyaksikan keterpurukanku karena tidak jadi kuliah di UI. Atau bahkan, sebenarnya bapak tahu, namun dengan pandainya ia menampakkan ketidak tahu menahuannya.
Terpaksa, aku melanjutkan jenjang pendidikan di kampus terdekat. Meski begitu, aku belum siap untuk menikah. Sudah menjadi persyaratanku sejak lama, bahwa aku tidak ingin menikah dulu sebelum dinyatakan lulus dari Unniversitas. Namun Nadzir, seolah-olah tidak peduli dengan keinginanku menjadi perempuan yang berpendidikan. Sebab ia hanyalah lulusan SD. Aku yakin sebenarnya ia sangat risih jika aku jauh lebih pandai darinya. Nyaris tiap malam ia memaksaku menemuinya. Yang pasti, aku tidak bisa ceritakan apa yang ia lakukan padaku. Entah bagaimana caranya, setiap kali aku hendak menemuinya, tak seorangpun dari keluargaku yang tahu menahu tentang itu.
Hingga sebuah keputusan yang amat sangat mengganggu aku dapati dari diskusi antar keluarga Nadzir dan keluargaku malam itu. Pilihan rumit yang bahkan bapak sendiri tidak begitu yakin tentang cara memutuskannya.
“Sudah saatnya Nadzir menikah, usinya sudah 24 tahun.”
“Tidak bisakah menunggu hingga Ayu lulus kuliah?”
“Itu berarti Nadzir sudah berusia 28 tahun. Kami khawatir, hasrat menikahnya menjadi hilang sama sekali,” mereka bersikeras untuk menikahkan aku dengan putra mereka satu-satunya.
Dari balik tirai horden jendela kamar, aku mengintip. Tampak bapak menimbang-nimbang sebuah keputusan yang luar biasa pelik. Ia tahu, bahwa aku sangat antusias dalam belajar. Dan ia pun tahu, bahwa calon menantunya memang sudah saatnya menikah. Tiba-tiba ia beranjak menuju kamarku. Sontak aku berlari dan pura-pura membaca buku di meja belajar. Kudengar pintu kamarku mengeluarkan bunyi krowek sesaat sebelum bapak benar-benar berada di daun pintu dan memperhatikanku sejenak dari belakang. Aku pura-pura tidak dengar dan fokus membaca.
Selangkah, dua langkah, bapak mulai mendekat dan tiba tepat disampingku. Aku gugup dan sedikit gemeteran. Yang jelas, jika bapak memintaku untuk menikah dengan Nadzir, aku akan menangis dan meraung-raung sepuasnya. Tak peduli meski usiaku genap delapan belas.
“Ayu,” seraya menyentuh pucuk kepalaku lembut. “Bapak ingin bicara sebentar.” Tiba-tiba kurasakan gemuruh meletup-letup dan darah mengalir deras naik turun dari sekujur tubuhku. Oh, Tuhan. Ambil saja nyawa hamba saat ini juga. Aku menunduk begitu dalam dan tak kusadari, suaraku sedikit tercekat saat aku mengiyakan untuk mendengar bapak yang ingin berbicara. Kudengar bapak menarik nafasnya berat.
“Nadzir meminta untuk menikah denganmu.” Sedetik, dua detik, hingga lima detik, sunyi berkuasa antara kami malam itu. Tak ada suara apapun selain masing-masing hati kami yang berteriak dan menggebu-gebu. Aku gigit bibir bawahku yang seakan hendak meledak saat itu juga. Aku tak kuasa untuk berkata apapun. Hanyalah mata yang bicara, bahwa lebih baik aku tidak menikah dengan lelaki itu dan fokus kuliah.
Entah apa yang bapak pikirkan, tiba-tiba ia keluar tanpa berkata apapun. Segera aku menghambur ke kasur dan menangis sejadi-jadinya. Bayangan aku memakai setelan baju wisuda lenyap sudah. Hanya akan ada Nadzir disetiap hari-hariku. Namun saat aku bangun dari tidur, bapak sudah duduk tepat di tepi ranjang dan mengamati lamat wajahku. Jelas, aku sedang enggan berbicara dengannya. Sebab aku tahu, lagi-lagi, bapak tidak bisa menolak permintaan calon besannya sebagaimana yang sudah-sudah. Aku tarik selimut hingga menutupi keseluruhan mukaku.
“Cepatlah bangun, calon sarjana!” serunya tiba-tiba saat seluruh permukaan tubuhku terbalut sempurna selimut tebal. Sebentar. Calon sarjana? Apa maksudnya calon sarjana? Sontak aku bangkit dan duduk menghadap bapak. Aku tahu, mataku luar biasa sembab saat itu. “Maksud bapak?”
“Belajarlah dengan giat. Buatlah bapak bahagia dan ibumu bangga di alam sana. Lupakan tentang Nadzir dan semua tentangnya.” Deg! tiba-tiba perih mataku berair. Kupeluk erat tubuh bapak yang sudah dimakan usia. Aku berterima kasih padanya dan menciuminya bertubi-tubi.
“Maaf, karena kebodohan bapak, beasiswa ke UI terbuang sia-sia,” suara bapak tercekat.
***
Ya, sepuluh tahun sudah berlalu. Begitu banyak yang terjadi dalam kurun waktu itu. Aku menikah sebulan tepat setelah meraih gelar Magister di Jepang dengan lelaki tampan dan berpendidikan sama sepertiku. Lelaki itu bernama Haris Firmansyah. Namun lagi-lagi, jalan takdir memintaku menangis untuk yang kesekian kali. Seminggu setelah puteri pertama kami lahir, Haris kecelakaan dan meregang nyawanya ditempat saat sedang dinas keluar kota. Sungguh, keadilan Tuhan aku pertanyakan saat itu. Mengingat sehari setelah Haris dikebumikan, bapak sekaligus penyemangatku satu-satunya juga berpulang padaNya.
Kurasakan dunia berhenti berputar saat itu juga. Air mata, rindu, dan keluh kesah campur aduk memenuhi semesta dalam malam-malamku sesudahnya. Hanya Ayumida Firmansyah lah satu-satunya sumber kekuatan yang menjadi alasan aku tetap bertahan dalam terpaan badai hidup yang bertubi-tubi. Sesekali ia bertanya tentang ayahnya yang telah lama tidak dilihatnya. Dan setiap kali pertanyaan itu diulang, aku mengarang-ngarang jawaban sedang jiwaku tersayat-sayat sembilu yang luar biasa tajam.
Seseorang mengabariku bahwa dirumah sedang ada tamu menunggu. Penting sekali, hingga aku tidak diperbolehkan membuatnya menunggu terlalu lama. Sesampainya aku dirumah, hatiku bergemuruh tak terkira. Yang menjadi tamu dirumahku adalah seseorang dari masalalu. Melihat dirinya kembali setelah sepuluh tahun kemudian rasanya tak banyak yang berubah dari dirinya. Terakhir kudengar ia dan istrinya merantau ke Saudi Arabia. Entah apa yang membawanya kemari.
“Mas Nadzir, apa kabar?” meski banyak luka yang pernah ia tinggalkan dalam hidupku, tetap saja, bapak melarangku membencinya dan memintaku untuk memaafkan setiap kesalahnya yang dulu-dulu.
“Aku baik. Sepertianya kau pun demikian,” aku tak menjawab. Dalam diam dan tatapanku yang hampa, aku menanyakan maksud kedatangannya untuk apa. Sepertinya ia mengerti sebab segera ia mengatur posisi duduknya dan menenggak hingga tandas minuman yang disediakan pembantu rumahku.
“Aku minta maaf, aku ingin menebus kesalahanku padamu. Boleh?” serunya tanpa basa-basi. Semudah itukah? Kemanakah istri jelitanya yang diam-diam sering ia temui saat sedang berstatus menjadi tunanganku? Tidakkah ia tahu betapa dirinya telah menjadi sampah kehidupan yang aku buang jauh-jauh.
Segera aku berdiri dan merapikan kerah lengan bajuku. Aku tusuk matanya dengan tajam mataku. Cuih,sungguh tidak sudi aku mendengar apapun juga kelanjutan pembicaraannya padaku yang sudah kukenal alurnya kemana.
“Sudah kumaafkan, dan maaf saya tidak bisa berlama-lama. Ada banyak hal yang harus saya selesaikan hari ini,” aku melangkah pergi meninggalkannya yang tiba-tiba bisu dan kaku di sofa ruang tamu.
Zaa Nizara, nama pena dari Anisa, siswi kelas XII MIA2 MA1 Annuqayah putri Guluk-guluk Sumenep, Anggota FLP Ranting Annuqayah LATEE II sekaligus kerikil kecil di Sanggar SAREANG.
Kejadiannya tepat sepuluh tahun yang lalu saat aku mendapat beasiswa di kampus kenamaan Indonesia, UI. Siapa tak senang. Bahkan dengan bangga, bapak bercerita banyak hal tentang bagaimana cara aku mendapatkannya pada semua orang di sekitar rumah. Namun yang jelas, aku tahu Nadzir tidak akan suka itu. Sebagaimana malam-malam biasanya, ia menemuiku diam-diam dibelakang rumah dan mengeluhkan keputusanku yang menurutnya akan membatasi hubungan kami. Dia tunanganku. Sejak saat aku masih berusia lima tahun kalau tidak salah.
Setelah melalui berbagai macam pertimbangan. Akhirnya beasiswa itu terpaksa ditolak. Bukan inginku. Nadzir dan keluarganyalah dalang dari semuanya. Diam-diam, ia menghasut bapak agar menolak beasiswa yang jelas aku tunggu-tungu. Aku tahu, bapak amat sangat tidak senang dengan keputusan ini. Namun mau bagaimana lagi. Ia juga tidak mungkin menolak permintaan secara tidak langsung dari calon besannya. Apalagi, hubungan ini sudah berjalan sekitar tiga belas tahun lamanya. Opsinya memang hanya satu. Takut-takut, aku terpikat dengan lelaki lain di luar sana dan tidak bisa menjaga diri dari dunia yang luar biasa buas. Toh, Jakarta kota metropolitan.
Dengan berlapang dada, bapak membesarkan hatiku. Menawarkan banyak hal yang tidak biasa bagiku. Salah satunya dengan kesediaannya membelikanku Laptop. Sudah sejak lama aku menginginkannya. Memang. Mau apa lagi? Maka kepura-puraan, menjadi satu-satunya tempat aku berlindung. Aku tak ingin bapak menyaksikan keterpurukanku karena tidak jadi kuliah di UI. Atau bahkan, sebenarnya bapak tahu, namun dengan pandainya ia menampakkan ketidak tahu menahuannya.
Terpaksa, aku melanjutkan jenjang pendidikan di kampus terdekat. Meski begitu, aku belum siap untuk menikah. Sudah menjadi persyaratanku sejak lama, bahwa aku tidak ingin menikah dulu sebelum dinyatakan lulus dari Unniversitas. Namun Nadzir, seolah-olah tidak peduli dengan keinginanku menjadi perempuan yang berpendidikan. Sebab ia hanyalah lulusan SD. Aku yakin sebenarnya ia sangat risih jika aku jauh lebih pandai darinya. Nyaris tiap malam ia memaksaku menemuinya. Yang pasti, aku tidak bisa ceritakan apa yang ia lakukan padaku. Entah bagaimana caranya, setiap kali aku hendak menemuinya, tak seorangpun dari keluargaku yang tahu menahu tentang itu.
Hingga sebuah keputusan yang amat sangat mengganggu aku dapati dari diskusi antar keluarga Nadzir dan keluargaku malam itu. Pilihan rumit yang bahkan bapak sendiri tidak begitu yakin tentang cara memutuskannya.
“Sudah saatnya Nadzir menikah, usinya sudah 24 tahun.”
“Tidak bisakah menunggu hingga Ayu lulus kuliah?”
“Itu berarti Nadzir sudah berusia 28 tahun. Kami khawatir, hasrat menikahnya menjadi hilang sama sekali,” mereka bersikeras untuk menikahkan aku dengan putra mereka satu-satunya.
Dari balik tirai horden jendela kamar, aku mengintip. Tampak bapak menimbang-nimbang sebuah keputusan yang luar biasa pelik. Ia tahu, bahwa aku sangat antusias dalam belajar. Dan ia pun tahu, bahwa calon menantunya memang sudah saatnya menikah. Tiba-tiba ia beranjak menuju kamarku. Sontak aku berlari dan pura-pura membaca buku di meja belajar. Kudengar pintu kamarku mengeluarkan bunyi krowek sesaat sebelum bapak benar-benar berada di daun pintu dan memperhatikanku sejenak dari belakang. Aku pura-pura tidak dengar dan fokus membaca.
Selangkah, dua langkah, bapak mulai mendekat dan tiba tepat disampingku. Aku gugup dan sedikit gemeteran. Yang jelas, jika bapak memintaku untuk menikah dengan Nadzir, aku akan menangis dan meraung-raung sepuasnya. Tak peduli meski usiaku genap delapan belas.
“Ayu,” seraya menyentuh pucuk kepalaku lembut. “Bapak ingin bicara sebentar.” Tiba-tiba kurasakan gemuruh meletup-letup dan darah mengalir deras naik turun dari sekujur tubuhku. Oh, Tuhan. Ambil saja nyawa hamba saat ini juga. Aku menunduk begitu dalam dan tak kusadari, suaraku sedikit tercekat saat aku mengiyakan untuk mendengar bapak yang ingin berbicara. Kudengar bapak menarik nafasnya berat.
“Nadzir meminta untuk menikah denganmu.” Sedetik, dua detik, hingga lima detik, sunyi berkuasa antara kami malam itu. Tak ada suara apapun selain masing-masing hati kami yang berteriak dan menggebu-gebu. Aku gigit bibir bawahku yang seakan hendak meledak saat itu juga. Aku tak kuasa untuk berkata apapun. Hanyalah mata yang bicara, bahwa lebih baik aku tidak menikah dengan lelaki itu dan fokus kuliah.
Entah apa yang bapak pikirkan, tiba-tiba ia keluar tanpa berkata apapun. Segera aku menghambur ke kasur dan menangis sejadi-jadinya. Bayangan aku memakai setelan baju wisuda lenyap sudah. Hanya akan ada Nadzir disetiap hari-hariku. Namun saat aku bangun dari tidur, bapak sudah duduk tepat di tepi ranjang dan mengamati lamat wajahku. Jelas, aku sedang enggan berbicara dengannya. Sebab aku tahu, lagi-lagi, bapak tidak bisa menolak permintaan calon besannya sebagaimana yang sudah-sudah. Aku tarik selimut hingga menutupi keseluruhan mukaku.
“Cepatlah bangun, calon sarjana!” serunya tiba-tiba saat seluruh permukaan tubuhku terbalut sempurna selimut tebal. Sebentar. Calon sarjana? Apa maksudnya calon sarjana? Sontak aku bangkit dan duduk menghadap bapak. Aku tahu, mataku luar biasa sembab saat itu. “Maksud bapak?”
“Belajarlah dengan giat. Buatlah bapak bahagia dan ibumu bangga di alam sana. Lupakan tentang Nadzir dan semua tentangnya.” Deg! tiba-tiba perih mataku berair. Kupeluk erat tubuh bapak yang sudah dimakan usia. Aku berterima kasih padanya dan menciuminya bertubi-tubi.
“Maaf, karena kebodohan bapak, beasiswa ke UI terbuang sia-sia,” suara bapak tercekat.
***
Ya, sepuluh tahun sudah berlalu. Begitu banyak yang terjadi dalam kurun waktu itu. Aku menikah sebulan tepat setelah meraih gelar Magister di Jepang dengan lelaki tampan dan berpendidikan sama sepertiku. Lelaki itu bernama Haris Firmansyah. Namun lagi-lagi, jalan takdir memintaku menangis untuk yang kesekian kali. Seminggu setelah puteri pertama kami lahir, Haris kecelakaan dan meregang nyawanya ditempat saat sedang dinas keluar kota. Sungguh, keadilan Tuhan aku pertanyakan saat itu. Mengingat sehari setelah Haris dikebumikan, bapak sekaligus penyemangatku satu-satunya juga berpulang padaNya.
Kurasakan dunia berhenti berputar saat itu juga. Air mata, rindu, dan keluh kesah campur aduk memenuhi semesta dalam malam-malamku sesudahnya. Hanya Ayumida Firmansyah lah satu-satunya sumber kekuatan yang menjadi alasan aku tetap bertahan dalam terpaan badai hidup yang bertubi-tubi. Sesekali ia bertanya tentang ayahnya yang telah lama tidak dilihatnya. Dan setiap kali pertanyaan itu diulang, aku mengarang-ngarang jawaban sedang jiwaku tersayat-sayat sembilu yang luar biasa tajam.
Seseorang mengabariku bahwa dirumah sedang ada tamu menunggu. Penting sekali, hingga aku tidak diperbolehkan membuatnya menunggu terlalu lama. Sesampainya aku dirumah, hatiku bergemuruh tak terkira. Yang menjadi tamu dirumahku adalah seseorang dari masalalu. Melihat dirinya kembali setelah sepuluh tahun kemudian rasanya tak banyak yang berubah dari dirinya. Terakhir kudengar ia dan istrinya merantau ke Saudi Arabia. Entah apa yang membawanya kemari.
“Mas Nadzir, apa kabar?” meski banyak luka yang pernah ia tinggalkan dalam hidupku, tetap saja, bapak melarangku membencinya dan memintaku untuk memaafkan setiap kesalahnya yang dulu-dulu.
“Aku baik. Sepertianya kau pun demikian,” aku tak menjawab. Dalam diam dan tatapanku yang hampa, aku menanyakan maksud kedatangannya untuk apa. Sepertinya ia mengerti sebab segera ia mengatur posisi duduknya dan menenggak hingga tandas minuman yang disediakan pembantu rumahku.
“Aku minta maaf, aku ingin menebus kesalahanku padamu. Boleh?” serunya tanpa basa-basi. Semudah itukah? Kemanakah istri jelitanya yang diam-diam sering ia temui saat sedang berstatus menjadi tunanganku? Tidakkah ia tahu betapa dirinya telah menjadi sampah kehidupan yang aku buang jauh-jauh.
Segera aku berdiri dan merapikan kerah lengan bajuku. Aku tusuk matanya dengan tajam mataku. Cuih,sungguh tidak sudi aku mendengar apapun juga kelanjutan pembicaraannya padaku yang sudah kukenal alurnya kemana.
“Sudah kumaafkan, dan maaf saya tidak bisa berlama-lama. Ada banyak hal yang harus saya selesaikan hari ini,” aku melangkah pergi meninggalkannya yang tiba-tiba bisu dan kaku di sofa ruang tamu.
Zaa Nizara, nama pena dari Anisa, siswi kelas XII MIA2 MA1 Annuqayah putri Guluk-guluk Sumenep, Anggota FLP Ranting Annuqayah LATEE II sekaligus kerikil kecil di Sanggar SAREANG.